Timika (ANTARA) - Sinar matahari pagi menyapa lembut wajah-wajah ramah penuh harapan untuk merajut kehidupan yang lebih baik di Kampung Poumako Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Warga kampung yang memiliki jiwa-jiwa pejuang ini meninggalkan tempat tinggal sederhananya untuk merajut harapan bersama mentari pagi di antara rimbunnya pepohonan bakau.
Suku Kamoro merupakan suku asli yang mendiami Kampung Poumako dan wilayah pesisir Kabupaten Mimika. Wilayah ini adalah surganya komoditas kelautan dan perikanan, salah satu unggulannya kepiting bakau.
Letaknya yang strategis karena langsung terhubung dengan laut, maka di wilayah Kampung Poumako yang memiliki Pelabuhan Rakyat dan Pelabuhan Perikanan ini, dapat mengoptimalkan potensi yang ada menjadi penggerak perekonomian wilayah pesisir.
Untuk sampai di Kampung Poumako dari pusat Kota Timika dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, karena akses jalan sudah sangat baik. Bahkan, ketika menyusuri ruas jalan tersebut tidak jarang akan sering menemui kendaraan yang melintas.
Jarak dari Pusat Kota Timika yakni Distrik Mimika Baru hingga Pelabuhan Kampung Poumako sekitar 45 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan.
Memasuki Kampung Poumako, akan disuguhi pemandangan aktivitas masyarakat setempat berjalan kaki sambil memikul tas khas Papua (noken), memegang parang dan ember, pergi mencari kepiting di hutan sekitar.
Potensi perikanan
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika, Anthonius Welerubun, mengakui bahwa potensi kelautan dan perikanan Kabupaten Mimika cukup besar.
"Potensi kelautan dan perikanan di Kabupaten Mimika sangat luar biasa, kaya. Laut adalah dapur bagi masyarakat wilayah pesisir," katanya saat ditemui di ruang kerjanya di Lingkungan Pusat Pemerintahan Kabupaten Mimika, di Poros Jalan SP 3 Timika Distrik Kuala Kencana.
Komoditas perikanan unggulan Mimika salah satunya adalah kepiting bakau (Scylla). Hal ini didukung ekosistem hutan bakau yang menghampar seluas 245.713 hektare, atau terluas ketiga setelah Asmat dan Merauke. Hutan bakau menjadi rumah bagi kepiting bakau atau karaka--sebutan yang akrab di kalangan masyarakat setempat.
Mimika menjadi daerah penghasil kepiting di wilayah Indonesia bagian timur dan masuk dalam Wilayah Pengelola Perikanan (WPP). Topografi Mimika berupa dataran tinggi hingga dataran rendah di wilayah pesisir sangat mendukung untuk budi daya kepiting.
Tingkat curah hujan daerah ini berkisar dari 2.109 mm hingga 5.034 mm atau cukup tinggi, sehingga masa budi daya perikanan seperti kepiting bakau disesuaikan dengan kondisi cuaca yang berlangsung.
Jika memasuki musim hujan, Juni hingga Desember, maka para nelayan kepiting akan libur panjang. Komoditas perikanan yang satu ini tidak akan bertahan dengan kondisi yang sangat basah.
Jika masa yang dinantikan datang yakni musim panas, maka nelayan kepiting bakau akan memanfaatkannya dengan sangat baik, karena di saat itulah yang menjadi peluang untuk mengisi pundi-pundi keuangannya.
Sedangkan ekosistem hutan bakau di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, membentang ke wilayah Asmat, Papua Selatan dan bersambung hingga wilayah Kaimana, Papua Barat. Hal ini merupakan salah satu faktor pendukung kesuburan perairan karena hamparan hutan bakau yang saling terhubung.
"Kita punya jenis kepiting bakau yang paling dominan di perairan Mimika yakni kepiting merah (Scylla olivace)," kata Anthonius Welerubun.
Percontohan
Sementara itu, secara terpisah Kepala Bidang Perikanan Tangkap pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika, Clemens Ohoilulin, menambahkan bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, guna mengembangkan potensi perikanan yang dimiliki.
Upaya mengembangkan potensi perikanan khususnya komoditas kepiting bakau telah berjalan sejak 2022. Harapannya, Kampung Keakwa ke depan menjadi percontohan bagi kampung lain di daerah ini.
Pembinaan dilakukan melalui kelompok nelayan. Satu kelompok nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa terdiri dari 10 hingga 20 orang anggota.
Selain pembinaan tersebut, tindak lanjut atas dukungan dan perhatian pemerintah bagi nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa melalui alokasi dana Otonomi khusus (Otsus). Dana yang pernah dikucurkan sebesar Rp1,8 miliar pada 2023.
Alokasi dana Otsus tersebut dipergunakan untuk menyiapkan sarana tangkap, perahu fiber, dan beberapa sarana penunjang lainnya bagi nelayan kepiting bakau.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika juga rutin memantau serta mengevaluasi kelompok nelayan dalam mengembangkan dan membudidayakan kepiting bakau.
Komoditas kepiting bakau Mimika telah menembus pasar nasional dan internasional. Sejak 2022 komoditas kepiting bakau sudah dipasarkan hingga ke luar daerah seperti Jakarta, Makassar dan Bali. Selain itu, pemasaran juga sudah sampai ke luar negeri, di antaranya ke Malaysia, Singapore dan Hongkong.
Khusus di Indonesia, para distributor rutin mengirim setiap bulan, sedangkan untuk ekspor ke luar negeri dilakukan setiap dua hingga tiga bulan sekali.
Produksi kepiting bakau kelompok nelayan Kampung Keakwa pada 2023 mencapai 7.680 ekor atau 2.650 kilogram.
Budi daya kepiting bakau
Seorang nelayan kepiting bakau dari Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, Esebius Momokare yang ditemui di tengah hujan deras mengguyur Kota Timika tampak antusias menjelaskan mengenai usaha keramba kepiting bakau yang digeluti bersama kelompoknya.
"Kelompok ini awalnya dibentuk oleh Bapak Maikel Amariau pada 2018. Beliau merupakan pendiri dan dan juga pendamping Kelompok Pokda Pea di Kampung Keakwa," kata Esebius Momokare yang juga sebagai bendahara kelompok nelayan budi daya kepiting bakau Pokda Pea.
Semangat Maikel Amariau ditularkan kepada masyarakat Kampung Keakwa dan kemudian terbentuklah kelompok tersebut yang diberi nama Pokda Pea hingga saat ini.
Awalnya hanya satu keramba yang diisi 10.000 bibit kepiting bakau. Bibit itu diperoleh dari kampung sekitar, kemudian dimasukkan ke dalam keramba, diberi pakan lokal yakni ikan sembilang (Plotosidae) yang didapatkan di perairan sekitar kampung tersebut.
Pada 2020, kelompok tersebut memanen perdana hasil budi daya kepiting bakau sebanyak 1.680 kilogram yang dipasarkan ke Makassar dan juga dalam Kota Timika. Ukuran kepiting yang dijual satu kilogram satu ekor kepiting. Harga Rp50.000 per kilogram atau total penjualan mencapai Rp84.000.000.
Pemerintah Kabupaten Mimika melalui Dinas Kelautan dan Perikanan mendukung dengan dana Otsus bagi kelompok ini, yakni dengan membangun jembatan mengelilingi areal keramba, pos jaga di atas keramba dengan ukuran 3x2 meter, dan memberikan bantuan biaya operasional bagi kelompok.
Kehadiran pemerintah dirasakan sangat membantu kelompok nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa. Mereka mendapatkan bantuan dana operasional kelompok sebesar Rp15 juta pada 2022.
Pada 2022, ada enam orang anggota pada kelompok tersebut juga difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika untuk mengikuti pelatihan mengembangbiakkan kepiting di Makassar selama satu minggu.
Para kelompok nelayan ini berharap agar dinas terkait terus merangkul dan memberi penguatan-penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi kelompok-kelompok nelayan yang ada agar berkembang, sehingga akan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.
Warga kampung yang memiliki jiwa-jiwa pejuang ini meninggalkan tempat tinggal sederhananya untuk merajut harapan bersama mentari pagi di antara rimbunnya pepohonan bakau.
Suku Kamoro merupakan suku asli yang mendiami Kampung Poumako dan wilayah pesisir Kabupaten Mimika. Wilayah ini adalah surganya komoditas kelautan dan perikanan, salah satu unggulannya kepiting bakau.
Letaknya yang strategis karena langsung terhubung dengan laut, maka di wilayah Kampung Poumako yang memiliki Pelabuhan Rakyat dan Pelabuhan Perikanan ini, dapat mengoptimalkan potensi yang ada menjadi penggerak perekonomian wilayah pesisir.
Untuk sampai di Kampung Poumako dari pusat Kota Timika dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat, karena akses jalan sudah sangat baik. Bahkan, ketika menyusuri ruas jalan tersebut tidak jarang akan sering menemui kendaraan yang melintas.
Jarak dari Pusat Kota Timika yakni Distrik Mimika Baru hingga Pelabuhan Kampung Poumako sekitar 45 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan.
Memasuki Kampung Poumako, akan disuguhi pemandangan aktivitas masyarakat setempat berjalan kaki sambil memikul tas khas Papua (noken), memegang parang dan ember, pergi mencari kepiting di hutan sekitar.
Potensi perikanan
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika, Anthonius Welerubun, mengakui bahwa potensi kelautan dan perikanan Kabupaten Mimika cukup besar.
"Potensi kelautan dan perikanan di Kabupaten Mimika sangat luar biasa, kaya. Laut adalah dapur bagi masyarakat wilayah pesisir," katanya saat ditemui di ruang kerjanya di Lingkungan Pusat Pemerintahan Kabupaten Mimika, di Poros Jalan SP 3 Timika Distrik Kuala Kencana.
Komoditas perikanan unggulan Mimika salah satunya adalah kepiting bakau (Scylla). Hal ini didukung ekosistem hutan bakau yang menghampar seluas 245.713 hektare, atau terluas ketiga setelah Asmat dan Merauke. Hutan bakau menjadi rumah bagi kepiting bakau atau karaka--sebutan yang akrab di kalangan masyarakat setempat.
Mimika menjadi daerah penghasil kepiting di wilayah Indonesia bagian timur dan masuk dalam Wilayah Pengelola Perikanan (WPP). Topografi Mimika berupa dataran tinggi hingga dataran rendah di wilayah pesisir sangat mendukung untuk budi daya kepiting.
Tingkat curah hujan daerah ini berkisar dari 2.109 mm hingga 5.034 mm atau cukup tinggi, sehingga masa budi daya perikanan seperti kepiting bakau disesuaikan dengan kondisi cuaca yang berlangsung.
Jika memasuki musim hujan, Juni hingga Desember, maka para nelayan kepiting akan libur panjang. Komoditas perikanan yang satu ini tidak akan bertahan dengan kondisi yang sangat basah.
Jika masa yang dinantikan datang yakni musim panas, maka nelayan kepiting bakau akan memanfaatkannya dengan sangat baik, karena di saat itulah yang menjadi peluang untuk mengisi pundi-pundi keuangannya.
Sedangkan ekosistem hutan bakau di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, membentang ke wilayah Asmat, Papua Selatan dan bersambung hingga wilayah Kaimana, Papua Barat. Hal ini merupakan salah satu faktor pendukung kesuburan perairan karena hamparan hutan bakau yang saling terhubung.
"Kita punya jenis kepiting bakau yang paling dominan di perairan Mimika yakni kepiting merah (Scylla olivace)," kata Anthonius Welerubun.
Percontohan
Sementara itu, secara terpisah Kepala Bidang Perikanan Tangkap pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika, Clemens Ohoilulin, menambahkan bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, guna mengembangkan potensi perikanan yang dimiliki.
Upaya mengembangkan potensi perikanan khususnya komoditas kepiting bakau telah berjalan sejak 2022. Harapannya, Kampung Keakwa ke depan menjadi percontohan bagi kampung lain di daerah ini.
Pembinaan dilakukan melalui kelompok nelayan. Satu kelompok nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa terdiri dari 10 hingga 20 orang anggota.
Selain pembinaan tersebut, tindak lanjut atas dukungan dan perhatian pemerintah bagi nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa melalui alokasi dana Otonomi khusus (Otsus). Dana yang pernah dikucurkan sebesar Rp1,8 miliar pada 2023.
Alokasi dana Otsus tersebut dipergunakan untuk menyiapkan sarana tangkap, perahu fiber, dan beberapa sarana penunjang lainnya bagi nelayan kepiting bakau.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika juga rutin memantau serta mengevaluasi kelompok nelayan dalam mengembangkan dan membudidayakan kepiting bakau.
Komoditas kepiting bakau Mimika telah menembus pasar nasional dan internasional. Sejak 2022 komoditas kepiting bakau sudah dipasarkan hingga ke luar daerah seperti Jakarta, Makassar dan Bali. Selain itu, pemasaran juga sudah sampai ke luar negeri, di antaranya ke Malaysia, Singapore dan Hongkong.
Khusus di Indonesia, para distributor rutin mengirim setiap bulan, sedangkan untuk ekspor ke luar negeri dilakukan setiap dua hingga tiga bulan sekali.
Produksi kepiting bakau kelompok nelayan Kampung Keakwa pada 2023 mencapai 7.680 ekor atau 2.650 kilogram.
Budi daya kepiting bakau
Seorang nelayan kepiting bakau dari Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, Esebius Momokare yang ditemui di tengah hujan deras mengguyur Kota Timika tampak antusias menjelaskan mengenai usaha keramba kepiting bakau yang digeluti bersama kelompoknya.
"Kelompok ini awalnya dibentuk oleh Bapak Maikel Amariau pada 2018. Beliau merupakan pendiri dan dan juga pendamping Kelompok Pokda Pea di Kampung Keakwa," kata Esebius Momokare yang juga sebagai bendahara kelompok nelayan budi daya kepiting bakau Pokda Pea.
Semangat Maikel Amariau ditularkan kepada masyarakat Kampung Keakwa dan kemudian terbentuklah kelompok tersebut yang diberi nama Pokda Pea hingga saat ini.
Awalnya hanya satu keramba yang diisi 10.000 bibit kepiting bakau. Bibit itu diperoleh dari kampung sekitar, kemudian dimasukkan ke dalam keramba, diberi pakan lokal yakni ikan sembilang (Plotosidae) yang didapatkan di perairan sekitar kampung tersebut.
Pada 2020, kelompok tersebut memanen perdana hasil budi daya kepiting bakau sebanyak 1.680 kilogram yang dipasarkan ke Makassar dan juga dalam Kota Timika. Ukuran kepiting yang dijual satu kilogram satu ekor kepiting. Harga Rp50.000 per kilogram atau total penjualan mencapai Rp84.000.000.
Pemerintah Kabupaten Mimika melalui Dinas Kelautan dan Perikanan mendukung dengan dana Otsus bagi kelompok ini, yakni dengan membangun jembatan mengelilingi areal keramba, pos jaga di atas keramba dengan ukuran 3x2 meter, dan memberikan bantuan biaya operasional bagi kelompok.
Kehadiran pemerintah dirasakan sangat membantu kelompok nelayan kepiting bakau di Kampung Keakwa. Mereka mendapatkan bantuan dana operasional kelompok sebesar Rp15 juta pada 2022.
Pada 2022, ada enam orang anggota pada kelompok tersebut juga difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika untuk mengikuti pelatihan mengembangbiakkan kepiting di Makassar selama satu minggu.
Para kelompok nelayan ini berharap agar dinas terkait terus merangkul dan memberi penguatan-penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi kelompok-kelompok nelayan yang ada agar berkembang, sehingga akan mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka.