Mataram (ANTARA) - Agromaritim kembali menemukan momentumnya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Istilah ini bukan sekadar penggabungan sektor pertanian dan kelautan, melainkan sebuah cara pandang pembangunan yang menempatkan darat dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem ekonomi.

 

Dalam konteks wilayah kepulauan dengan garis pantai panjang dan bentang alam yang beragam, agromaritim menjadi pendekatan yang relevan untuk menjawab persoalan ketimpangan, kemiskinan struktural, dan ketergantungan ekonomi pada sektor-sektor yang rentan terhadap fluktuasi global.

Selama bertahun-tahun, pembangunan ekonomi daerah kerap berjalan terpisah antara daratan dan lautan. Pertanian dipandang sebagai urusan desa, sementara kelautan identik dengan wilayah pesisir.

Padahal, keduanya saling terhubung dalam rantai produksi, distribusi, dan konsumsi. Agromaritim hadir untuk menjembatani sekat itu, dengan menempatkan pangan, hasil laut, dan industri pengolahannya dalam satu sistem yang terintegrasi.

Penyusunan peta jalan industri agromaritim 2025–2029 oleh Pemerintah Provinsi NTB menandai upaya serius untuk menata ulang arah pembangunan berbasis potensi lokal.

Sebanyak 38 komoditas unggulan telah dipilah sebagai prioritas pengembangan, mencakup pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan tangkap, budi daya laut, hingga produk turunan berbasis industri halal.

Langkah ini penting karena selama ini kekayaan sumber daya alam daerah sering berhenti pada tahap produksi primer, dengan nilai tambah yang dinikmati di luar wilayah.

Agromaritim menjadi penting karena menyentuh persoalan paling mendasar dalam pembangunan daerah. Ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, hingga penguatan ekonomi non-tambang bertemu dalam satu simpul kebijakan.

Ketika hasil pertanian dan laut hanya dijual dalam bentuk mentah, daerah kehilangan peluang untuk tumbuh lebih cepat. Sebaliknya, ketika rantai nilai diperpanjang melalui industri pengolahan, logistik, dan pasar, manfaat ekonomi dapat menyebar lebih luas dan berkelanjutan.


Potensi besar

Secara geografis dan ekologis, NTB memiliki modal agromaritim yang kuat. Wilayah lautnya kaya ikan, rumput laut, udang, dan berbagai komoditas bernilai ekonomi tinggi. Daratannya menghasilkan padi, jagung, kopi, kelapa, porang, rempah-rempah, hingga tanaman obat yang memiliki prospek pasar luas.

Berbagai program pemerintah menunjukkan sektor ini berpotensi menjadi tulang punggung ekonomi daerah jika dikelola secara terintegrasi dari hulu, hingga hilir.

Namun, besarnya potensi tersebut belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kesejahteraan pelaku utama. Petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil masih berada pada posisi paling rentan dalam rantai pasok.

Fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pascapanen, akses pembiayaan yang sempit, serta lemahnya konektivitas pasar membuat nilai tambah lebih banyak dinikmati oleh pihak di luar daerah.

Peta jalan industri agromaritim berupaya menjawab persoalan ini melalui pendekatan ekosistem. Penguatan sektor hulu dilakukan bersamaan dengan pengembangan sentra industri di 10 kabupaten dan kota.

Hilirisasi menjadi kata kunci, sejalan dengan kebijakan nasional yang mendorong peningkatan nilai tambah di daerah. Fokus pada industri halal juga memberi keunggulan tersendiri, mengingat pasar halal global terus tumbuh dan produk NTB memiliki keunggulan bahan baku alami.

Meski demikian, risiko pendekatan sektoral tetap mengintai. Agromaritim tidak akan efektif jika hanya menjadi proyek dinas atau berhenti sebagai dokumen perencanaan.

Tantangan lintas sektor, seperti tata ruang pesisir, konflik pemanfaatan laut, keberlanjutan lingkungan, hingga dampak perubahan iklim membutuhkan koordinasi yang kuat.

Tanpa integrasi kebijakan, industri bisa tumbuh dalam jangka pendek, tetapi sumber daya alamnya justru terdegradasi.

Hulu hilir

Kekuatan utama agromaritim terletak pada kemampuannya menghubungkan desa dengan pasar yang lebih luas. Pengembangan sentra agromaritim di beberapa wilayah menunjukkan bahwa industri pengolahan mampu menciptakan efek ganda bagi perekonomian lokal.

Keberadaan pabrik pengolahan porang, misalnya, tidak hanya meningkatkan harga jual komoditas, tetapi juga membuka lapangan kerja dan mendorong tumbuhnya usaha pendukung di sekitarnya.

Kolaborasi dengan jejaring industri halal nasional membuka peluang lain. Produk berbasis kelapa, gula aren, kopi, dan rempah-rempah memiliki peluang menembus pasar yang lebih besar jika memenuhi standar mutu dan keberlanjutan.

Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi krusial, bukan sebagai pelaku bisnis, melainkan sebagai fasilitator yang memastikan standar, sertifikasi, dan akses pasar dapat dijangkau oleh pelaku usaha kecil dan menengah.

Agromaritim juga harus ditempatkan dalam kerangka ekonomi biru. Pemanfaatan laut tidak boleh merusak ekosistem yang menjadi sumber kehidupan jangka panjang.

Budi daya berkelanjutan, penangkapan terukur, pengelolaan sampah laut, dan konservasi pesisir harus berjalan seiring dengan pertumbuhan industri. Tanpa prinsip keberlanjutan, agromaritim justru berpotensi menciptakan krisis baru di masa depan.

Aspek sumber daya manusia menjadi faktor penentu berikutnya. Industrialisasi berbasis sumber daya alam membutuhkan tenaga terampil, inovator lokal, dan pendamping usaha yang memahami karakter wilayah.

Tanpa investasi pada pendidikan vokasi, riset terapan, dan transfer teknologi, daerah akan kembali bergantung pada aktor luar, meskipun bahan bakunya berasal dari wilayah sendiri.


Menjaga arah

Agromaritim bukan sekadar jargon pembangunan baru. Ia adalah pilihan strategis untuk membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Keberhasilannya tidak diukur dari jumlah dokumen atau proyek yang diluncurkan, melainkan dari sejauh mana nilai tambah dinikmati masyarakat dan lingkungan tetap terjaga.

Peta jalan industri agromaritim memberi arah, tetapi konsistensi kebijakan akan menentukan hasil akhirnya.

Sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, kepastian regulasi, penguatan kelembagaan, serta keberpihakan pada pelaku kecil harus dijaga dalam jangka panjang.

Agromaritim membutuhkan kesabaran, karena dampaknya tidak selalu instan, tetapi bersifat akumulatif.

Di tengah tantangan global dan perubahan iklim, agromaritim menawarkan fondasi ekonomi yang lebih tangguh.

Ia mendidik masyarakat tentang pentingnya kedaulatan pangan, memberdayakan pelaku lokal melalui penciptaan nilai tambah, mencerahkan arah pembangunan non-tambang, dan menegaskan peran daerah dalam memperkuat ketahanan nasional.

NTB memiliki darat dan laut yang saling menyapa. Tantangannya kini adalah memastikan keduanya tumbuh dalam satu irama pembangunan yang adil, lestari, dan berkelanjutan, agar agromaritim benar-benar menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 


 


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2025