Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan lembaga konservasi berperan penting dalam mendukung pengelolaan tumbuhan dan satwa liar serta pengurangan emisi gas rumah kaca.
"Lembaga konservasi seperti kebun binatang baik yang besar maupun kecil, public service obligation-nya sangat kuat terutama untuk melindungi dan melestarikan serta edukasi kepada masyarakat," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Lembaga konservasi merupakan mekanisme pengelolaan satwa di luar habitat (ex-situ) yang dilakukan untuk mendukung pengelolaan tumbuhan dan satwa liar di dalam habitatnya (in-situ).
Siti menegaskan lembaga konservasi untuk kepentingan umum memiliki fungsi penting yang menyatukan elemen konservasi, pendidikan, dan rekreasi yang sehat.
Selain aspek konservasi, katanya, lembaga konservasi juga memiliki aspek komersil yang memerlukan perizinan dari pemerintah. Izin tersebut adalah otoritas dari negara kepada manajemen operasional lembaga konservasi.
Bahkan, lembaga konservasi juga berpotensi memiliki nilai ekonomi karbon di mana tutupan vegetasi yang ada di areal lembaga konservasi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca juga menyimpan dan menyerap karbon.
"Kita bisa mengembangkan nilai-nilai pembeda dari aktivitas lembaga konservasi dengan high conservation value yang relevan dengan substansi karbon," kata Menteri Siti.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedang mengimplementasikan FoLU Net Sink 2030 yang selaras dengan target dan tujuan pada Kunming Montreal Biodiversity Global Framework, Convention Biological Diversity (CBD).
Dalam ruang lingkup FoLU Net Sink 2030, konservasi keanekaragaman hayati menjadi aksi mitigasi, misalnya melalui intervensi dalam pembinaan populasi dan habitat.
Menteri Siti menjelaskan pemanfaatan nilai ekonomi karbon dari sisi status lahan di lembaga konservasi yang secara umum menjadi hak milik, berpeluang dikembangkan skema karbon melalui program-program aforestasi, rehabilitasi, dan reboisasi (ARR).
Skema karbon di lembaga konservasi juga dapat menjadi peluang pendapatan untuk mendukung pengelolaan satwa yang lebih baik dan memenuhi standar mutu.
"Dari sinilah dapat dilihat keterkaitan erat antara perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati, krisis iklim dapat mengubah habitat, mengganggu proses ekologis, serta meningkatkan risiko kepunahan tumbuhan dan satwa liar," kata Siti.
Saat ini tercatat ada 82 unit lembaga konservasi untuk kepentingan umum yang telah registrasi di KLHK. Namun demikian, Menteri Siti menyadari bahwa belum semua lembaga konservasi mempunyai sarana prasarana dan sumber daya yang memadai dalam pengelolaan tumbuhan dan satwa liar.
Konsep akademia konservasi perlu dibantu di mana para staf pengelola dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan dalam pengelolaan satwa.
Kemudian, pengetahuan dan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya antara lain kurator, keeper, studbook keeper, dan penggunaan teknologi pengembangbiakan dapat berbagi pengetahuan dengan lembaga konservasi lain, penangkar atau bahkan petugas-petugas konservasi di lapangan.
Menteri Siti ingin lembaga konservasi dikelola secara profesional, menyediakan sarana prasarana representatif, serta staf pengelola yang memiliki keahlian di bidang konservasi.
"Saya kira kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan pelatihan terkait konservasi spesies satwa liar bisa diintegrasikan di sini, termasuk pengembangan akademia konservasi," tuturnya.
"Lembaga konservasi seperti kebun binatang baik yang besar maupun kecil, public service obligation-nya sangat kuat terutama untuk melindungi dan melestarikan serta edukasi kepada masyarakat," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Lembaga konservasi merupakan mekanisme pengelolaan satwa di luar habitat (ex-situ) yang dilakukan untuk mendukung pengelolaan tumbuhan dan satwa liar di dalam habitatnya (in-situ).
Siti menegaskan lembaga konservasi untuk kepentingan umum memiliki fungsi penting yang menyatukan elemen konservasi, pendidikan, dan rekreasi yang sehat.
Selain aspek konservasi, katanya, lembaga konservasi juga memiliki aspek komersil yang memerlukan perizinan dari pemerintah. Izin tersebut adalah otoritas dari negara kepada manajemen operasional lembaga konservasi.
Bahkan, lembaga konservasi juga berpotensi memiliki nilai ekonomi karbon di mana tutupan vegetasi yang ada di areal lembaga konservasi dapat mengurangi emisi gas rumah kaca juga menyimpan dan menyerap karbon.
"Kita bisa mengembangkan nilai-nilai pembeda dari aktivitas lembaga konservasi dengan high conservation value yang relevan dengan substansi karbon," kata Menteri Siti.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedang mengimplementasikan FoLU Net Sink 2030 yang selaras dengan target dan tujuan pada Kunming Montreal Biodiversity Global Framework, Convention Biological Diversity (CBD).
Dalam ruang lingkup FoLU Net Sink 2030, konservasi keanekaragaman hayati menjadi aksi mitigasi, misalnya melalui intervensi dalam pembinaan populasi dan habitat.
Menteri Siti menjelaskan pemanfaatan nilai ekonomi karbon dari sisi status lahan di lembaga konservasi yang secara umum menjadi hak milik, berpeluang dikembangkan skema karbon melalui program-program aforestasi, rehabilitasi, dan reboisasi (ARR).
Skema karbon di lembaga konservasi juga dapat menjadi peluang pendapatan untuk mendukung pengelolaan satwa yang lebih baik dan memenuhi standar mutu.
"Dari sinilah dapat dilihat keterkaitan erat antara perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati, krisis iklim dapat mengubah habitat, mengganggu proses ekologis, serta meningkatkan risiko kepunahan tumbuhan dan satwa liar," kata Siti.
Saat ini tercatat ada 82 unit lembaga konservasi untuk kepentingan umum yang telah registrasi di KLHK. Namun demikian, Menteri Siti menyadari bahwa belum semua lembaga konservasi mempunyai sarana prasarana dan sumber daya yang memadai dalam pengelolaan tumbuhan dan satwa liar.
Konsep akademia konservasi perlu dibantu di mana para staf pengelola dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan dalam pengelolaan satwa.
Kemudian, pengetahuan dan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya antara lain kurator, keeper, studbook keeper, dan penggunaan teknologi pengembangbiakan dapat berbagi pengetahuan dengan lembaga konservasi lain, penangkar atau bahkan petugas-petugas konservasi di lapangan.
Menteri Siti ingin lembaga konservasi dikelola secara profesional, menyediakan sarana prasarana representatif, serta staf pengelola yang memiliki keahlian di bidang konservasi.
"Saya kira kebutuhan-kebutuhan pendidikan dan pelatihan terkait konservasi spesies satwa liar bisa diintegrasikan di sini, termasuk pengembangan akademia konservasi," tuturnya.