Jakarta (ANTARA) - Pemilu 2024 tinggal 18 hari lagi, namun upaya untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik masih membutuhkan perjuangan.
Data Global Gender Gap Index 2022 yang dirilis World Economic Forum memosisikan Indonesia pada peringkat 92 dari 146 negara dengan nilai 0,697 dari satu.
Variabel pemberdayaan politik perempuan diberi nilai 0,169, paling rendah dari empat indikator yang diukur dalam Global Gender Gap Index.
Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen merupakan contoh paling nyata masih kurangnya pemberdayaan perempuan dalam politik.
Saat ini, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI baru mencapai 20,5 persen, masih jauh dari target afirmasi sebesar 30 persen.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai terdapat sejumlah potensi peningkatan keterwakilan perempuan, antara lain pemilu dan pilkada serentak yang berlangsung berurutan pada 2024. Ini membuka peluang yang lebih besar akan adanya ruang bagi perempuan untuk menduduki posisi di bidang politik.
Selain itu jumlah pemilih perempuan besar, lebih dari 50 persen pemilih adalah perempuan.
Kemudian penambahan jumlah daerah pemilihan (dapil) dan kursi DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota membuka ceruk peluang tambahan bagi perempuan berpolitik.
Perkembangan teknologi informasi dan media sosial membuka akses kampanye alternatif yang lebih mudah dan murah.
Budaya patriarki dan biaya politik yang tinggi
Namun demikian, ada sejumlah hambatan keterpilihan perempuan dalam politik, di antaranya kebijakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang melemahkan eksistensi perempuan politik.
Selain itu adanya faktor sosial dan kultural masyarakat yang masih mendiskriminasi perempuan serta stigma, stereotipe, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi.
Juga masih adanya anggapan kepemimpinan lebih pantas diberikan kepada caleg laki-laki.
Tingginya biaya politik sebagai konsekuensi sistem pemilu di Indonesia yang rumit, kompleks, dan mahal menghambat kiprah politik perempuan.
Adanya politik transaksional di pemilu, seperti jual beli nomor urut, jual beli suara, dan masih adanya praktik suap dalam penghitungan suara menjadikan perempuan kian tersisih dari dunia politik.
Menurutnya, sistem politik dan pemilu masih harus disempurnakan untuk bisa menghadirkan ekosistem kompetisi yang bersih dan sehat.
Politik afirmasi keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai beban oleh partai politik sehingga tidak terjadi kaderisasi, pendidikan, dan penguatan kapasitas politik yang berkesinambungan.
Komisi Pemilihan Umum memandang tantangan caleg perempuan dalam Pemilu 2024 adalah persepsi sebagian masyarakat yang masih menganut nilai sosial dan budaya yang cenderung patriarki sehingga mengesampingkan rekam jejak politik dan kualitas kepemimpinan perempuan.
Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos menyebut kondisi ini membuat masyarakat mengesampingkan sisi rekam jejak politik, aspek intelegensia, kemampuan manajerial, dan kualitas kepemimpinan caleg perempuan.
Selain itu, tantangan keterpilihan perempuan adalah kecenderungan parpol yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 3 pada aturan minimal satu perempuan dalam tiga calon.
Dalam sistem proporsional terbuka, perempuan dimanfaatkan hanya untuk mendulang suara, tapi tidak diharapkan untuk terpilih.
Kemudian afirmative action pencalonan perempuan hanya memberikan akses mendorong pencalonan perempuan, sementara pada proses kontestasi untuk mendapatkan kursi masih terdapat ketimpangan dalam strategi berpolitik, mengakses informasi, dan berelasi dengan calon konstituen.
Tantangan lainnya, pencalonan perempuan yang masih dominan dilandasi faktor kekerabatan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah menekankan perlunya memperbaiki kualitas pemilu untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Kemudian kualitas literasi politik pemilih juga harus diperbaiki.
Ketika kondisi ideal itu terjadi, dukungan terhadap politikus perempuan bisa meningkat.
Selain itu, pihaknya mengkritisi paradigma mengenai pemilu yang selama ini dianggap sebagai pesta demokrasi.
Ketika pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, masyarakat diposisikan sebagai tamu yang cukup datang ke pesta, menikmati perayaan, menikmati hiburan, dan menyantap makanan. Kemudian selesai pesta, pulang.
Pemilu yang dianggap sebagai pesta berakibat proses kampanye dilakukan secara tidak setara.
Yang diperhatikan oleh masyarakat adalah caleg yang paling heboh, yang paling banyak dan besar spanduknya.
Akibatnya, arena kontestasinya menjadi tidak setara dan dalam hal ini yang kerap menjadi korban adalah caleg perempuan dan politisi perempuan.
Padahal, pemilu adalah tentang bagaimana suara rakyat dihimpun untuk menentukan sirkulasi kepemimpinan di tingkat nasional, yang prosesnya harus dilakukan dengan prinsip yang bebas dan adil.
Kampanye Pemerintah dukung keterwakilan perempuan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengajak seluruh elemen untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen dengan memilih caleg perempuan.
Dengan memanfaatkan sisa waktu yang ada, KemenPPPA melakukan kampanye digital untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen.
Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum KemenPPPA Iip Ilham Firman menyebut kampanye ini bersifat imbauan untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen, dengan harapan di detik-detik terakhir masa kampanye pemilu ini, pesan tersebut dapat tersampaikan dengan baik.
Pihaknya menekankan pentingnya meningkatkan keterwakilan perempuan, baik secara kuantitas maupun secara kualitas agar kebutuhan perempuan dapat direpresentasikan dan didefinisikan dalam parlemen ke dalam bentuk produk kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan.
Pemilu 2024 merupakan kesempatan emas bagi masyarakat, khususnya perempuan, untuk melakukan percepatan dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia melalui pencapaian 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Saat ini keterwakilan perempuan di DPR RI baru mencapai 20,5 persen dan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024, Pemerintah menargetkan 22,5 persen keterwakilan perempuan di DPR pada Pemilu 2024.
Mewujudkan impian keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen bukan hal mudah. Ketimpangan kesetaraan gender dan budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat membuat proses untuk mencapai hal tersebut menjadi berat.
Sudah selayaknya semua pihak yang terlibat dalam pemilu, termasuk partai politik, memaksimalkan upaya untuk memberdayakan perempuan dalam dunia politik.
Dengan makin banyaknya perempuan yang menjadi wakil di parlemen maka mereka dapat membantu menyelesaikan permasalahan perempuan di negeri ini.
Data Global Gender Gap Index 2022 yang dirilis World Economic Forum memosisikan Indonesia pada peringkat 92 dari 146 negara dengan nilai 0,697 dari satu.
Variabel pemberdayaan politik perempuan diberi nilai 0,169, paling rendah dari empat indikator yang diukur dalam Global Gender Gap Index.
Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen merupakan contoh paling nyata masih kurangnya pemberdayaan perempuan dalam politik.
Saat ini, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI baru mencapai 20,5 persen, masih jauh dari target afirmasi sebesar 30 persen.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai terdapat sejumlah potensi peningkatan keterwakilan perempuan, antara lain pemilu dan pilkada serentak yang berlangsung berurutan pada 2024. Ini membuka peluang yang lebih besar akan adanya ruang bagi perempuan untuk menduduki posisi di bidang politik.
Selain itu jumlah pemilih perempuan besar, lebih dari 50 persen pemilih adalah perempuan.
Kemudian penambahan jumlah daerah pemilihan (dapil) dan kursi DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota membuka ceruk peluang tambahan bagi perempuan berpolitik.
Perkembangan teknologi informasi dan media sosial membuka akses kampanye alternatif yang lebih mudah dan murah.
Budaya patriarki dan biaya politik yang tinggi
Namun demikian, ada sejumlah hambatan keterpilihan perempuan dalam politik, di antaranya kebijakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang melemahkan eksistensi perempuan politik.
Selain itu adanya faktor sosial dan kultural masyarakat yang masih mendiskriminasi perempuan serta stigma, stereotipe, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi.
Juga masih adanya anggapan kepemimpinan lebih pantas diberikan kepada caleg laki-laki.
Tingginya biaya politik sebagai konsekuensi sistem pemilu di Indonesia yang rumit, kompleks, dan mahal menghambat kiprah politik perempuan.
Adanya politik transaksional di pemilu, seperti jual beli nomor urut, jual beli suara, dan masih adanya praktik suap dalam penghitungan suara menjadikan perempuan kian tersisih dari dunia politik.
Menurutnya, sistem politik dan pemilu masih harus disempurnakan untuk bisa menghadirkan ekosistem kompetisi yang bersih dan sehat.
Politik afirmasi keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai beban oleh partai politik sehingga tidak terjadi kaderisasi, pendidikan, dan penguatan kapasitas politik yang berkesinambungan.
Komisi Pemilihan Umum memandang tantangan caleg perempuan dalam Pemilu 2024 adalah persepsi sebagian masyarakat yang masih menganut nilai sosial dan budaya yang cenderung patriarki sehingga mengesampingkan rekam jejak politik dan kualitas kepemimpinan perempuan.
Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos menyebut kondisi ini membuat masyarakat mengesampingkan sisi rekam jejak politik, aspek intelegensia, kemampuan manajerial, dan kualitas kepemimpinan caleg perempuan.
Selain itu, tantangan keterpilihan perempuan adalah kecenderungan parpol yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 3 pada aturan minimal satu perempuan dalam tiga calon.
Dalam sistem proporsional terbuka, perempuan dimanfaatkan hanya untuk mendulang suara, tapi tidak diharapkan untuk terpilih.
Kemudian afirmative action pencalonan perempuan hanya memberikan akses mendorong pencalonan perempuan, sementara pada proses kontestasi untuk mendapatkan kursi masih terdapat ketimpangan dalam strategi berpolitik, mengakses informasi, dan berelasi dengan calon konstituen.
Tantangan lainnya, pencalonan perempuan yang masih dominan dilandasi faktor kekerabatan.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah menekankan perlunya memperbaiki kualitas pemilu untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Kemudian kualitas literasi politik pemilih juga harus diperbaiki.
Ketika kondisi ideal itu terjadi, dukungan terhadap politikus perempuan bisa meningkat.
Selain itu, pihaknya mengkritisi paradigma mengenai pemilu yang selama ini dianggap sebagai pesta demokrasi.
Ketika pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, masyarakat diposisikan sebagai tamu yang cukup datang ke pesta, menikmati perayaan, menikmati hiburan, dan menyantap makanan. Kemudian selesai pesta, pulang.
Pemilu yang dianggap sebagai pesta berakibat proses kampanye dilakukan secara tidak setara.
Yang diperhatikan oleh masyarakat adalah caleg yang paling heboh, yang paling banyak dan besar spanduknya.
Akibatnya, arena kontestasinya menjadi tidak setara dan dalam hal ini yang kerap menjadi korban adalah caleg perempuan dan politisi perempuan.
Padahal, pemilu adalah tentang bagaimana suara rakyat dihimpun untuk menentukan sirkulasi kepemimpinan di tingkat nasional, yang prosesnya harus dilakukan dengan prinsip yang bebas dan adil.
Kampanye Pemerintah dukung keterwakilan perempuan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengajak seluruh elemen untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen dengan memilih caleg perempuan.
Dengan memanfaatkan sisa waktu yang ada, KemenPPPA melakukan kampanye digital untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen.
Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum KemenPPPA Iip Ilham Firman menyebut kampanye ini bersifat imbauan untuk mendukung keterwakilan perempuan di parlemen, dengan harapan di detik-detik terakhir masa kampanye pemilu ini, pesan tersebut dapat tersampaikan dengan baik.
Pihaknya menekankan pentingnya meningkatkan keterwakilan perempuan, baik secara kuantitas maupun secara kualitas agar kebutuhan perempuan dapat direpresentasikan dan didefinisikan dalam parlemen ke dalam bentuk produk kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan.
Pemilu 2024 merupakan kesempatan emas bagi masyarakat, khususnya perempuan, untuk melakukan percepatan dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia melalui pencapaian 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Saat ini keterwakilan perempuan di DPR RI baru mencapai 20,5 persen dan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 - 2024, Pemerintah menargetkan 22,5 persen keterwakilan perempuan di DPR pada Pemilu 2024.
Mewujudkan impian keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen bukan hal mudah. Ketimpangan kesetaraan gender dan budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat membuat proses untuk mencapai hal tersebut menjadi berat.
Sudah selayaknya semua pihak yang terlibat dalam pemilu, termasuk partai politik, memaksimalkan upaya untuk memberdayakan perempuan dalam dunia politik.
Dengan makin banyaknya perempuan yang menjadi wakil di parlemen maka mereka dapat membantu menyelesaikan permasalahan perempuan di negeri ini.