Jakarta (ANTARA) - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Anugerah Rizki Akbari menilai penegak hukum kurang memahami definisi makar dan keliru memahaminya, dilihat dari tetap diproses laporan masyarakat atas dugaan makar.
"Jadi ini benar-benar masalah penegak hukum tidak mengerti. Dibiarkan begitu luas, sampai akhirnya apa pun bisa masuk. Padahal hukum pidana tidak boleh begitu," ujar Anugerah Rizki Akbari, di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, apabila aparat penegak hukum memahami makna makar merupakan serangan. Karena itu, ia yakin alat bukti yang diserahkan pelapor tidak cukup untuk menjadikannya delik makar. Dengan begitu, aparat penegak hukum yang memiliki wewenang dapat menghentikan laporan masyarakat dengan dugaan makar.
"Sebenarnya masalah ini selesai ketika penegak hukum paham apa itu makar, ketika paham makar itu diartikan serangan, maka itu selesai," ujar Anugerah Rizki Akbari.
Kekeliruan tafsir tentang makar, menurutnya lagi, sejak UU Subversif dicabut pada 1999. Tetapi, perdebatan tentang makar tidak selesai dan pandangan masyarakat maupun penegak hukum sudah terbentuk, tanpa mengembalikan kepada definisi awal sebagai serangan.
Ia menekankan penting merumuskan makar sebagai serangan, sehingga pasal-pasal makar tidak dapat sembarangan digunakan untuk membunuh perbedaan pemikiran.
"Jadi makar harus betul-betul punya niat menyerang dan itu betul-betul sudah dilakukan, meski belum selesai, jadi sampai tahap permulaan pelaksanaan," ujar Anugerah Rizki Akbari pula.
Sebelumnya, telah banyak kasus makar yang dilaporkan ke pihak kepolisian, mulai dari kasus politikus PAN sekaligus tokoh 212 Eggi Sudjana, Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen, politikus Partai Gerindra, Permadi, dan lain-lain.
Terakhir adalah kasus video saat demonstrasi terkait perkataan seseorang yang akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo.
Adapun perumusan makar dimuat dalam pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).
"Jadi ini benar-benar masalah penegak hukum tidak mengerti. Dibiarkan begitu luas, sampai akhirnya apa pun bisa masuk. Padahal hukum pidana tidak boleh begitu," ujar Anugerah Rizki Akbari, di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, apabila aparat penegak hukum memahami makna makar merupakan serangan. Karena itu, ia yakin alat bukti yang diserahkan pelapor tidak cukup untuk menjadikannya delik makar. Dengan begitu, aparat penegak hukum yang memiliki wewenang dapat menghentikan laporan masyarakat dengan dugaan makar.
"Sebenarnya masalah ini selesai ketika penegak hukum paham apa itu makar, ketika paham makar itu diartikan serangan, maka itu selesai," ujar Anugerah Rizki Akbari.
Kekeliruan tafsir tentang makar, menurutnya lagi, sejak UU Subversif dicabut pada 1999. Tetapi, perdebatan tentang makar tidak selesai dan pandangan masyarakat maupun penegak hukum sudah terbentuk, tanpa mengembalikan kepada definisi awal sebagai serangan.
Ia menekankan penting merumuskan makar sebagai serangan, sehingga pasal-pasal makar tidak dapat sembarangan digunakan untuk membunuh perbedaan pemikiran.
"Jadi makar harus betul-betul punya niat menyerang dan itu betul-betul sudah dilakukan, meski belum selesai, jadi sampai tahap permulaan pelaksanaan," ujar Anugerah Rizki Akbari pula.
Sebelumnya, telah banyak kasus makar yang dilaporkan ke pihak kepolisian, mulai dari kasus politikus PAN sekaligus tokoh 212 Eggi Sudjana, Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen, politikus Partai Gerindra, Permadi, dan lain-lain.
Terakhir adalah kasus video saat demonstrasi terkait perkataan seseorang yang akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo.
Adapun perumusan makar dimuat dalam pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).