Keluar dari perangkap 'Pagolo Lemo' untuk kemajuan

id Hadanuddin Atjo

Keluar dari perangkap 'Pagolo Lemo' untuk kemajuan

Dr H Hasanuddin Atjo, MP, Ketua Ispikani Sulteng. (ANTARA/HO-Dokumen Pribadi)

Dalam tatakelola lebih kepada membiasakan yang benar dan  bukan membenarkan yang biasa.  
Palu (ANTARA) - GA 622  rute Jakarta-Palu di Kamis subuh 29  Oktober 2020, take off tepat pukul 04.00 WIB.  Seat dalam Pesawat hanya  terisi sekitar 50-an penumpang.  Dikarenakan istirahat  (tidur saya) sudah cukup, tidak ada rasa kantuk disertai dengan pikiran terasa segar, maka  artikel terkait dengan permainan sepak bola saya lanjutkan.

Sepak bola  merupakan permainan yang sudah sangat lama, berusia abad  dan disenangi oleh hampir semua masyarakat dunia, terutama oleh kaum laki-laki. Bahkan tidak sedikit kaum hawa  menggandrungi permainan yang telah mendunia ini. 

Kadar kesenangannya mulai dari sekedar menyaksikan permainan itu sampai menjadikan  permainan ini sebagai profesi atau pekerjaan utama mendukung kehidupan dan  keluarganya. Bahkan di sejumlah negara telah menjadi bisnis besar dengan lahirnya sejumlah klub bola yang dikelola secara profesional.

Dahulu, sebelum ada bola terbuat dari balon karet dan dibungkus oleh kulit sapi atau kerbau,  kemudian diisi angin hingga  tekanan tertentu, maka bola kaki saat itu berasal dari kumpulan kertas atau kulit jeruk dirangkai sedemikian rupa hingga berbentuk bundar dan bisa dipakai bermain bola. Di tanah Bugis dan Makassar pada saat itu disebut dengan istilah “Golo Lemo” atau bola terbuat dari kulit jeruk besar. 

Baca juga: Pilgub Sulawesi Tengah 2020, ide, narasi dan eksekusi

Karakter bola ini kurang lenting dan tidak bisa ditendang melambung, sehingga dimana bola itu berada maka semua yang bermain akan mengejar dan berkumpul  saling memperebutkan bola itu sampai hancur lebur tidak berbentuk bola lagi, bahkan lebih sering bola  tidak pernah sampai ke gawang lawan dan menghasilkan goal. 

Istilah “Pagolo Lemo” umumnya dipergunakan sebagai umpatan seseorang  atau kelompok orang yang menonton pertandingan sepak bola dan kemudian kecewa karena kesebelasan  andalannya, kesayangannya kalah  terus dan biasanyamereka  bergumam “dasar pagolo lemo”.  

Maknanya kenapa bermain bola seperti itu, sudah besar investasi membangun klub,  tanpa bisa menampilkan sebuah pola bermain yang menarik ditonton , tanpa ada desain, tanpa strategi, dan tidak kompak yang  akhirnya tidak bisa membuat goal bahkan kemasukan goal.

Istilah ini  kadangkala  dialamatkan ke sebuah tatakelola pemerintahan yang memiliki kinerja belum sesuai harapan, karena tidak bisa keluar dari sejumlah persoalan wilayahnya  
terkait kemajuan dan kesejahteraan warganya . Dan kasus seperti ini di masyarakat biasa mengumpat karena kesal dengan sebutan  “Dasar Manajemen Pagolo Lemo”. 

Baca juga: Ekonomi Negeri, bagai telur di ujung tanduk, Pilkada 2020 menjadi strategis

Bagi sebuah klub sepak bola tidak sulit untuk keluar dari predikat itu. Cukup pemilik klub yang mengganti  manajemen mulai ganti manajer,  tukar pelatih dan kontrak pemain baru. Namun tatakelola pemerintah mekanismenya ribet, karena ganti manajer puncak harus melalui satu tahapan Pilkada  dan sudah tentu  kualitas manajer terpilih  berpulang kepada kualitas berdemokrasi saat ini, serta komitmen dan keinginan dari pemilik hak usung dan hak suara. 

Apapun hasil dari sebuah Pilkada dalam menghasilkan pemimpin di daerah, maka  sesungguhnya yang perlu menjadi  perhatian dan perlu dibangun, adalah memaksimalkan tatakelola pemerintahannya agar tidak terperangkap dan kemudian di cap  sebagai penganut aliran  manajemen tatakelola  “Pagolo Lemo”. 

Untuk bisa kekuar dari perangkap itu , maka pemimpin di daerah  dan pemilik hak usung  bisa mengurangi  kepentingannya terutama dalam pengisian jabatan  struktur untuk melaksanakan tatakelola.  Selain itu kepala daerah yang bertindak dan berperan sebagai manajer harus mampu melakukan reformasi dan transformasi serta sejumlah upaya tertentu secara terus menerus.  

Pertama, dalam tatakelola lebih kepada membiasakan yang benar dan  bukan membenarkan yang biasa.  Tentunya ini meninbulkan sejumlah tantangan, utamanya datang dari kelompok yang suka bertahan di confort zone, atau zona nyaman. 

Baca juga: Skenario membangun ekonomi Sulteng di era 'new normal'

Kedua, lebih mendahulukan prinsip Me daripada Di. Misalnya melayani daripada dilayani. Mengayomi dan diayomi. Memberi dan diberi. Masih banyak lagi  kata sifat atau karakter seseorang yang harus  dahulukan  me bukan di dan selama ini telah menjadi “penyakit kronis”. 

Ketiga, senantiasa menerapkan prinsip kerjakan apa yang di catat dan catat apa yang dikerjakan. Dan ini  bermakna bahwa sesuatu yang dikerjakan harus melalui sebuah proses perencanaan yang benar, berorientasi keberlanjutan serta dilakukan secara konsisten.  
Besar harapan masyarakat bahwa pemimpin daerah terpilih di Pilkada tanggal 9 Desember tahun 2020  ini kiranya dapat melaksanakan tiga hal di atas agar bisa membawa satu perubahan dan kemajuan di daerahnya masing-masing yang umumnya masih terperangkap dengan ketertinggalan. SEMOGA

Baca juga: Sulteng hebat bukan karena tambang, pangan pariwisata dan jasa diharap berperan