Labuan Bajo (ANTARA) -
“Teknologi ini masih dalam bentuk research and development. Kami targetkan di tahun 2025, itu (research and development) sudah bisa selesai dan commercially ready di tahun 2026,” kata Direktur Investasi Mitratel Hendra Purnama saat media gathering, di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa.
Sebelumnya pada awal Agustus ini, Mitratel menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan anak usaha Airbus yakni AALTO HAPS Ltd untuk menjajaki penyediaan solusi HAPS komersial di Indonesia.
Zephyr HAPS merupakan terobosan baru dalam teknologi telekomunikasi yang menyediakan sistem layanan komunikasi dan pengawasan beroperasi di ketinggian stratosfer atau sekitar 20 kilometer di atas permukaan bumi. HAPS mirip dengan satelit, tetapi dengan biaya operasional yang lebih rendah dan fleksibilitas yang lebih tinggi.
Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko atau akrab disapa Teddy mengatakan penggunaan HAPS untuk flying tower system tidak akan sepenuhnya menggantikan teknologi terrestrial network (sistem komunikasi nirkabel yang beroperasi di permukaan bumi), terutama terrestrial network yang telah ada di daerah daratan di kota-kota besar.
Dengan area cakupan sekitar 7.500 kilometer persegi, HAPS dinilai sebagai solusi ideal untuk memperluas cakupan jaringan di daerah yang jarang penduduknya atau medan yang menantang terutama wilayah-wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Maka nantinya kehadiran teknologi non-terrestrial, seperti HAPS ini, dapat menjadi pelengkap jaringan terrestrial yang telah ada sebelumnya.
Selain mampu memberikan layanan komunikasi yang stabil dan berkualitas tinggi di area yang luas, flying tower system dengan penggunaan HAPS memiliki keunggulan dalam hal biaya operasional yang lebih murah serta fleksibel atau mudah digerakkan dan diposisikan ulang sesuai kebutuhan.
Direktur Bisnis Mitratel Agus Winarno menambahkan, HAPS bahkan tidak hanya dimanfaatkan oleh operator telekomunikasi untuk penyediaan kebutuhan komunikasi seluler, melainkan juga berpotensi dimanfaatkan oleh segmen lainnya seperti pemerintah, dunia usaha, hingga konsumen ritel.
“Flying tower system kami pastikan bukan hanya untuk para operator atau MNO. Tapi banyak sekali kebutuhan. Pemerintah misalnya butuh surveillance, pemetaan atau mapping, sensor-sensor untuk IoT, dan sebagainya. Setelah kami dalami, tentu use case-nya banyak sekali di luar kebutuhan untuk berkomunikasi seluler,” kata Agus.
Mengingat saat ini penggunaan HAPS masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, Mitratel akan mempertimbangkan skema bisnis yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Mitratel juga terus melakukan kajian teknis, eksplorasi market, mendorong aspek regulasi, serta membuka peluang kerja sama tidak hanya dengan AALTO melainkan juga perusahaan potensial lainnya untuk mengembangkan HAPS di Indonesia.
PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel menargetkan adopsi teknologi Zephyr High Altitude Platform Station (Zephyr HAPS) dari AALTO untuk flying tower system siap untuk beroperasi secara komersial di tahun 2026.
Sebelumnya pada awal Agustus ini, Mitratel menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan anak usaha Airbus yakni AALTO HAPS Ltd untuk menjajaki penyediaan solusi HAPS komersial di Indonesia.
Zephyr HAPS merupakan terobosan baru dalam teknologi telekomunikasi yang menyediakan sistem layanan komunikasi dan pengawasan beroperasi di ketinggian stratosfer atau sekitar 20 kilometer di atas permukaan bumi. HAPS mirip dengan satelit, tetapi dengan biaya operasional yang lebih rendah dan fleksibilitas yang lebih tinggi.
Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko atau akrab disapa Teddy mengatakan penggunaan HAPS untuk flying tower system tidak akan sepenuhnya menggantikan teknologi terrestrial network (sistem komunikasi nirkabel yang beroperasi di permukaan bumi), terutama terrestrial network yang telah ada di daerah daratan di kota-kota besar.
Dengan area cakupan sekitar 7.500 kilometer persegi, HAPS dinilai sebagai solusi ideal untuk memperluas cakupan jaringan di daerah yang jarang penduduknya atau medan yang menantang terutama wilayah-wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Maka nantinya kehadiran teknologi non-terrestrial, seperti HAPS ini, dapat menjadi pelengkap jaringan terrestrial yang telah ada sebelumnya.
Selain mampu memberikan layanan komunikasi yang stabil dan berkualitas tinggi di area yang luas, flying tower system dengan penggunaan HAPS memiliki keunggulan dalam hal biaya operasional yang lebih murah serta fleksibel atau mudah digerakkan dan diposisikan ulang sesuai kebutuhan.
Direktur Bisnis Mitratel Agus Winarno menambahkan, HAPS bahkan tidak hanya dimanfaatkan oleh operator telekomunikasi untuk penyediaan kebutuhan komunikasi seluler, melainkan juga berpotensi dimanfaatkan oleh segmen lainnya seperti pemerintah, dunia usaha, hingga konsumen ritel.
“Flying tower system kami pastikan bukan hanya untuk para operator atau MNO. Tapi banyak sekali kebutuhan. Pemerintah misalnya butuh surveillance, pemetaan atau mapping, sensor-sensor untuk IoT, dan sebagainya. Setelah kami dalami, tentu use case-nya banyak sekali di luar kebutuhan untuk berkomunikasi seluler,” kata Agus.
Mengingat saat ini penggunaan HAPS masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, Mitratel akan mempertimbangkan skema bisnis yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Mitratel juga terus melakukan kajian teknis, eksplorasi market, mendorong aspek regulasi, serta membuka peluang kerja sama tidak hanya dengan AALTO melainkan juga perusahaan potensial lainnya untuk mengembangkan HAPS di Indonesia.