Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Prabowo Subianto dalam Astacita secara jelas menegaskan bakal melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi agar bisa melecut pertumbuhan perekonomian negara di atas 8 persen.
Hal tersebut dilakukan Presiden guna mencapai Visi Indonesia Emas 2045 sekaligus memacu Indonesia tidak terjebak dalam pendapatan menengah (middle income trap) dengan menargetkan masyarakat bisa memiliki penghasilan hingga 30.000 dolar AS per tahun.
Prabowo menyadari bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lain. Misalnya, di sektor mineral, cadangan nikel ibu pertiwi mencakup 42 persen secara global, bauksit memiliki cadangan terbesar ke-4 dunia, serta cadangan timah Indonesia berada di nomor satu dunia.
Selanjutnya, beleid hilirisasi terbukti mampu meningkatkan perekonomian negara, mengingat kebijakan ini melarang penjualan produk mentah ke pasar internasional, dan mewajibkan melakukan diversifikasi barang olahan sehingga memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi industri domestik.
Contoh nyata manfaat dari kebijakan ini bagi devisa negara yakni adanya lonjakan 10 kali lipat nilai ekspor sektor nikel yang sebelum diwajibkannya hilirisasi pada tahun 2017, yang hanya sebesar 3,3 miliar dolar AS, menjadi 33,5 miliar dolar AS pada tahun 2023.
Komitmen kuat Presiden Prabowo untuk memacu ekosistem hilirisasi terlihat jelas ketika dirinya menambah nomenklatur Kementerian Investasi menjadi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Perubahan nama tersebut memberikan ruang leluasa bagi BKPM untuk meningkatkan dan mengatur ekosistem hilirisasi di Indonesia, sambil berkoordinasi dengan kementerian teknis lainnya, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di sisi hulu, dan Kementerian Perindustrian dari sisi hilir.
Dalam Astacita, Presiden Prabowo mengarahkan kebijakan hilirisasi tidak hanya terpaku pada hilirisasi mineral, tetapi turut memperluas ke sektor maritim serta sektor berbasis agro supaya bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.
Arah hilirisasi mineral
Kementerian ESDM memaparkan kebijakan hilirisasi mineral ke depan bakal memperkuat pengintegrasian rantai pasok (supply chain) antara tambang dan smelter serta pengintegrasian industri pengguna bahan olahan mineral.
Selanjutnya bakal mengembangkan industri lanjutan yang aplikatif dari hasil pengolahan dan/atau pemurnian mineral.
Untuk komoditas nikel, langkah ke depan yang hendak diambil yakni percepatan pembangunan pabrik pengolahan larutan berair (hidrometalurgi), serta pengembangan pabrik nikel sulfat (NiSO4), baik dari jalur hidrometalurgi maupun pengolahan menggunakan panas (pirometalurgi).
Selanjutnya pemanfaatan sisa hasil pengolahan dan pemurnian (SHPP) proses pirometalurgi, seperti slag dan asam sulfat, maupun hidrometalurgi seperti logam tanah jarang (LTJ), dan endapan besi.
Selain itu dalam hilirisasi nikel, pemerintah juga mendorong penguasaan teknologi termasuk engineering, procurement, and construction (EPC) pabrik.
Untuk hilirisasi bauksit dilakukan dengan cara percepatan operasi pabrik pemurnian (refinery) alumina untuk mengolah bauksit domestik, peningkatan penyerapan domestik produk alumina dan pengaturan tata niaga, substitusi impor dan pemenuhan bahan baku aluminium, serta pemanfaatan sisa hasil pengolahan pabrik refinery.
Sementara itu, hilirisasi komoditas timah akan melakukan peningkatan penyerapan domestik produk timah dan pengaturan tata niaga, substitusi impor, dan pemenuhan bahan baku timah, serta penyesuaian teknologi untuk pengolahan bijih tipe primer.
Selanjutnya, arah kebijakan hilirisasi tembaga ditempuh dengan percepatan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga, kebijakan yang mendukung pembangunan industri pengolahan dan pemurnian, serta pembangunan pabrik pemurnian lumpur anoda.
Untuk komoditas emas-perak, kebijakan hilirisasi sektor ini ke depan bakal menertibkan kegiatan pabrik pengolahan dan pemurnian emas tanpa izin, pembangunan pabrik pemurnian emas legal, penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan bijih emas alternatif, serta kebijakan kewajiban pabrik pengolahan tembaga untuk membangun pabrik pengolahan lumpur anoda.
Adapun hilirisasi komoditas besi ke depan bakal memanfaatkan pasir besi lokal untuk bahan baku industri peleburan besi-baja nasional, pemanfaatan bijih besi laterit dan bijih besi lokal untuk bahan baku industri peleburan besi baja, serta implementasi dan penguasaan teknologi yang dapat diandalkan, terbukti, dan kompetitif. Hilirisasi maritim dan agro
Perluasan hilirisasi ke sektor maritim dan agro bukan tanpa alasan mengingat kedua sektor ini memiliki potensi pengembangan yang menggiurkan.
Seperti halnya di sektor maritim, salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan di Pemerintahan Presiden Prabowo, yakni rumput laut.
Pada tahun 2023, Indonesia tercatat sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia dengan total produksi mencapai 10,7 juta ton.
Dalam 10 tahun terakhir, ekspor rumput laut kering dari Indonesia masih mendominasi pasar global, baik untuk konsumsi maupun bahan baku industri, dengan rincian ekspor produk rumput laut kering mencapai 66,61 persen, sementara rumput laut olahan, seperti karagenan dan agar-agar sebesar 33,39 persen.
Laporan The Global Seaweed: New and Emerging Market Report tahun lalu mengidentifikasi bahwa kondisi pasar global dari komoditas rumput laut baru akan berkembang pada tahun 2030, dengan diversifikasi produk turunan meliputi biostimulan, bioplastik, pakan hewan, nutraseutikal, protein alternatif, farmasi, dan tekstil.
Tak tanggung-tanggung, nilai potensi pasar dari hilirisasi rumput laut mencapai 11,8 miliar dolar AS.
Oleh karena itu, hilirisasi di komoditas tersebut bisa menjadi opsi Presiden Prabowo untuk diprioritaskan, mengingat bahan baku yang tersedia melimpah dan adanya potensi pasar yang besar.
Sementara untuk hilirisasi di sektor agro, di antaranya bakal berfokus pada peningkatan diversifikasi kelapa sawit serta olahan kakao.
Hal itu karena Pemerintah menilai angka besaran (magnitude) ekonomi berbasis kelapa sawit bisa memberikan kontribusi hingga Rp775 triliun pada akhir tahun 2024.
Ke depan, hilirisasi industri kelapa sawit diupayakan untuk menghasilkan produk turunan berupa pangan (oleofood), nonpangan (oleochemical), bahan bakar terbarukan (biofuel), hingga material baru ramah lingkungan (biomaterial).
Sementara pengembangan produk hilir minyak sawit diarahkan ke produk yang memiliki produk unggulan, seperti detergen cair, kosmetik, cat, serta farmasi yang mampu menghasilkan nilai tambah hingga 580 persen.
Selanjutnya untuk komoditas kakao, industri pengolahan sektor tersebut digadang-gadang bakal menjadi salah satu penunjang daya beli masyarakat sekaligus mendorong kesejahteraan para petani di sektor ini.
Hal itu karena dari pengolahan kakao menjadi cokelat artisan bisa meningkatkan nilai tambah 6--10 kali lipat, bahkan, apabila diolah menjadi produk farmasi seperti suppositoria, nilai tambah ekonomi yang didapat mencapai 36 kali lipat.
Melalui kebijakan hilirisasi, Presiden Prabowo menaruh harapan besar Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 8 persen sekaligus mengakselerasi terwujudnya Visi Indonesia Emas.
Editor: Achmad Zaenal M
Hal tersebut dilakukan Presiden guna mencapai Visi Indonesia Emas 2045 sekaligus memacu Indonesia tidak terjebak dalam pendapatan menengah (middle income trap) dengan menargetkan masyarakat bisa memiliki penghasilan hingga 30.000 dolar AS per tahun.
Prabowo menyadari bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lain. Misalnya, di sektor mineral, cadangan nikel ibu pertiwi mencakup 42 persen secara global, bauksit memiliki cadangan terbesar ke-4 dunia, serta cadangan timah Indonesia berada di nomor satu dunia.
Selanjutnya, beleid hilirisasi terbukti mampu meningkatkan perekonomian negara, mengingat kebijakan ini melarang penjualan produk mentah ke pasar internasional, dan mewajibkan melakukan diversifikasi barang olahan sehingga memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi industri domestik.
Contoh nyata manfaat dari kebijakan ini bagi devisa negara yakni adanya lonjakan 10 kali lipat nilai ekspor sektor nikel yang sebelum diwajibkannya hilirisasi pada tahun 2017, yang hanya sebesar 3,3 miliar dolar AS, menjadi 33,5 miliar dolar AS pada tahun 2023.
Komitmen kuat Presiden Prabowo untuk memacu ekosistem hilirisasi terlihat jelas ketika dirinya menambah nomenklatur Kementerian Investasi menjadi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Perubahan nama tersebut memberikan ruang leluasa bagi BKPM untuk meningkatkan dan mengatur ekosistem hilirisasi di Indonesia, sambil berkoordinasi dengan kementerian teknis lainnya, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di sisi hulu, dan Kementerian Perindustrian dari sisi hilir.
Dalam Astacita, Presiden Prabowo mengarahkan kebijakan hilirisasi tidak hanya terpaku pada hilirisasi mineral, tetapi turut memperluas ke sektor maritim serta sektor berbasis agro supaya bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.
Arah hilirisasi mineral
Kementerian ESDM memaparkan kebijakan hilirisasi mineral ke depan bakal memperkuat pengintegrasian rantai pasok (supply chain) antara tambang dan smelter serta pengintegrasian industri pengguna bahan olahan mineral.
Selanjutnya bakal mengembangkan industri lanjutan yang aplikatif dari hasil pengolahan dan/atau pemurnian mineral.
Untuk komoditas nikel, langkah ke depan yang hendak diambil yakni percepatan pembangunan pabrik pengolahan larutan berair (hidrometalurgi), serta pengembangan pabrik nikel sulfat (NiSO4), baik dari jalur hidrometalurgi maupun pengolahan menggunakan panas (pirometalurgi).
Selanjutnya pemanfaatan sisa hasil pengolahan dan pemurnian (SHPP) proses pirometalurgi, seperti slag dan asam sulfat, maupun hidrometalurgi seperti logam tanah jarang (LTJ), dan endapan besi.
Selain itu dalam hilirisasi nikel, pemerintah juga mendorong penguasaan teknologi termasuk engineering, procurement, and construction (EPC) pabrik.
Untuk hilirisasi bauksit dilakukan dengan cara percepatan operasi pabrik pemurnian (refinery) alumina untuk mengolah bauksit domestik, peningkatan penyerapan domestik produk alumina dan pengaturan tata niaga, substitusi impor dan pemenuhan bahan baku aluminium, serta pemanfaatan sisa hasil pengolahan pabrik refinery.
Sementara itu, hilirisasi komoditas timah akan melakukan peningkatan penyerapan domestik produk timah dan pengaturan tata niaga, substitusi impor, dan pemenuhan bahan baku timah, serta penyesuaian teknologi untuk pengolahan bijih tipe primer.
Selanjutnya, arah kebijakan hilirisasi tembaga ditempuh dengan percepatan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tembaga, kebijakan yang mendukung pembangunan industri pengolahan dan pemurnian, serta pembangunan pabrik pemurnian lumpur anoda.
Untuk komoditas emas-perak, kebijakan hilirisasi sektor ini ke depan bakal menertibkan kegiatan pabrik pengolahan dan pemurnian emas tanpa izin, pembangunan pabrik pemurnian emas legal, penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan bijih emas alternatif, serta kebijakan kewajiban pabrik pengolahan tembaga untuk membangun pabrik pengolahan lumpur anoda.
Adapun hilirisasi komoditas besi ke depan bakal memanfaatkan pasir besi lokal untuk bahan baku industri peleburan besi-baja nasional, pemanfaatan bijih besi laterit dan bijih besi lokal untuk bahan baku industri peleburan besi baja, serta implementasi dan penguasaan teknologi yang dapat diandalkan, terbukti, dan kompetitif. Hilirisasi maritim dan agro
Perluasan hilirisasi ke sektor maritim dan agro bukan tanpa alasan mengingat kedua sektor ini memiliki potensi pengembangan yang menggiurkan.
Seperti halnya di sektor maritim, salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan di Pemerintahan Presiden Prabowo, yakni rumput laut.
Pada tahun 2023, Indonesia tercatat sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia dengan total produksi mencapai 10,7 juta ton.
Dalam 10 tahun terakhir, ekspor rumput laut kering dari Indonesia masih mendominasi pasar global, baik untuk konsumsi maupun bahan baku industri, dengan rincian ekspor produk rumput laut kering mencapai 66,61 persen, sementara rumput laut olahan, seperti karagenan dan agar-agar sebesar 33,39 persen.
Laporan The Global Seaweed: New and Emerging Market Report tahun lalu mengidentifikasi bahwa kondisi pasar global dari komoditas rumput laut baru akan berkembang pada tahun 2030, dengan diversifikasi produk turunan meliputi biostimulan, bioplastik, pakan hewan, nutraseutikal, protein alternatif, farmasi, dan tekstil.
Tak tanggung-tanggung, nilai potensi pasar dari hilirisasi rumput laut mencapai 11,8 miliar dolar AS.
Oleh karena itu, hilirisasi di komoditas tersebut bisa menjadi opsi Presiden Prabowo untuk diprioritaskan, mengingat bahan baku yang tersedia melimpah dan adanya potensi pasar yang besar.
Sementara untuk hilirisasi di sektor agro, di antaranya bakal berfokus pada peningkatan diversifikasi kelapa sawit serta olahan kakao.
Hal itu karena Pemerintah menilai angka besaran (magnitude) ekonomi berbasis kelapa sawit bisa memberikan kontribusi hingga Rp775 triliun pada akhir tahun 2024.
Ke depan, hilirisasi industri kelapa sawit diupayakan untuk menghasilkan produk turunan berupa pangan (oleofood), nonpangan (oleochemical), bahan bakar terbarukan (biofuel), hingga material baru ramah lingkungan (biomaterial).
Sementara pengembangan produk hilir minyak sawit diarahkan ke produk yang memiliki produk unggulan, seperti detergen cair, kosmetik, cat, serta farmasi yang mampu menghasilkan nilai tambah hingga 580 persen.
Selanjutnya untuk komoditas kakao, industri pengolahan sektor tersebut digadang-gadang bakal menjadi salah satu penunjang daya beli masyarakat sekaligus mendorong kesejahteraan para petani di sektor ini.
Hal itu karena dari pengolahan kakao menjadi cokelat artisan bisa meningkatkan nilai tambah 6--10 kali lipat, bahkan, apabila diolah menjadi produk farmasi seperti suppositoria, nilai tambah ekonomi yang didapat mencapai 36 kali lipat.
Melalui kebijakan hilirisasi, Presiden Prabowo menaruh harapan besar Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 8 persen sekaligus mengakselerasi terwujudnya Visi Indonesia Emas.
Editor: Achmad Zaenal M