Palu (ANTARA) - HUJAN mengguyur cukup deras di sepanjang perjalanan dari Parepare menuju Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Perjalanan yang biasa ditempuh dua jam bergeser menjadi tiga jam, karena sopir menyesuaikan dengan kondisi jalan yang berkabut.
Dalam perjalanan, saya sempat membaca sebuah artikel terkait dengan dana desa yang jumlahnya telah melewati angka Rp300 triliun dan masih terus bergulir. Ribuan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) telah dilahirkan dengan tujuan agar ekonomi desa tumbuh dan berkembang, sehingga mampu keluar dari kemiskinan dan pengangguran maupun ketimpangan.
Namun harapan itu belum bisa terpenuhi, hanya sebahagian kecil saja desa yang sukses memanfaatkan dana itu untuk satu kemajuan.
Desa memiliki sumberdaya alam, manusia dan capital.
Kementerian Desa, kementrian teknis dan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota setiap tahun secara terus menerus menggelontorkan dana pembangunan desa untuk infrastruktur, pemberdayaan masyarakat sampai dengan peningkatan kapasitas aparat desa.
Baca juga: OPINI - Gagasan dan 'uang panai'
Hampir semua tau bahwa tidak maksimalnya pemanfaatan dana-dana itu lebih disebabkan oleh lemahnya SDM kepala desa maupun perangkatnya. Ditambah lagi dengan kesiapan masyarakat penerima, ikut melengkapi kelemahan itu. Selain itu disinyalir pemerintah di atasnya kurang mempersiapkan disain dan skenario mengawal pemanfaatan dana itu secara terintegrasi dan holistik.
Pada era industri 4.0, kata-kata smart yang bermakna cerdas telah banyak dimanfaatkan untuk menunjang berbagai aktifitas kehidupan. Mulai istilah smart phone, smart city, smart kitchen, smart village sampai istilah smart farming.
Dengan smart phone, hampir semua aspek kehidupan berada dalam genggaman. Banyak sekali kebutuhan maupun kewajiban bisa diselesaikan cukup menggunakan smart phone atau hand phone android, melalui sejumlah aplikasi. Smart phone kini bukan hanya monopoli masyarakat kota, tetapi juga sudah ada di masyarakat desa, karena merupakan sebuah kebutuhan.
Baca juga: Warkop mobile, kreativitas di era disrupsi
Pembangunan desa di negeri ini, diharapkan berorientasi kepada pendekatan smart village atau desa cerdas. Harus dibangun elaborasi pemerintah pusat dan daerah untuk membuat satu contoh desa cerdas atau smart village di setiap kabupaten/kota untuk menjadi 'role model' dan 'banch marking' bagi desa-desa lainnya.
Sejumlah desa di beberapa Negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan Vietnam sejak beberapa waktu lalu telah menerapkan konsep Smart Village-Smart Farming ini untuk keluar dari permasalahan mereka.
Dengan pendekatan smart village, maka berbagai aktifitas ekonomi akan menyesuaikan seperti produksi pangan dan pemasaran yang berbasis digital dan disebut smart farming. Harapannya kiranya negeri ini juga segera berada dalam pusaran smart village dan smart farming. Tidak tertinggal dari negara lainnya. SEMOGA. (* Kepala Bappeda Sulteng)
Baca juga: Pilkada dan 'papoji depan dan belakang'
Dalam perjalanan, saya sempat membaca sebuah artikel terkait dengan dana desa yang jumlahnya telah melewati angka Rp300 triliun dan masih terus bergulir. Ribuan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) telah dilahirkan dengan tujuan agar ekonomi desa tumbuh dan berkembang, sehingga mampu keluar dari kemiskinan dan pengangguran maupun ketimpangan.
Namun harapan itu belum bisa terpenuhi, hanya sebahagian kecil saja desa yang sukses memanfaatkan dana itu untuk satu kemajuan.
Desa memiliki sumberdaya alam, manusia dan capital.
Kementerian Desa, kementrian teknis dan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota setiap tahun secara terus menerus menggelontorkan dana pembangunan desa untuk infrastruktur, pemberdayaan masyarakat sampai dengan peningkatan kapasitas aparat desa.
Baca juga: OPINI - Gagasan dan 'uang panai'
Hampir semua tau bahwa tidak maksimalnya pemanfaatan dana-dana itu lebih disebabkan oleh lemahnya SDM kepala desa maupun perangkatnya. Ditambah lagi dengan kesiapan masyarakat penerima, ikut melengkapi kelemahan itu. Selain itu disinyalir pemerintah di atasnya kurang mempersiapkan disain dan skenario mengawal pemanfaatan dana itu secara terintegrasi dan holistik.
Pada era industri 4.0, kata-kata smart yang bermakna cerdas telah banyak dimanfaatkan untuk menunjang berbagai aktifitas kehidupan. Mulai istilah smart phone, smart city, smart kitchen, smart village sampai istilah smart farming.
Dengan smart phone, hampir semua aspek kehidupan berada dalam genggaman. Banyak sekali kebutuhan maupun kewajiban bisa diselesaikan cukup menggunakan smart phone atau hand phone android, melalui sejumlah aplikasi. Smart phone kini bukan hanya monopoli masyarakat kota, tetapi juga sudah ada di masyarakat desa, karena merupakan sebuah kebutuhan.
Baca juga: Warkop mobile, kreativitas di era disrupsi
Pembangunan desa di negeri ini, diharapkan berorientasi kepada pendekatan smart village atau desa cerdas. Harus dibangun elaborasi pemerintah pusat dan daerah untuk membuat satu contoh desa cerdas atau smart village di setiap kabupaten/kota untuk menjadi 'role model' dan 'banch marking' bagi desa-desa lainnya.
Sejumlah desa di beberapa Negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan Vietnam sejak beberapa waktu lalu telah menerapkan konsep Smart Village-Smart Farming ini untuk keluar dari permasalahan mereka.
Dengan pendekatan smart village, maka berbagai aktifitas ekonomi akan menyesuaikan seperti produksi pangan dan pemasaran yang berbasis digital dan disebut smart farming. Harapannya kiranya negeri ini juga segera berada dalam pusaran smart village dan smart farming. Tidak tertinggal dari negara lainnya. SEMOGA. (* Kepala Bappeda Sulteng)
Baca juga: Pilkada dan 'papoji depan dan belakang'