Jakarta (ANTARA) - Pemerintah terus berupaya mendorong peran multi pihak untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) melalui penyelenggaraan nilai ekonomi karbon.
"Beberapa langkah awal telah ditunjukkan dengan adanya bursa karbon yang telah menghasilkan unit karbon yang berkualitas," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, Selasa.
Sebanyak 494.254 ton setara karbon dioksida telah dihasilkan dari bursa karbon dengan nilai transaksi mencapai Rp30,90 miliar yang diperoleh dari transaksi 26 pengguna jasa.
Siti mengatakan pihaknya terus mengikuti transaksi perdagangan karbon melalui bursa karbon dan mempelajari pelaku transaksi dalam mekanisme nilai ekonomi karbon melalui skema pembayaran berbasis kinerja.
Pada 2014 hingga 2016, Indonesia telah menerima pembayaran berbasis kinerja dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dari Green Climate Fund dengan nominal mencapai 103,8 juta dolar AS.
Pembayaran berbasis kinerja itu untuk pengurangan emisi sebesar 20,25 juta ton setara karbon dioksida yang telah dicapai oleh Indonesia.
Tak hanya itu, Indonesia juga memperoleh kontribusi berbasis hasil dari pemerintah Norwegia sebesar 156 juta dolar AS untuk pengurangan emisi sebesar 31,2 juta dolar setara karbon dioksida.
Pada 2016-2017 dan 2018-2020, Indonesia juga meraih 100 juta dolar AS dari FCPF atas kinerja menurunkan 22 juta ton setara karbon dioksida dan Bio-CF yang mencakup 70 juta dolar AS untuk 14 juta setara karbon dioksida.
"Skema pembayaran berbasis hasil maupun kontribusi berbasis kinerja saat ini telah mencapai tidak kurang dari 384,8 juta dolar AS sampai Januari 2024 dan akan mencapai 454,8 juta dolar AS pada 2025," kata Menteri Siti.
"Angka itu belum termasuk catatan kontribusi lain di Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) melalui agenda kontribusi. Seluruh pembayaran berbasis hasil masuk dan dikelola melalui BPDLH," imbuhnya.
Indonesia saat ini telah memiliki empat regulasi dalam pengendalian emisi gas rumah kaca, yakni Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023, Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022, dan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023, dan Surat Edaran OJK Nomor 12 Tahun 2023.
Keempat regulasi itu memayungi penyelenggara nilai ekonomi karbon agar Indonesia dapat mencapai target NDC, mengendalikan emisi gas rumah kaca, dan mempercepat laju pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Sebanyak 494.254 ton setara karbon dioksida telah dihasilkan dari bursa karbon dengan nilai transaksi mencapai Rp30,90 miliar yang diperoleh dari transaksi 26 pengguna jasa.
Siti mengatakan pihaknya terus mengikuti transaksi perdagangan karbon melalui bursa karbon dan mempelajari pelaku transaksi dalam mekanisme nilai ekonomi karbon melalui skema pembayaran berbasis kinerja.
Pada 2014 hingga 2016, Indonesia telah menerima pembayaran berbasis kinerja dari program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dari Green Climate Fund dengan nominal mencapai 103,8 juta dolar AS.
Pembayaran berbasis kinerja itu untuk pengurangan emisi sebesar 20,25 juta ton setara karbon dioksida yang telah dicapai oleh Indonesia.
Tak hanya itu, Indonesia juga memperoleh kontribusi berbasis hasil dari pemerintah Norwegia sebesar 156 juta dolar AS untuk pengurangan emisi sebesar 31,2 juta dolar setara karbon dioksida.
Pada 2016-2017 dan 2018-2020, Indonesia juga meraih 100 juta dolar AS dari FCPF atas kinerja menurunkan 22 juta ton setara karbon dioksida dan Bio-CF yang mencakup 70 juta dolar AS untuk 14 juta setara karbon dioksida.
"Skema pembayaran berbasis hasil maupun kontribusi berbasis kinerja saat ini telah mencapai tidak kurang dari 384,8 juta dolar AS sampai Januari 2024 dan akan mencapai 454,8 juta dolar AS pada 2025," kata Menteri Siti.
"Angka itu belum termasuk catatan kontribusi lain di Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) melalui agenda kontribusi. Seluruh pembayaran berbasis hasil masuk dan dikelola melalui BPDLH," imbuhnya.
Indonesia saat ini telah memiliki empat regulasi dalam pengendalian emisi gas rumah kaca, yakni Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023, Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022, dan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023, dan Surat Edaran OJK Nomor 12 Tahun 2023.
Keempat regulasi itu memayungi penyelenggara nilai ekonomi karbon agar Indonesia dapat mencapai target NDC, mengendalikan emisi gas rumah kaca, dan mempercepat laju pembangunan nasional yang berkelanjutan.