Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari Fraksi Gerindra menyatakan bahwa masih ada anggota legislatif yang belum memahami secara utuh mengenai Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) sehingga pembahasan RUU itu masih berat dan berlarut-larut.
Menurut dia, sebagai komisi yang tidak hanya membawahi urusan perempuan -- melainkan juga sosial dan agama -- tidak semua anggota Komisi VIII berpengalaman menyelesaikan urusan perempuan, apalagi menyangkut kesehatan reproduksinya.
"Jadi bayangkan, ini bapak-bapak, ibu-ibu, yang pakarnya soal haji, umroh, tiba-tiba harus bicara soal kesehatan reproduksi perempuan," katanya di Jakarta, Kamis.
Dengan kompleksitas di komisi, kata dia, tidak heran kalau pembahasan RUU PKS cukup berlarut-larut. Dia juga tidak memungkiri ada sejumlah pasal dalam draft RUU PKS yang dinilai kontroversial sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda.
"Ada juga yang tak paham masalah hukum di Indonesia. Contohnya, ada anggota yang menolak poin pemidanaan untuk pemerkosaan dalam hubungan pernikahan. Ini menegaskan tanpa RUU PKS, pemerkosaan terhadap pasangan dalam relasi pernikahan memang sudah diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Bagaimana dengan yang suka sama suka? Mohon maaf, ini lex specialis kekerasan seksual, yang sudah banyak diatur dalam UU lain," katanya.
Perdebatan yang sama juga kerap dilontarkan terkait masalah aborsi. Menurut dia, sebagian pihak menilai bahwa aborsi seharusnya tetap dilarang, tanpa ada klausul pengecualian untuk "yang dipaksa" seperti dalam RUU PKS.
"Tapi ini kan lex specialis, pelarangan aborsi sudah ada di UU lain. Kita tidak tumpang tindih, kita melengkapi. Yang tidak diatur di RUU PKS, bukan berarti lalu terhapus," katanya.
Meski begitu, ia menilai perlunya pembahasan yang komprehensif dari pihak yang pro maupun yang kontra.
Ia mengatakan bahwa perbedaan ideologi hendaknya jangan menjadi hambatan untuk tidak membahas RUU yang sebetulnya sangat penting ini.
"Ayo kita bahas pasal mana saja yang jadi permasalahan. Karena kalau tidak dibahas bagaimana mau diurai. Ruhnya sih katanya (semua) setuju tapi bagaimana melakukannya itu yang belum ada titik temunya," demikian Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
Menurut dia, sebagai komisi yang tidak hanya membawahi urusan perempuan -- melainkan juga sosial dan agama -- tidak semua anggota Komisi VIII berpengalaman menyelesaikan urusan perempuan, apalagi menyangkut kesehatan reproduksinya.
"Jadi bayangkan, ini bapak-bapak, ibu-ibu, yang pakarnya soal haji, umroh, tiba-tiba harus bicara soal kesehatan reproduksi perempuan," katanya di Jakarta, Kamis.
Dengan kompleksitas di komisi, kata dia, tidak heran kalau pembahasan RUU PKS cukup berlarut-larut. Dia juga tidak memungkiri ada sejumlah pasal dalam draft RUU PKS yang dinilai kontroversial sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda.
"Ada juga yang tak paham masalah hukum di Indonesia. Contohnya, ada anggota yang menolak poin pemidanaan untuk pemerkosaan dalam hubungan pernikahan. Ini menegaskan tanpa RUU PKS, pemerkosaan terhadap pasangan dalam relasi pernikahan memang sudah diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Bagaimana dengan yang suka sama suka? Mohon maaf, ini lex specialis kekerasan seksual, yang sudah banyak diatur dalam UU lain," katanya.
Perdebatan yang sama juga kerap dilontarkan terkait masalah aborsi. Menurut dia, sebagian pihak menilai bahwa aborsi seharusnya tetap dilarang, tanpa ada klausul pengecualian untuk "yang dipaksa" seperti dalam RUU PKS.
"Tapi ini kan lex specialis, pelarangan aborsi sudah ada di UU lain. Kita tidak tumpang tindih, kita melengkapi. Yang tidak diatur di RUU PKS, bukan berarti lalu terhapus," katanya.
Meski begitu, ia menilai perlunya pembahasan yang komprehensif dari pihak yang pro maupun yang kontra.
Ia mengatakan bahwa perbedaan ideologi hendaknya jangan menjadi hambatan untuk tidak membahas RUU yang sebetulnya sangat penting ini.
"Ayo kita bahas pasal mana saja yang jadi permasalahan. Karena kalau tidak dibahas bagaimana mau diurai. Ruhnya sih katanya (semua) setuju tapi bagaimana melakukannya itu yang belum ada titik temunya," demikian Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.