Istambul (ANTARA) - Mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menuduh AS berada di balik penggulingannya karena ia menolak menyerahkan Pulau Saint Martin, yang akan memberikan pengaruh kepada Washington di Teluk Benggala, menurut laporan harian India, The Economic TImes (TET).

Hasina "menuduh bahwa AS berupaya menggulingkannya dari kekuasaan karena penolakannya untuk menyerahkan" kendali Pulau Saint Martin, "yang akan memungkinkan AS untuk mempengaruhi Teluk Benggala," demikian dilaporkan TET pada Minggu.

Mengutip pesan yang disampaikan melalui "rekan dekatnya," laporan tersebut menyatakan bahwa Hasina (76), "bisa saja tetap berkuasa" dengan menyerahkan kedaulatan Pulau Saint Martin.

Secara lokal dikenal sebagai Narikel Zinzira, atau Pulau Kelapa, Pulau Saint Martin, sebuah daratan kecil seluas hanya tiga kilometer persegi, terletak di bagian timur laut Teluk Benggala, sekitar 9 kilometer di selatan ujung semenanjung Cox's Bazar-Teknaf. Pulau ini menandai titik paling selatan Bangladesh.

Namun, laporan tersebut menambahkan: "Dia memilih untuk tidak mengkompromikan kedaulatan pulau tersebut, dengan menyoroti pentingnya posisi strategis pulau tersebut dan potensi pengaruh geopolitik yang diwakilinya di kawasan tersebut."

Menjelang penggulingannya yang mengakhiri masa jabatannya selama 15 tahun, Hasina mengklaim pada Mei bahwa ada rencana "untuk menciptakan 'negara Katholik seperti Timor Timur' dengan mengambil bagian dari Bangladesh dan Myanmar."

Tanpa menyebut negara mana pun secara spesifik, Hasina mengatakan dia "ditawari pemilihan kembali yang bebas masalah pada pemilu 7 Januari jika dia mengizinkan negara asing untuk membangun pangkalan udara di wilayah Bangladesh," menurut Daily Star yang berbasis di Dhaka.

Hasina juga menyatakan "kesedihan" terkait kerusuhan politik di Bangladesh setelah pengunduran dirinya pada 5 Agustus, yang dimulai dengan protes tuntutan penghapusan sistem kuota kontroversial dalam pekerjaan publik.

Terkait dengan pernyataan tersebut, putra Hasina yang berdiam di AS, Sajeeb Wazed, mengatakan di X: "Pernyataan pengunduran diri terbaru yang dikaitkan dengan ibu saya yang dipublikasikan di sebuah surat kabar sepenuhnya salah dan dibuat-buat."

"Saya baru saja mengonfirmasi kepada dia (Hasina) bahwa dia tidak membuat pernyataan apa pun sebelum atau setelah meninggalkan Dhaka," kata Wazed, yang sebelumnya menjabat sebagai pengusaha TI dan penasihat ICT untuk perdana menteri Bangladesh.

Hasina melarikan diri dari Bangladesh pada 5 Agustus ke negara tetangga India di mana dia saat ini tinggal "untuk sementara waktu," menurut pejabat India.

Menurut harian Prothom Alo, setidaknya 580 kematian dilaporkan sejak 16 Juli selama protes menentang pemerintah Hasina, dengan 326 di antaranya terjadi dalam tiga hari antara 4 dan 6 Agustus.

Segera setelah dia melarikan diri pada 5 Agustus, Kepala Angkatan Darat Bangladesh Jenderal Waker-uz-Zaman mengatakan bahwa Hasina telah mengundurkan diri. Zaman juga mengumumkan pembentukan pemerintahan transisi.

Sehari kemudian, Presiden Bangladesh Mohammed Shahabuddin membubarkan parlemen, yang dipilih pada Januari ketika Hasina menjadi perdana menteri untuk keempat kalinya.

Pemenang Hadiah Nobel Muhammad Yunus dilantik sebagai "penasihat utama" pada 8 Agustus untuk memimpin pemerintahan transisi yang beranggotakan 17 orang di Bangladesh.

Partai oposisi utama Partai Nasionalis Bangladesh menuntut pemilu nasional dalam waktu tiga bulan untuk menyerahkan kekuasaan kepada perwakilan rakyat.

Sumber: Anadolu


 



 


Pewarta : Primayanti
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024