Donggala (ANTARA) - Sagap Rahuni tersenyum lebar. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah kakek asli Suku Kaili, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini.

Pada usia senjanya yang sudah mencapai 75 tahun, ia tampak merasa damai. Anak-anaknya sudah terbilang sukses dan sejahtera. Mereka tinggal di bangunan rumah permanen. Motor, mobil pun tersedia. Pendidikannya bagus. Cucu dari salah satu menantunya bahkan tengah mengawali karir di kepolisian.

“Kalau saya tahu Lalundu akan berkembang seperti ini, saya mungkin sudah jadi tuan tanah sekarang,” katanya tertawa lebar ketika ditemui di rumahnya di Desa Lalundu, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Jum'at (23/8).

Ia memang tak menyangka sama sekali, kawasan yang dahulu bagaikan antah berantah itu telah maju pesat. Listrik, telepon, televisi, internet, semua kini tersedia. Jalan pun lebar sehingga alat-alat transportasi modern mudah lalu lalang setiap waktu. Jauh berbeda dengan keadaan 18 tahun lalu.

Pada September 1991 tepatnya, ia kali pertama menginjak tanah ini. Ia ingin hidup lebih baik dengan cara hijrah dari Desa Loli, Kecamatan Banawa ke Desa Lalundu, Kecamatan Rio Pakava mengikuti program transmigrasi lokal yang diseleenggarakan pemerintah daerah.

Kendati masih sama-sama masuk wilayah Donggala, Sulteng, akan tetapi dahulu jarak menuju desa tujuan sangat sulit dijangkau karena sarana dan prasarana transportasi darat belum ada.

Dari Loli, Sagap dan rombongannya yang berjumlah 50 orang diangkut menggunakan kapal laut. Setelah naik kapal seharian penuh, mereka mendarat di pesisir Muara Jono, Tikke.

Untuk sampai ke Desa Lalundu yang menjadi tujuan mereka pun, perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki selama sehari penuh lagi. Di sinilah mereka memulai hidup. Masing-masing mendapat lahan dua hektare, rumah, dan pasokan sembako untuk kebutuhan hidup selama setahun.

“Banyak yang tidak tahan,” kata Sagap mengenang masa-masa sulit kala itu.

Lebih separuh rombongannya memilih pulang kampung ke Loli. Kondisi memang serba terbatas. Hasil tanamam jeruk dan cokelat yang mereka usahakan juga tidak terlalu menggembirakan. Selain sering diserang hama, nilai jualnya kurang menguntungkan.

"Yang tidak mampu bertahan, mereka menawarkan lahannya untuk dijual kepada saya. Tapi, waktu itu, uang dari mana untuk beli lahan?” ujarnya.

Itulah yang mendorong Sagap berandai-andai. Jika saja ia sejak dahulu berani membeli lahan-lahan para tetangga yang ditawarkan kepadanya itu, bisa dipastikan bahwa dirinya pada 2000-an sekarang ini telah menjadi "tuan tanah" dengan penghasilan per bulan yang berlipat-lipat.

    Kapal-kapal tangker minyak sawit (CPO) antre menunggu pengisian CPO untuk diekspor langsung ke negara tujuan dari Pelabuhan Khusus milik AAL Group di Pasangkayu, Selasa (17/2) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha) (Antaranews Sulteng/Rolex Malaha/)   
  Program kemitraan

Perubahan besar mulai terjadi pada 2006, saat Grup Astra Agro Lestari makin intensif menggandeng masyarakat berkebun kelapa sawit melalui program kemitraan.

Komoditas sebelumnya yang dirasa kurang menguntungkan diganti dengan kelapa sawit. Perusahaan memfasilitasi dalam bentuk bibit, pengetahuan budi daya, serta pendukung-pendukung lainnya.

Tahun 1990-an warga memang melihat bagaimana perusahaan perkebunan kelapa sawit mulai beroperasi, penyiapan lahan, bibit-bibit kelapa sawit didatangkan dan ditanam. Bahkan, pabrik pengolahan tandan buah segar kelapa sawit pun didirikan.

Perlahan-lahan fisik kawasan juga berubah. Jalur-jalur transportasi darat mulai banyak dibuka. Jalanan semakin bagus. Satu desa dengan desa lainnya makin saling terhubung.

"Dari Loli sampai sini (Lalundu, red.) sekarang malah cuma tiga jam pakai mobil. Tidak musti berhari-hari seperti awal mula kala ia jadi transmigran lokal," katanya dengan wajah semringah.

Perkenalannya dengan perusahaan diakui membawa manfaat positif.

Sagap dan teman-temannya sesama petani diberi wadah kelompok tani yang kemudian mereka namakan “Belotapura” yang berarti "kebaikan kita bersama". Sagap Rahuni menjabat ketua kelompok tani itu.

Anggotanya termasuk Mustar, menantu yang juga berprofesi sebagai guru sekaligus petani kelapa sawit.

"Berbeda dengan tanaman lain, berkebun sawit ini lebih mudah,” kata Mustar.

Lelaki asal Kabupaten Pasangkayu berusia 50 tahun itu menjelaskan kemudahannya membagi waktu antara tugas mengajar dan berkebun sawit.

Panen demi panen yang menambah penghasilan keluarga mulai terasa sejak 2010, setelah usia tanaman tiga tahun ke atas.

"Penghasilannya bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Saya tidak tahu, akan seperti apa daerah ini kalau tidak ada perkebunan kelapa sawit," ujar dia..
                              Bupati Pasangkayu, Sulbar, Agus Ambo Jiwa (Antaranews Sulteng/Dokumen AAL)  Berdampingan 

Desa Lalundu, Kecamatan Rio Pakava, Sulawesi Tengah, tempat Sagap dan Mustar tinggal, terletak berdampingan dengan konsesi PT Lestari Tani Teladan yang sebagian lahannya masuk Provinsi Sulteng.

Selain perusahaan ini, di sekitarnya juga terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit Grup Astra Agro Lestari lainnya, yaitu PT Letawa, PT Pasangkayu, PT Mamuang, PT Suryaraya Lestari, juga PT Tanjung Sarana Lestari yang mulai bergerak di industri hilir sesuai harapan pemerintah.

Perusahaan-perusahaan yang berdampingan dengan Sulteng ini berdomisili di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat.

Sepuluh tahun terakhir, kawasan ini berkembang pesat. Pemerintah Kabupaten Pasangkayu misalnya, setelah membangun jalan dan fasilitas fisik yang mendukung kawasannya sebagai salah satu sentra penghasil kelapa sawit, kini gencar membangun taman-taman kota yang ramah bagi masyarakatnya. Termasuk melengkapi jaringan internet di pelosok-pelosok desa.

“Harus kita akui, semua ini salah satunya karena dampak perkebunan kelapa sawit yang ada di kawasan kita,” kata Bupati Pasangkayu Ir. Agus Ambo Djiwa.

Sektor perkebunan, berdasarkan data yang ia punya, menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi masyarakat di kabupaten yang ia pimpin.

Diakuinya, kelapa sawitlah yang banyak mendorong pertumbuhan kawasan. Tidak sekadar kelengkapan fisik, kawasannya juga terus dilengkapi dengan fasilitas yang bisa mendukung serta memanfaatkan potensi kelapa sawit.

“Ke depan, kita akan jadikan Kabupaten Pasangkayu ini sebagai 'agro smart',” katanya bersemangat.

Konsep yang dirancang dengan mengandalkan teknologi 4.0 itu diharapkan semakin mempermudah industri pertanian maupun perkebunan dalam mengembangkan serta memanfaatkan potensi yang ada dengan bantuan teknologi.

Diharapkan, investor juga terus tertarik untuk menanamkan modalnya di Pasangkayu.

Apalagi, sekian tahun beroperasi, kelapa sawit telah terbukti dampak positifnya.

Pemkab Pasangkayu sudah menjadikan kelapa sawit sebagai produk unggulan supaya lebih kompetitif lagi pada masa mendatang  sehingga memberi dampak yang kian signifikan kepada perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Foto udara kawasan perkebunan kelapa sawit di Batanghari, Jambi, Rabu (28/11/2018). Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) menyatakan, hingga September 2018 sebanyak 413 pelaku usaha kelapa sawit, termasuk koperasi petani swadaya dengan total luas lahan sebesar 2,439 juta hektare telah mendapatkan sertifikat ISPO sebagai bentuk komitmen nasional untuk penerapan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, ramah lingkungan, sesuai peraturan, dan dengan tata kelola baik. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
 

Pewarta : Rolex Malaha
Uploader : Sukardi
Copyright © ANTARA 2024