Palu (ANTARA) -
Keyakinan bahwa kreativitas sejati adalah proses spontan dan intuitif, yang tidak dapat dicapai melalui serangkaian aturan dan prosedur yang telah ditentukan, masih bertahan dalam imajinasi populer saat ini.

Mengingat perubahan teknologi dramatis yang sedang terjadi dengan adanya digitalisasi dan otomatisasi dunia kerja melalui ledakan pembelajaran menggunakan mesin dan kecerdasan buatan, satu pertanyaan penting pun muncu: apakah pekerjaan memiliki masa depan? 
 
Pertanyaan ini dapat direspon baik secara normatif maupun empiris. Secara normative dapat dilihat apakah pekerjaan mempunyai masa depan? Apakah ada nilai etis yang harus kita pelihara?. Namun secara empiris kita melihat akankah pekerjaan tetap bertahan sehingga dapat mewujudkan nilai etis apa pun yang dimilikinya?
Terhadap pertanyaan normatif, kita menjawab: ya, kerja yang baik, aktivitas yang profesional, sangat penting bagi kita sebagai manusia. Meskipun jenis pekerjaan tertentu pada akhirnya dapat disingkirkan atau digantikan tanpa kehilangan etika, jenis pekerjaan lain tampaknya begitu penting bagi kehidupan manusia sehingga tidak masuk akal untuk dihilangkan.
 
Beberapa pekerjaan mendasar tampaknya benar-benar menolak otomatisasi dan lain-lain, dan persyaratan yang tidak dapat dihindari dari segala bentuk kehidupan manusia. Berbicara soal empiris, tentunya akan menjadi satu isu yang berbeda. 
 
Apakah visi ini merupakan tujuan yang realistis atau dapat diwujudkan di masa depan akan bergantung pada pilihan politik dan sosial, dan pengembangan serangkaian nilai baru dalam budaya industri modern. 
 
Ketika kita merefleksikan aspirasi profesional kita, kita mungkin akan terdorong menyikapi bahwa aspirasi tersebut mencerminkan preferensi yang bersifat idiosinkratik dan bukan penilaian obyektif yang ‘lebih baik’ dan ‘lebih buruk’. Namun godaan ini akan berkurang ketika kita memperluas pertanyaan: misalnya, pekerjaan seperti apa yang kita ingin anak-anak kita lakukan? Di sini, intuisi dasarnya tetap ada: beberapa upaya, termasuk bentuk pekerjaan memang tampak lebih baik, lebih bermanfaat bagi zaman kita, bahkan ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak orang, tampaknya, kurang menghargai upaya tersebut, dan beberapa memang tampak lebih buruk, dan kurang layak untuk zaman kita, bahkan ketika menghadapi popularitas yang mengecewakan.
 
Sebut saja ini sebagai 'intuisi objektivis'. Gagasan ini terkait dengan arus literatur kontemporer yang berpendapat bahwa pekerjaan yang bermakna adalah kebutuhan manusia. Pekerjaan bermakna jika memberikan kontribusi sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain atau secara intrinsik bernilai. Oleh karena itu, seseorang mungkin menganggap pekerjaannya menarik, namun tetap merasa pekerjaannya tidak terlalu 'bermakna', yang merupakan gagasan yang menyiratkan objektivitas tertentu.
 
Baru-baru ini ada banyak minat terhadap refleksi etis dalam pekerjaan dari beberapa peneliti diantaranya Breen dan Deranty, 2021; Yeoman et al., 2019, dan tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt yang kaya secara filosofis dan interdisipliner adalah tempat yang wajar untuk mencari respon tepat akan etika kerja yang kritis, Theodor Adorno, generasi pertama Mazhab Kritis Frankfurt menawarkan sumber daya yang menjanjikan dan belum dimanfaatkan untuk etika kerja kritis yang menyikapi intuisi objektivis. 
 
Meskipun berpengaruh dalam Studi Manajemen Kritis, Adorno kurang mendapat perhatian dalam respon kerja dan pekerjaan. 
 
Mungkin tidak mengejutkan jika dikatakan bahwa desakan Adorno pada ‘kehidupan yang salah’ yaitu dunia sosial kita saat ini telah dikompromikan secara radikal dan ‘tidak dapat dijalani dengan benar’. 
 
Terlebih lagi, pandangan yang diterima tentang Adorno sebagai seorang pesimis irasionalis sangatlah tidak menyenangkan. Namun belakangan, pandangan tersebut mendapat tantangan dan pentingnya pemikiran Adorno terhadap studi tentang kerja perlu dipertahankan. 
 
Dalam hal ini, penulis ingin berargumentasi bahwa pandangan negativis Adorno mengenai kebutuhan yang benar dan salah, tentang pekerjaan dalam masyarakat pasar kontemporer, dan tentang pekerjaan sebagai aktivitas sejati sangat memberi sugesti untuk melakukan refleksi kritis terhadap masa depan dunia kerja yang sesuai dengan intuisi obyektivis.
 
Dalam pandangan Adornian ini, pasar cenderung menghasilkan pekerjaan yang bercirikan ketidakberdayaan, kebosanan, dan hal-hal yang berlebihan. 
 
Namun demikian, perlu juga rasanya mempertimbangkan dua contoh paradigma kerja yang tampaknya penting bagi masa depan dunia kerja: kerja yang melibatkan kreatifitas (seni, konsultasi, dsb) dan yang melibatkan perawatan (rumah sakit, obat-obatan, dsb). Kebutuhan kita akan pengalaman kreatif dan perhatian bukanlah kebutuhan yang pada prinsipnya dapat dijawab melalui mekanisasi atau otomatisasi: kebutuhan tersebut seperti, katakanlah, visual atau suara yang menarik, betapapun diciptakan oleh otomisasi mesin hanya akan merupakan replika dari kecerdasan manusia. 
 
Refleksi terhadap keterbatasan pekerjaan kontemporer menyiratkan bahwa pada dasarnya kita memerlukan aktivitas yang otonom, spontan, dan imajinatif yang dapat memenuhi kebutuhan orang lain. 
 
Oleh karena itu, pekerjaan yang kreatif dan yang melibatkan aktivitas perawatan tampaknya memberikan contoh tentang apa yang sangat bermanfaat dalam pekerjaan, dan harus memiliki masa depan, meskipun ada distorsi dalam kondisi sosial saat ini.
 
Pandangan Adornian yang muncul bersifat negativis dan sangat skeptis terhadap praktik dan institusi yang ada, namun menganggap serius dorongan etis dan intuisi kita yang terdalam, serta dipandu oleh optimisme mendasar tentang potensi yang belum terpenuhi bagi kemajuan umat manusia untuk menghindari pemiskinan dunia sosial kita. 
 
Oleh karena itu, opini ini ditulis untuk mendorong perubahan sosial yang mengedepankan dan membebaskan bentuk-bentuk pekerjaan yang sesuai dengan deskripsi ‘aktivitas sejati’, yang di uraikan di bawah ini, termasuk pekerjaan kreatif dan pekerjaan yang membutuhkan perawatan, dari tekanan-tekanan pasar yang merusak.
 
Etika kerja Adorno mengakomodir intuisi obyektivis karena berakar pada konsepsi kebutuhan yang hidup dengan membedakan antara kebutuhan yang benar dan yang salah, yaitu antara kebutuhan yang hanya dirasakan, namun dalam beberapa hal bersifat ilusi, dan kebutuhan yang sejati. 
 
Kebutuhan sejati terikat dengan intuisi obyektivis yang diperkenalkan di atas karena untuk memenuhi syarat sebagai suatu kebutuhan, daya tarik subyektif saja tidak cukup. 
 
Perbedaan antara kebutuhan yang benar dan yang salah sangatlah rumit. Bagi Adorno, konsep mengenai kebutuhan sejati manusia dan bukan kebutuhan palsu tidak setara dengan kebutuhan yang didapat atau dibuat-buat dibandingkan dengan kebutuhan ‘alami’. 
 
Kebutuhan manusia yang sebenarnya tidak secara otomatis tersedia secara transparan bagi kesadaran diri, karena interpretasi diri terhadap kebutuhan seseorang, yang prosesnya terkadang sebagian merupakan bagian dari kebutuhan tersebut, merupakan proses yang terkondisi secara sosial.
 
Adorno menganggap dunia sosial kita rusak, tidak bebas, dan salah, dan penulis ingin memanfaatkan kritik ini untuk menguraikan mengapa pencapaian pekerjaan yang baik sangat jarang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Adorno memahami masyarakat modern sebagai “konteks fungsional pengondisian diri yang kompleks yang mekanismenya adalah sistem pasar yang dipandu oleh motif keuntungan. 
 
Sistem ini berjalan tanpa menghiraukan nilai apa pun selain nilai uang. Keistimewaan motif keuntungan berarti tujuan memaksimalkan nilai uang semakin diupayakan dengan mengorbankan kepentingan manusia yang seharusnya dikembangkan oleh pasar.
 
Sistem ini didasarkan pada pertukaran komoditas, yang menganggap segala sesuatu sebagai satu kesatuan yang dapat dipertukarkan. 
 
Ini memungkinkan hal-hal dan orang-orang tertentu untuk melakukannya hanya muncul sejauh mereka secara fungsional direduksi menjadi-diperlakukan seolah-olah memang demikian-kuantitas kualitas nilai yang abstrak. Hal ini membuat manusia dan kebutuhannya “tampak seperti hal-hal yang hanya mematuhi hukum pasar”. 
 
Hal-hal khusus dilihat secara eksklusif dari sudut pandang yang dianggap setara oleh aktor-aktor lain. Oleh karena itu, dalam masyarakat borjuis maju, semua kehidupan didominasi oleh prinsip pertukaran yang menurut Adorno merupakan struktur normatif dalam masyarakat modern.
 
Dalam masyarakat ini segala sesuatu dan setiap orang secara fungsional direduksi menjadi alat untuk melakukan sesuatu yang lain yang dapat ditukarkan. 
 
Manusia diasimilasikan dengan peran ekonomi sebagai pembeli dan penjual, dan peran-peran ini secara fungsional mereduksi manusia menjadi kuantitas: individu tampil sebagai konsumen (kuantitas daya beli) dan pekerja (kuantitas tenaga kerja). Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, individu terpaksa menjual tenaganya.
 
Penulis melihat dapat bahwa analisis Adorno mampu menjelaskan fenomena dan permasalahan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan modern, penulis juga melihat pembenaran keseluruhan etika Adorno. 
 
Filosofi Adorno dapat menjelaskan mengapa pekerjaan mempunyai masa depan dan masa depan seperti apa yang kita harapkan dengan menjelaskan kekurangannya saat ini. Pekerjaan yang ada saat ini sebagian besar tidak etis dan subyektif, dan bahkan beberapa paradigma mengenai pekerjaan yang unggul pun telah salah.
 
Banyak karya kreatif yang terdistorsi oleh tekanan pasar untuk fokus pada apa yang orang anggap memuaskan dan mengorbankan apa yang benar-benar artistik, dan banyak karya perawatan didorong oleh efisiensi dibandingkan cinta dan kehangatan, apalagi orientasi murni terhadap kebutuhan sejati orang lain. 
 
Keterbatasan ini mengisyaratkan masa depan dunia kerja yang berharga dimana distorsi-distorsi tersebut dihilangkan dan lapangan kerja yang berorientasi pada kebutuhan manusia secara etis dibebaskan. Tenaga kerja di masa depan harus diatur berdasarkan kebutuhan aktual manusia, bebas dari tekanan pasar dan administratif kapitalisme.
 
Adorno mengambil opininya dari kritik negatif terhadap pengalaman manusia, bukan asumsi mengenai kebutuhan kita di masa depan. 
 
Kesimpulan negatif dari penderitaan yang meluas sebagai reaksi terhadap lapangan kerja yang mengabaikan atau mendistorsi tuntutan tersebut mengidentifikasi perlunya aktivitas manusia yang bebas dan kreatif. 
Dengan demikian, kita harus melakukan perbaikan di masa depan yang melindungi dan mendorong upaya memanusiakan pekerjaan. 
 
Seperti yang dijelaskan Adorno, hal ini memerlukan pembebasan pekerjaan dari pembagian kerja yang ada di bawah tekanan pasar dan administratif. 
 
Reformasi semacam ini mungkin menimbulkan perdebatan dan tindakan kelompok, namun hal ini akan berbuah demokrasitisasi dalam dunia kerja. 
 
Wacana kolaboratif ini mungkin menantang tekanan komersial dan administratif dan merupakan prasyarat untuk mengartikulasikan visi masa depan dunia kerja yang memenuhi kebutuhan intuitif sejati kita.***
Penulis: Ressa Uli Patrissia
Dosen Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta

Pewarta : Ressa Uli Patrissia
Editor : Mohamad Ridwan
Copyright © ANTARA 2024