Jakarta, (Antaranews Sulteng) - Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Alie Humaedi mengatakan usia anak belum saatnya menunjukkan keberadaan atau eksistensinya di media sosial atau aplikasi digital karena mentalnya belum stabil.
"Seseorang perlu stabilitas mental saat menunjukkan eksistensinya di media sosial. Anak yang belum stabil, mentalnya bisa jatuh saat menerima perundungan di media sosial," kata Alie dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Alie mengatakan, perundungan secara virtual di media sosial atau aplikasi digital sangat berbahaya bagi anak dan akan terasa lebih menyeramkan karena tidak terlihat bentuknya secara nyata.
Perundungan secara virtual akan selalu terekam di ingatan anak. Padahal dari segi umur, dia belum siap menerima tekanan dari perundungan seperti itu.
"Perundungan yang dilakukan di dunia nyata dampaknya tidak sekuat perundingan virtual. Di dunia nyata anak mungkin masih bisa melihat sisi baik dari seseorang yang merundungnya, satu hal yang tidak akan terjadi di dunia digital," tuturnya.
Karena itu, orang tua seharusnya tidak membiarkan anak di bawah umur mengakses media sosial atau aplikasi digital lain yang memiliki kemungkinan dampak buruk terhadap anak.
Bila orang tua mengizinkan anaknya beraktivitas secara virtual di media sosial, maka mereka harus mengawasi anak-anaknya secara ketat.
"Memata-matai atau 'stalking' menjadi hal penting bagi orang tua dalam mengendalikan anak-anaknya bermedia sosial. Merupakan kewajiban orang tua untuk mengasuh, membina dan mengawasi anak-anaknya," katanya.
"Seseorang perlu stabilitas mental saat menunjukkan eksistensinya di media sosial. Anak yang belum stabil, mentalnya bisa jatuh saat menerima perundungan di media sosial," kata Alie dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Alie mengatakan, perundungan secara virtual di media sosial atau aplikasi digital sangat berbahaya bagi anak dan akan terasa lebih menyeramkan karena tidak terlihat bentuknya secara nyata.
Perundungan secara virtual akan selalu terekam di ingatan anak. Padahal dari segi umur, dia belum siap menerima tekanan dari perundungan seperti itu.
"Perundungan yang dilakukan di dunia nyata dampaknya tidak sekuat perundingan virtual. Di dunia nyata anak mungkin masih bisa melihat sisi baik dari seseorang yang merundungnya, satu hal yang tidak akan terjadi di dunia digital," tuturnya.
Karena itu, orang tua seharusnya tidak membiarkan anak di bawah umur mengakses media sosial atau aplikasi digital lain yang memiliki kemungkinan dampak buruk terhadap anak.
Bila orang tua mengizinkan anaknya beraktivitas secara virtual di media sosial, maka mereka harus mengawasi anak-anaknya secara ketat.
"Memata-matai atau 'stalking' menjadi hal penting bagi orang tua dalam mengendalikan anak-anaknya bermedia sosial. Merupakan kewajiban orang tua untuk mengasuh, membina dan mengawasi anak-anaknya," katanya.