Palu (ANTARA) - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Sahran Raden mengemukakan warga yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dan bertempat tinggal/domisili di wilayah perbatasan, merupakan satu komponen rentan dalam pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah.
"Warga pemilih yang berada di wilayah perbatasan antar dusun, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan antarprovinsi, menjadi satu komponen yang rentan dalam pemilu," kata Sahran Raden, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis, terkait dengan potensi kerentanan dan kerawanan Pemilu 2024.
Sahran yang merupakan mantan Ketua KPU Provinsi Sulteng menerangkan bahwa salah satu potensi kerentanan ialah, warga di daerah perbatasan terkadang menjadi objek mobilisasi massa saat pemungutan suara, untuk kepentingan tersendiri bagi oknum tertentu dalam pemilu.
Potensi terjadinya praktek mobilisasi massa yang dilakukan oleh oknum tertentu di wilayah perbatasan dan terpencil, menjadi satu masalah tersendiri dalam kepemiluan.
Mobilisasi dari pihak dan oknum tertentu, juga untuk memudahkan warga pemilih di wilayah perbatasan, menyalurkan hak pilih di beberapa tps di wilayah berbeda yang berbatasan.
"Ini satu problem dan tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pemilu," kata Sahran.
Hal ini, sebut dia, berkaitan langsung dengan potensi kerawanan dan kerentanan daftar pemilih tetap (dpt) pemilu khusus bagi warga perbatasan wilayah.
Sahran Raden yang juga Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Sulteng mengemukakan bahwa problem dan tantangan yang dihadapi oleh KPU di wilayah perbatasan adalah politik uang.
"Politk uang ini menjadi satu kejahatan politik yang terjadi di daerah perbatasan," ujarnya.
Problem lainnya ialah, ujar dia, akses informasi berupa infrastruktur dan fasilitas informasi yang sangat rendah di wilayah perbatasan dan terpencil, membuat warga sulit mengakses informasi mengenai kepemiluan.
Hal ini kemudian berdampak pada pemahaman warga terhadap pemilu, dan rasionalitas pemilih, serta partisipasi pemilih dalam pemilu.
Belum lagi menyangkut dengan kondisi sosial ekonomi dan apatisme masyarakat karena terpinggirkan, serta kondisi geografis wilayah sulit dan tps relatif jauh, menjadi satu masalah dan kerentanan tersendiri.
Oleh karena itu, kata Sahran, pemerintah daerah harus membangun infrastruktur dan fasilitas informasi bagi masyarakat di wilayah perbatasan dan terpencil, agar sosialisasi dan pendidikan pemilih dapat dilaksanakan secara optimal oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
"Akses pemilu yang sangat terbatas, mengakibatkan masyarakat tidak memperoleh informasi pemilu secara utuh," ungkapnya.
"Warga pemilih yang berada di wilayah perbatasan antar dusun, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan antarprovinsi, menjadi satu komponen yang rentan dalam pemilu," kata Sahran Raden, di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis, terkait dengan potensi kerentanan dan kerawanan Pemilu 2024.
Sahran yang merupakan mantan Ketua KPU Provinsi Sulteng menerangkan bahwa salah satu potensi kerentanan ialah, warga di daerah perbatasan terkadang menjadi objek mobilisasi massa saat pemungutan suara, untuk kepentingan tersendiri bagi oknum tertentu dalam pemilu.
Potensi terjadinya praktek mobilisasi massa yang dilakukan oleh oknum tertentu di wilayah perbatasan dan terpencil, menjadi satu masalah tersendiri dalam kepemiluan.
Mobilisasi dari pihak dan oknum tertentu, juga untuk memudahkan warga pemilih di wilayah perbatasan, menyalurkan hak pilih di beberapa tps di wilayah berbeda yang berbatasan.
"Ini satu problem dan tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pemilu," kata Sahran.
Hal ini, sebut dia, berkaitan langsung dengan potensi kerawanan dan kerentanan daftar pemilih tetap (dpt) pemilu khusus bagi warga perbatasan wilayah.
Sahran Raden yang juga Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Sulteng mengemukakan bahwa problem dan tantangan yang dihadapi oleh KPU di wilayah perbatasan adalah politik uang.
"Politk uang ini menjadi satu kejahatan politik yang terjadi di daerah perbatasan," ujarnya.
Problem lainnya ialah, ujar dia, akses informasi berupa infrastruktur dan fasilitas informasi yang sangat rendah di wilayah perbatasan dan terpencil, membuat warga sulit mengakses informasi mengenai kepemiluan.
Hal ini kemudian berdampak pada pemahaman warga terhadap pemilu, dan rasionalitas pemilih, serta partisipasi pemilih dalam pemilu.
Belum lagi menyangkut dengan kondisi sosial ekonomi dan apatisme masyarakat karena terpinggirkan, serta kondisi geografis wilayah sulit dan tps relatif jauh, menjadi satu masalah dan kerentanan tersendiri.
Oleh karena itu, kata Sahran, pemerintah daerah harus membangun infrastruktur dan fasilitas informasi bagi masyarakat di wilayah perbatasan dan terpencil, agar sosialisasi dan pendidikan pemilih dapat dilaksanakan secara optimal oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu.
"Akses pemilu yang sangat terbatas, mengakibatkan masyarakat tidak memperoleh informasi pemilu secara utuh," ungkapnya.