Jakarta (ANTARA) - Saat ini dengan penambahan suhu mencapai 1,2 derajat Celsius dibandingkan era revolusi industri, umat manusia sudah mengalami lonjakan pemanasan global yang mengkhawatirkan.
Itu bukan sekadar proyeksi atau wacana, melainkan memang sudah dirasakan sehari-sehari, terutama saat beraktivitas di luar ruangan.
Bumi ini sudah sampai pada tahap krisis iklim, yang diindikasikan dengan sejumlah wilayah dilanda gelombang panas, sebagian lainnya terdampak banjir, atau mengalami kedua kondisi ekstrem tersebut secara berturut-turut.
Berdasar penelitian mutakhir, bila tidak ada tindakan drastis dalam penurunan emisi karbon, maka pada tahun 2030, dunia diprediksi bakal mengalami pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celcius di atas suhu era pra-industri.
Sebagai salah satu pengemisi utama sekaligus memiliki banyak populasi yang rentan terdampak krisis iklim, Indonesia jelas membutuhkan pemimpin yang memiliki visi lingkungan dan ekonomi berkelanjutan.
Kegagalan mengatasi persoalan lingkungan dan iklim bakal melemahkan ikhtiar memenuhi target pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.
Mengingat tantangan iklim ke depan yang lebih berat, kita tentu berharap, para calon pemimpin yang bakal berkontestasi pada Pemilu 2024 bisa lebih progresif lagi dalam mendorong transisi energi dan pemanfaatan energi hijau (berbasis alam) secara masif.
Secara umum bisa dilihat, para politikus (termasuk capres-cawapres) masih minim dalam menyuarakan isu perubahan iklim.
Sementara perubahan iklim menjadi salah satu ancaman global serta terbukti berdampak buruk bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesadaran generasi muda
Dalam kontestasi Pemilu 2024, tercatat 56 persen pemilih datang dari Generasi Z dan Milenial. Sejumlah studi menyebutkan, sebagian besar Generasi Z dan Milenial merasa terancam masa depannya sebagai dampak krisis iklim.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan pada Juni 2022, enam dari sepuluh anak muda (berusia maksimal 39 tahun) sangat khawatir terhadap perubahan iklim.
Generasi baru menjadi salah satu kelompok dengan ceruk suara terbesar dalam Pemilu 2024. Oleh karena itu, generasi muda bisa mendesak pasangan capres-cawapres untuk berkomitmen kuat menangani krisis iklim.
Dalam pandangan generasi baru, perubahan iklim menyebabkan krisis multidimensi, mulai dari sektor lingkungan, kesehatan, hingga ekonomi.
Oleh karena itu, generasi baru dengan ceruk suara terbesar bisa mendesak pasangan capres-cawapres untuk mempercepat transisi energi berkeadilan, guna menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat Celsius sesuai dengan Kesepakatan Paris (2015).
Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman global dan dampaknya sudah dirasakan semua lapisan masyarakat.
Namun, sampai kini belum banyak politikus yang menyuarakan isu ini, dan sejauh ini tidak menjadi agenda kampanye utama mereka.
Dampak perubahan iklim dapat dirasakan puluhan hingga ratusan tahun ke depan dan generasi baru yang paling merasakannya. Oleh karena itu, negara perlu mengatasi isu perubahan iklim dari perspektif korban.
Namun di sisi lain, mayoritas warga belum memahami isu perubahan iklim. Menjadi tugas para politikus dan calon pemimpin untuk mengedukasi masyarakat soal dampak perubahan iklim.
Bagi generasi baru yang bakal menanggung dampak terbesar dari krisis iklim, direkomendasikan memilih pemimpin yang memiliki keberpihakan kuat terhadap isu lingkungan hidup.
Setelah memilih pemimpin, kita harus kembali menjadi pengawal yang kritis terhadap siapa pun yang menjadi pemimpin kelak, mengingat ancaman krisis iklim adalah keniscayaan berdasarkan sains.
Memastikan transisi energi
Berbagai laporan terbaru terkait krisis iklim menekankan bahwa menunda tindakan untuk mengerem laju emisi jelas hanya akan meningkatkan biaya dan menambah bencana.
Fakta menunjukkan bahwa pada level global belum ada kemajuan berarti dalam menekan laju emisi sehingga memicu ketidakpastian iklim.
Studi Joeri Rogelij dan tim di jurnal Nature (2013) menyebutkan politik menjadi faktor penentu dalam penyebab ketidakpastian kebijakan isu iklim, baik level nasional maupun global. Tindakan cepat yang dilakukan para pemimpin politik menjadi faktor penting dalam membatasi pemanasan global itu.
Siapa pun pemimpin nanti, harus ada kepastian transisi energi skala besar terus dijalankan dan ada keberanian para pemimpin untuk segera meninggalkan energi berbasis fosil menuju energi hijau berbasis sumber daya alam, seperti Matahari dan angin.
Untuk “keberanian” transisi energi, Indonesia bisa belajar dari China, yang pada masa lalu juga sangat tergantung pada energi fosil (batu bara).
Beijing menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terakhirnya pada Maret 2017. Dengan demikian, Ibu Kota China yang berpenduduk 30 juta jiwa itu, menjadi kota pertama di China, yang semua kebutuhan energinya dipasok EBT (energi baru dan terbarukan), seperti gas alam, panel surya (PLTS), hidro, dan angin.
Saat masih tergantung pada PLTU, Beijing serupa Jakarta hari-hari ini, terkait polusi udara. Pada tahun 2013, Beijing diselimuti polusi udara terburuk dalam sejarah, siang serupa malam karena begitu pekatnya, dan arus lalu lintas juga menjadi terganggu.
Transisi energi merupakan pilihan paling rasional dan berbasis sains. Memakai EBT dalam segala aktivitas kehidupan merupakan legacy bagi generasi mendatang, agar mereka bisa hidup di lingkungan yang bersih dan rendah emisi.
Energi memiliki peran vital bagi kemajuan peradaban, sebab sebuah peradaban yang maju juga memerlukan energi yang tinggi, seperti untuk produksi bahan pangan, transportasi, percetakan, dunia hiburan, dan seterusnya. Selain juga untuk memungkinkan mobilitas yang lebih tinggi dan menciptakan akses ke informasi yang hampir tidak terbatas.
Transisi energi mengacu pada transformasi sektor energi global dari berbasis fosil ke sumber energi terbarukan seperti air, angin, Matahari dan gelombang laut.
Sesuai semangat zaman, transisi energi saat ini berbicara tentang pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan. Jika berbicara tentang transisi energi, kita berbicara tentang energi berkelanjutan, terbarukan, netral karbon, dan hijau.
Sejalan dengan perkembangan peradaban sosial, terjadi peningkatan permintaan energi. Permintaan energi sangat meningkat karena peningkatan kualitas hidup manusia dan produksi industri primer yang semakin bervariasi.
Percepatan perkembangan peradaban sosial sejak revolusi industri, permintaan manusia untuk transportasi, informasi, dan hiburan budaya telah meningkat secara signifikan, juga permintaan energi bagi industri modern.
Dalam beberapa tahun terakhir, dengan serangkaian masalah ekologi dan lingkungan yang timbul dari polutan, gas rumah kaca, dan residu limbah, maka memunculkan aspirasi ekologis untuk produksi, konsumsi, dan rantai pasok dalam proses pengembangan energi.
Sebagai sebuah wacana, EBT sudah menyebar dan diterima lintas sektoral. Dunia sudah berubah, lembaga keuangan seperti bank maupun perusahaan investasi, tidak lagi bersedia mendanai bisnis atau proyek yang berkontribusi pada gas rumah kaca (GRK).
Ikhtiar mencapai nol emisi bukan lagi sebuah opsi, melainkan tuntutan yang harus dilakukan kalangan bisnis. Target emisi nol juga kehendak pasar, bahwa produk-produk yang dihasilkan dari industri dipastikan menggunakan EBT.
Sesuai tanda-tanda zaman, industrialisasi dan rantai pasok di masa depan ditentukan adopsi teknologi dan prinsip ekonomi rendah karbon. Kebijakan industri yang sesuai diperlukan, agar produktivitas ekonomi juga berbasis energi hijau dan berwawasan lingkungan.
Faktor produksi berbasis energi bersih harus terus dilanjutkan ketika faktor alam tidak lagi menjadi input produksi secara keseluruhan, namun bermetamorfosis menjadi berorientasi konservasi.
Penghematan energi dan pemanfaatan energi bersih harus menjadi bagian dari gaya hidup sehingga pada akhirnya menjadi legacy untuk kehidupan yang lebih baik dan berkualitas, sebagai bentuk tanggung jawab bagi generasi mendatang.
Hemat energi harus menjadi gerakan bersama. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di planet ini.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.
Itu bukan sekadar proyeksi atau wacana, melainkan memang sudah dirasakan sehari-sehari, terutama saat beraktivitas di luar ruangan.
Bumi ini sudah sampai pada tahap krisis iklim, yang diindikasikan dengan sejumlah wilayah dilanda gelombang panas, sebagian lainnya terdampak banjir, atau mengalami kedua kondisi ekstrem tersebut secara berturut-turut.
Berdasar penelitian mutakhir, bila tidak ada tindakan drastis dalam penurunan emisi karbon, maka pada tahun 2030, dunia diprediksi bakal mengalami pemanasan global sebesar 1,5 derajat Celcius di atas suhu era pra-industri.
Sebagai salah satu pengemisi utama sekaligus memiliki banyak populasi yang rentan terdampak krisis iklim, Indonesia jelas membutuhkan pemimpin yang memiliki visi lingkungan dan ekonomi berkelanjutan.
Kegagalan mengatasi persoalan lingkungan dan iklim bakal melemahkan ikhtiar memenuhi target pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.
Mengingat tantangan iklim ke depan yang lebih berat, kita tentu berharap, para calon pemimpin yang bakal berkontestasi pada Pemilu 2024 bisa lebih progresif lagi dalam mendorong transisi energi dan pemanfaatan energi hijau (berbasis alam) secara masif.
Secara umum bisa dilihat, para politikus (termasuk capres-cawapres) masih minim dalam menyuarakan isu perubahan iklim.
Sementara perubahan iklim menjadi salah satu ancaman global serta terbukti berdampak buruk bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesadaran generasi muda
Dalam kontestasi Pemilu 2024, tercatat 56 persen pemilih datang dari Generasi Z dan Milenial. Sejumlah studi menyebutkan, sebagian besar Generasi Z dan Milenial merasa terancam masa depannya sebagai dampak krisis iklim.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan pada Juni 2022, enam dari sepuluh anak muda (berusia maksimal 39 tahun) sangat khawatir terhadap perubahan iklim.
Generasi baru menjadi salah satu kelompok dengan ceruk suara terbesar dalam Pemilu 2024. Oleh karena itu, generasi muda bisa mendesak pasangan capres-cawapres untuk berkomitmen kuat menangani krisis iklim.
Dalam pandangan generasi baru, perubahan iklim menyebabkan krisis multidimensi, mulai dari sektor lingkungan, kesehatan, hingga ekonomi.
Oleh karena itu, generasi baru dengan ceruk suara terbesar bisa mendesak pasangan capres-cawapres untuk mempercepat transisi energi berkeadilan, guna menahan kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat Celsius sesuai dengan Kesepakatan Paris (2015).
Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman global dan dampaknya sudah dirasakan semua lapisan masyarakat.
Namun, sampai kini belum banyak politikus yang menyuarakan isu ini, dan sejauh ini tidak menjadi agenda kampanye utama mereka.
Dampak perubahan iklim dapat dirasakan puluhan hingga ratusan tahun ke depan dan generasi baru yang paling merasakannya. Oleh karena itu, negara perlu mengatasi isu perubahan iklim dari perspektif korban.
Namun di sisi lain, mayoritas warga belum memahami isu perubahan iklim. Menjadi tugas para politikus dan calon pemimpin untuk mengedukasi masyarakat soal dampak perubahan iklim.
Bagi generasi baru yang bakal menanggung dampak terbesar dari krisis iklim, direkomendasikan memilih pemimpin yang memiliki keberpihakan kuat terhadap isu lingkungan hidup.
Setelah memilih pemimpin, kita harus kembali menjadi pengawal yang kritis terhadap siapa pun yang menjadi pemimpin kelak, mengingat ancaman krisis iklim adalah keniscayaan berdasarkan sains.
Memastikan transisi energi
Berbagai laporan terbaru terkait krisis iklim menekankan bahwa menunda tindakan untuk mengerem laju emisi jelas hanya akan meningkatkan biaya dan menambah bencana.
Fakta menunjukkan bahwa pada level global belum ada kemajuan berarti dalam menekan laju emisi sehingga memicu ketidakpastian iklim.
Studi Joeri Rogelij dan tim di jurnal Nature (2013) menyebutkan politik menjadi faktor penentu dalam penyebab ketidakpastian kebijakan isu iklim, baik level nasional maupun global. Tindakan cepat yang dilakukan para pemimpin politik menjadi faktor penting dalam membatasi pemanasan global itu.
Siapa pun pemimpin nanti, harus ada kepastian transisi energi skala besar terus dijalankan dan ada keberanian para pemimpin untuk segera meninggalkan energi berbasis fosil menuju energi hijau berbasis sumber daya alam, seperti Matahari dan angin.
Untuk “keberanian” transisi energi, Indonesia bisa belajar dari China, yang pada masa lalu juga sangat tergantung pada energi fosil (batu bara).
Beijing menutup pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terakhirnya pada Maret 2017. Dengan demikian, Ibu Kota China yang berpenduduk 30 juta jiwa itu, menjadi kota pertama di China, yang semua kebutuhan energinya dipasok EBT (energi baru dan terbarukan), seperti gas alam, panel surya (PLTS), hidro, dan angin.
Saat masih tergantung pada PLTU, Beijing serupa Jakarta hari-hari ini, terkait polusi udara. Pada tahun 2013, Beijing diselimuti polusi udara terburuk dalam sejarah, siang serupa malam karena begitu pekatnya, dan arus lalu lintas juga menjadi terganggu.
Transisi energi merupakan pilihan paling rasional dan berbasis sains. Memakai EBT dalam segala aktivitas kehidupan merupakan legacy bagi generasi mendatang, agar mereka bisa hidup di lingkungan yang bersih dan rendah emisi.
Energi memiliki peran vital bagi kemajuan peradaban, sebab sebuah peradaban yang maju juga memerlukan energi yang tinggi, seperti untuk produksi bahan pangan, transportasi, percetakan, dunia hiburan, dan seterusnya. Selain juga untuk memungkinkan mobilitas yang lebih tinggi dan menciptakan akses ke informasi yang hampir tidak terbatas.
Transisi energi mengacu pada transformasi sektor energi global dari berbasis fosil ke sumber energi terbarukan seperti air, angin, Matahari dan gelombang laut.
Sesuai semangat zaman, transisi energi saat ini berbicara tentang pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan. Jika berbicara tentang transisi energi, kita berbicara tentang energi berkelanjutan, terbarukan, netral karbon, dan hijau.
Sejalan dengan perkembangan peradaban sosial, terjadi peningkatan permintaan energi. Permintaan energi sangat meningkat karena peningkatan kualitas hidup manusia dan produksi industri primer yang semakin bervariasi.
Percepatan perkembangan peradaban sosial sejak revolusi industri, permintaan manusia untuk transportasi, informasi, dan hiburan budaya telah meningkat secara signifikan, juga permintaan energi bagi industri modern.
Dalam beberapa tahun terakhir, dengan serangkaian masalah ekologi dan lingkungan yang timbul dari polutan, gas rumah kaca, dan residu limbah, maka memunculkan aspirasi ekologis untuk produksi, konsumsi, dan rantai pasok dalam proses pengembangan energi.
Sebagai sebuah wacana, EBT sudah menyebar dan diterima lintas sektoral. Dunia sudah berubah, lembaga keuangan seperti bank maupun perusahaan investasi, tidak lagi bersedia mendanai bisnis atau proyek yang berkontribusi pada gas rumah kaca (GRK).
Ikhtiar mencapai nol emisi bukan lagi sebuah opsi, melainkan tuntutan yang harus dilakukan kalangan bisnis. Target emisi nol juga kehendak pasar, bahwa produk-produk yang dihasilkan dari industri dipastikan menggunakan EBT.
Sesuai tanda-tanda zaman, industrialisasi dan rantai pasok di masa depan ditentukan adopsi teknologi dan prinsip ekonomi rendah karbon. Kebijakan industri yang sesuai diperlukan, agar produktivitas ekonomi juga berbasis energi hijau dan berwawasan lingkungan.
Faktor produksi berbasis energi bersih harus terus dilanjutkan ketika faktor alam tidak lagi menjadi input produksi secara keseluruhan, namun bermetamorfosis menjadi berorientasi konservasi.
Penghematan energi dan pemanfaatan energi bersih harus menjadi bagian dari gaya hidup sehingga pada akhirnya menjadi legacy untuk kehidupan yang lebih baik dan berkualitas, sebagai bentuk tanggung jawab bagi generasi mendatang.
Hemat energi harus menjadi gerakan bersama. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di planet ini.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.