Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai keputusan untuk menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memerlukan keberanian politik yang besar.
Pasalnya, menurut dia, kebijakan tersebut bisa menimbulkan resistensi dari berbagai pihak yang selama ini diuntungkan oleh pembayaran obligasi rekap.
“Namun, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, ini adalah langkah yang harus diambil," kata Hardjuno dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Dia menegaskan BLBI merupakan masa lalu yang sudah selesai dan beban yang ditimbulkan tidak seharusnya terus menjadi warisan untuk generasi mendatang.
Maka dari itu apabila pemerintah berani menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, Hardjuno optimistis langkah tersebut akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk program pembangunan pro rakyat.
Setiap tahun, ia mengungkapkan dana sebesar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk membayar bunga obligasi rekap BLBI.
Tetapi, kata dia, pembayaran bunga obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar, yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
"Keputusan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan pemerintah. Apakah ingin mengutamakan kepentingan rakyat atau terus tunduk pada warisan kebijakan yang sudah tidak relevan?" ujarnya.
Hardjuno berpendapat jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) atau mengurangi subsidi energi.
Dengan demikian, kata dia, langkah itu tidak hanya akan meringankan beban kas negara, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang sudah terbebani oleh kenaikan harga dan inflasi.
"Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat," tutur Hardjuno.
Pasalnya, menurut dia, kebijakan tersebut bisa menimbulkan resistensi dari berbagai pihak yang selama ini diuntungkan oleh pembayaran obligasi rekap.
“Namun, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, ini adalah langkah yang harus diambil," kata Hardjuno dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Dia menegaskan BLBI merupakan masa lalu yang sudah selesai dan beban yang ditimbulkan tidak seharusnya terus menjadi warisan untuk generasi mendatang.
Maka dari itu apabila pemerintah berani menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI, Hardjuno optimistis langkah tersebut akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk program pembangunan pro rakyat.
Setiap tahun, ia mengungkapkan dana sebesar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk membayar bunga obligasi rekap BLBI.
Tetapi, kata dia, pembayaran bunga obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar, yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.
"Keputusan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan pemerintah. Apakah ingin mengutamakan kepentingan rakyat atau terus tunduk pada warisan kebijakan yang sudah tidak relevan?" ujarnya.
Hardjuno berpendapat jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) atau mengurangi subsidi energi.
Dengan demikian, kata dia, langkah itu tidak hanya akan meringankan beban kas negara, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang sudah terbebani oleh kenaikan harga dan inflasi.
"Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat," tutur Hardjuno.