Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian (Kementan) menerapkan strategi Sawit Satu sebagai salah satu upaya percepatan sertifikasi petani sawit swadaya melalui perbaikan tata kelola dan praktik budidaya tanaman kelapa sawit bagi petani di daerah.

Menurut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun) Ditjen Perkebunan Kementan Prayudi Syamsuri upaya tersebut dilakukan Kementan bersama Dinas Perkebunan daerah serta para pemangku kepentingan lain sektor kelapa sawit supaya menghasilkan minyak sawit berkelanjutan. 

"Guna mendukung permintaan minyak sawit yang terus tumbuh 7,3 persen dan tekanan praktik sawit berkelanjutan yang semakin ketat maka pemerintah meluncurkan strategi Sawit Satu," kata Prayudi Syamsuri di Jakarta, Jumat.

Strategi Sawit Satu, lanjutnya, yakni dengan menerapkan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang didukung oleh anggaran dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Mendorong penerapan ISPO, perbaikan Sarana dan Prasarana (Sarpras) dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki infrastruktur yang diperlukan di perkebunan sawit serta menyediakan anggaran beasiswa  untuk 3.000 
anak petani sawit.

“Termasuk penerbitan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) merupakan komitmen pemerintah untuk mendukung keberlanjutan sektor sawit,” katanya.



Sementara itu mengenai pendekatan yurisdiksi sebagai upaya mendorong percepatan sertifikasi ISPO bagi petani kelapa sawit swadaya, Prayudi mendukung hal tersebut.

"Pendekatan yurisdiksi dapat menjadi peluang untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO terutama di tingkat pekebun," katanya.

Dikatakannya, pendekatan yurisdiksi merupakan suatu wilayah yang ditetapkan dengan batas-batas tertentu baik secara politis maupun administratif.

Wilayah dalam yurisdiksi tersebut akan dinilai kepatuhan dan pemenuhannya terhadap prinsip dan kriteria untuk memperoleh sertifikasi ISPO, lanjutnya, CPO yang diproduksi di dalam batas wilayah tersebut dapat dianggap telah mematuhi standar ISPO.

Sebelumnya Yayasan Kaleka menginisiasi pendekatan yuridis sebagai upaya dalam mendorong percepatan sertifikasi ISPO.

Menurut Bernadinus Steni Sugiarto dari Yayasan Kaleka, bila proses sertifikasi dilakukan dengan mengikutkan kurang dari 500 petani, biaya sertikasi akan terasa mahal mencapai di atas 170 dolar AS per petani.

Sementara bila skala proses sertifikasi itu dikembangkan menjadi sebanyak di atas 2000 petani sawit, maka biaya sertifikasi minyak sawit berkelanjutan bisa ditekan hingga minimal sampai kurang dari 50 dolar AS per petani.

Oleh sebab itu guna mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan terkoordinasi, lanjutnya, salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan meningkatkan skala sertifikasi untuk mencakup lebih banyak petani dalam satu proses.

"Dengan memperluas cakupan, biaya per petani dapat dikurangi secara signifikan, sehingga membuatnya lebih terjangkau bagi semua pihak," katanya dalam acara workshop dengan tema "Best Practices Perkebunan Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Yurisdiksi" .

Senada dengan hal itu Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin menyatakan untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang inklusif dan mudah diakses bagi petani sawit, salah satunya pendekatan holistik atau yang dikenal sebagai sertifikasi kewilayahan atau yurisdiksi.

Pendekatan ini memastikan bahwa tidak ada satu pun petani yang terpinggirkan dari proses sertifikasi. Evaluasi menyeluruh dari kondisi wilayah, termasuk identifikasi daerah yang terdegradasi, medium, dan stabil, juga menjadi bagian dari pendekatan ini.

"Pendekatan ini memungkinkan untuk percepatan sertifikasi ISPO dengan melibatkan pemerintah dan berbagai pihak terkait," katanya.

 

Pewarta : Subagyo
Editor : Andriy Karantiti
Copyright © ANTARA 2024