Palu (ANTARA) - Informasi yang berkembang di medsos dan media online bahwa masalah benih lobster belum final apakah ekspor tetap ditutup atau dibuka dengan sistem kuota.
Beberapa hari lalu saya menawarkan dua opsi dalam mengurai persoalan permen 56 tahun 2016 tentang larangan ekspor benih lobster dan lobster dewasa kurang dari 200 gram.
Opsi pertama, menutup sama sekali ekspor benih lobster, kemudian segera kembangkan budidayanya dengan inovasi dalam negeri, serta membuka kesempatan investasi Vietnam.
Opsi kedua, membuka ekspor benih dengan sistem kuota (buka-tutup) sambil mempersiapkan infrastruktur budidayanya dan membuka kesempatan investasi Vietnam.
Nilai minus opsi pertama antara lain adalah berkurangnya kesempatan nelayan penangkap benih lobster untuk kesejahteraan mereka yang selama ini mereka rasakan.
Baca juga: Benih lobster alias emas hitam, apa yang harus diintervensi
Namun nilai plus yang dapat diperoleh antara lain;
(1) ada percepatan transformasi teknologi membesarkan Fhylosoma sampai Puerelus dan Juvenil serta Pembesaran Juvenil sampai lobster dewasa untuk diperdagangkan dan calon induk bagi kepentingan restocking dan pembenihan ke depan.
(2) Infrastruktur Perbenihan air laut yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat maupun daerah dapat dioptimalkan lagi untuk menunjang program ini, karena selama ini dipandang tidak maksimal.
(3) Nilai tambah akan diperoleh oleh pembudidaya dan nelayan penangkap benih, meskipun nelayan harus “berpuasa” beberapa saat karena menunggu berkembangnya budidaya secara masif.
Selain itu devisa yang diperoleh negara akan lebih besar ketimbang mengekspor benih.
Baca juga: Kontroversi wacana dibukanya kembali ekspor benih lobster
Bila opsi kedua yang diambil maka nilai minusnya antara lain sulitnya pengawasan dan pengendalian terhadap eksploitasi dan perdagangan benih.
Sedangkan dilarangpun masih sempat diselundupkan, apalagi kalau dilegalkan, sehingga di kuatirkan akan mengancam kelestarian. Selain itu diprediksi akan ada konflik lagi bila saatnya ekspor benih ditutup karena budidaya sudah berkembang masif.
Sedangkan nilai plusnya adalah terbuka kesempatan nelayan penangkap benih segera memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Dari gambaran di atas tentunya Pemerintah sudah dapat mempertimbangkan opsi mana yang akan dipilih.
Saya meyakini bahwa Pemerintah, khususnya Kementrian Kelautan dan Perikanan dibawah menteri yang baru Edy Prabowo dapat mengambil keputusan terbaik.***
Beberapa hari lalu saya menawarkan dua opsi dalam mengurai persoalan permen 56 tahun 2016 tentang larangan ekspor benih lobster dan lobster dewasa kurang dari 200 gram.
Opsi pertama, menutup sama sekali ekspor benih lobster, kemudian segera kembangkan budidayanya dengan inovasi dalam negeri, serta membuka kesempatan investasi Vietnam.
Opsi kedua, membuka ekspor benih dengan sistem kuota (buka-tutup) sambil mempersiapkan infrastruktur budidayanya dan membuka kesempatan investasi Vietnam.
Nilai minus opsi pertama antara lain adalah berkurangnya kesempatan nelayan penangkap benih lobster untuk kesejahteraan mereka yang selama ini mereka rasakan.
Baca juga: Benih lobster alias emas hitam, apa yang harus diintervensi
Namun nilai plus yang dapat diperoleh antara lain;
(1) ada percepatan transformasi teknologi membesarkan Fhylosoma sampai Puerelus dan Juvenil serta Pembesaran Juvenil sampai lobster dewasa untuk diperdagangkan dan calon induk bagi kepentingan restocking dan pembenihan ke depan.
(2) Infrastruktur Perbenihan air laut yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat maupun daerah dapat dioptimalkan lagi untuk menunjang program ini, karena selama ini dipandang tidak maksimal.
(3) Nilai tambah akan diperoleh oleh pembudidaya dan nelayan penangkap benih, meskipun nelayan harus “berpuasa” beberapa saat karena menunggu berkembangnya budidaya secara masif.
Selain itu devisa yang diperoleh negara akan lebih besar ketimbang mengekspor benih.
Baca juga: Kontroversi wacana dibukanya kembali ekspor benih lobster
Bila opsi kedua yang diambil maka nilai minusnya antara lain sulitnya pengawasan dan pengendalian terhadap eksploitasi dan perdagangan benih.
Sedangkan dilarangpun masih sempat diselundupkan, apalagi kalau dilegalkan, sehingga di kuatirkan akan mengancam kelestarian. Selain itu diprediksi akan ada konflik lagi bila saatnya ekspor benih ditutup karena budidaya sudah berkembang masif.
Sedangkan nilai plusnya adalah terbuka kesempatan nelayan penangkap benih segera memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Dari gambaran di atas tentunya Pemerintah sudah dapat mempertimbangkan opsi mana yang akan dipilih.
Saya meyakini bahwa Pemerintah, khususnya Kementrian Kelautan dan Perikanan dibawah menteri yang baru Edy Prabowo dapat mengambil keputusan terbaik.***