Palu (ANTARA) - Penularan COVID-19 di Indonesia cenderung meningkat dengan laju terpapar positif di atas 1.500 kasus per hari, dan totalnya sejak tanggal 2 Maret hingga Kamis 22 Juli 2020 telah melewati angka 90 ribu orang. Angka ini telah melebihi kasus di China yaitu sekitar 85 ribu kasus, meskipun penduduk Indonesia hanya 1/5 kali dari China yang berpenduduk 1,38 milyar jiwa.
Dampak wabah ini semakin parah terhadap perekonomian dan sosial masyarakat. Pertumbuhan ekonomi triwulan pertama hanya 2,7 persen dari target sekitar 5,5 persen. Dan di triwulan kedua lebih parah lagi dan diperkirakan oleh Menkeu Sri Mulyani antara minus 3,5 hingga minus 5.1 persen atau titik tengah minus 4,3 persen. Secara agregat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga triwulan dua sudah minus 1,6 persen.
Presiden Jokowi terus berupaya agar pertumbuhan ekonomi di triwulan tiga tidak sampai minus. Triwulan ini adalah kesempatan terakhir dan hanya belanja-belanja Pemerintah yang paling mungkin dilakukan untuk itu. Investasi sektor swasta belum bisa diharapkan, terkecuali investasi sektor tertentu seperti pangan dan jasa online.
Bila kita tidak sukses mendorong pertumbuhan ekonomi di triwulan ketiga menjafi positif, maka hampir pasti pertumbuhan ekonomi tahun 2020 akan minus. Dan ini menjadi malapetaka bagi negeri ini, karena kemiskinan maupun pengangguran semakin bertambah,diperparah lagi cadangan devisa dan pendapatan perkapita negeri tidak begitu baik.
Baca juga: New Normal, antara penguatan ekonomi dan perbaikan kesehatan
New normal atau adaptasi kebiasaan baru adalah satu regulasi yang diterapkan oleh sejumlah Negara dalam rangka tatakelola di era Covid-19 terkait (1) bagaimana menekan laju penularan COVID-19 dan (2) bagaimana negara itu bisa keluar dari tekanan ekonomi dan sosial akibat pandemik COVID-19.
Regulasi New Normal di negeri ini dimulakan tanggal 5 Juni 2020, setelah dievaluasi dan mempertimbangkan bahwa penerapan social distancing (jaga jarak) di bulan Maret 2020 kemudian dilanjutkan dengan PSBB, pembatasan sosial berskala besar sangat berdampak atas lumpuhnya perekonomian negeri ini.
Lain halnya dengan negara yang menerapkan regulasi lockdown di era COVID-19 seperti Singapura. Di satu sisi mampu menekan laju tular COVID-19, namun laju pertumbuhan ekonomi sangat parah mencapai minus 47 persen. Dan tentunya ini bukan menjadi soal yang sangat serius bagi Singapura oleh karena cadangan devisa dan tabungan masyarakat yang tinggi, berbeda halnya dengan Indonesia yang cadangan devisa terbatas dan pendapatan perkapita 1/15 dari Singapura yaitu hanya 4.000 dolar AS (2019). Inilah menjadi salah satu pertimbangan mengapa Indonesia tidak memilih regulasi Lockdown.
Regulasi New Normal, memberi kesempatan kepada masyarakat dapat kembali beraktifitas, kembali bekerja dengan memenuhi syarat protokol Covid-19 seperti menjaga jarak, pakai masker dan selalu cuci tangan secara disiplin, konsisten. Pertanyaannya kemudian apakah penerapan regulasi New Normal mampu menekan laju penularan Covid-19 dan mampu memperpaiki pertumbuhan ekonomi negeri ini?.
Baca juga: Skenario membangun ekonomi Sulteng di era 'new normal'
Bila melihat langka laju penularan Covid-19 yang setiap hari di publis menunjukkan bahwa sejak 5 Juni 2020 hingga saat ini laju penularan memunjukkan trend positif bahkan mendekati 2.000 kasus positif per hari. Ditemukan sejumlah cluster baru sebagai transmisi lokal seperti di pasar-pasar tradisional, perkantoran bahkan kelompok yang berolahraga secara bergerombol seperti bersepeda. Ini fenomena yang harus diberi perhatian serius apalagi telah dibukanya sejumlah mall dan pusat perbelanjaan.
Tentunya regulasi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan apakah bisa menekan laju penularan Covid-19 dan sekaligus mampu memperbaiki laju pertumbuhan ekonomi yang di semester pertama berada di angka minus 1,6 persen (-1,6persen). Sejumlah kalangan menilai bahwa, trend positif laju penularan Covid lebih disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan soft skill seperti kadar kedisiplinan, kepedulian serta konsistensi masyarakat. Kondisi ini lebih diperparah lagi oleh lemahnya pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan Covid-19 oleh masyarakat yang memang kadar soft skill yang sangat variatif dan terbentuk sejak lama.
Persoalan soft skill diketahui sejak lama sebagai salah satu tantangan dalam rangka program membangun daya saing sumberdaya manusia. Karena itu dalam RPJMN, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan RPJMN 2019-2024 termuat amanat terkait dengan reformasi birokrasi dan revolusi mental. Yang perlu jadi perhatian bahwa peran kepala daerah dalam reformasi birokrasi dan revolusi mental sangat penting.
Baca juga: Sulteng hebat bukan karena tambang, pangan pariwisata dan jasa diharap berperan
Pemerintah optimis bahwa regulasi New Normal mampu menekan laju penularan covid-19 dan perbaikan kondisi ekonomi secara paralel, meskipun ada kecenderungan laju penularan yang terus meningkat dan laju pertumbuhan ekonomi yang menurun. Sejumlah alasan yang menjadi dasar rasa optimis ini antara lain; Pertama bahwa sejumlah kasus di wilayah terkecil seperti RT Rukun Tetangga, dan RW, Rukun Warga bahkan kabupaten dan kota ada yang telah sukses mengubah status wilayahnya terkait pandemic Covid-19 dari merah ke hijau.
Kedua bahwa hasil survey terhadap masyarakat atas pilihan tetap PSBB atau New Normal untuk pemulihan kesehatan dan ekonomi secara paralel menunjukkan bahwa di Mei 2020, sekitar 60 persen memilih PSBB dan selanjutnya survey Juni 2020 terjadi perubahan signifikan dan 60 persen pilihan masyarakat ke regulasi New Normal.
Ketiga bahwa Indonesia saat ini bekerjasama dengan China sedang melakukan uji klinis tahap tiga terhadap vaksin Covid-19 dan diperkirakan awal tahun 2021 dapat diproduksi secara massal dan mandiri di Indonesia.
Karena itu, Presiden Jokowi telah membentuk satu Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Presiden telah menunjuk Menteri Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai ketua komite dan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai ketua Pelaksana. Komite ini akan bertanggung jawab langsung kepada presiden dan memberikan laporan harian terkait dengan progres pemulihan kesehatan dan ekonomi.
Apa yang menjadi arah kebijakan Pemerintah tentunya sudah harus didukung. Bukan saatnya lagi mempersoalkan kelemahan dari kebijakan itu, karena kondisi negeri ini bagaikan “kapal yang sedang oleng”, “bagaikan telur di ujung tanduk”. Salah melangkah maka kapal akan tenggelam atau telur akan jatuh dan pecah.
Point penting dari regulasi ini adalah bahwa porsi pemulihan kesehatan dan ekonomi harus seimbang. Dapat di gambarkan bagai orang yang mengendarai sepeda bahwa tekanan pada pedal kanan dan kiri sama kuatnya agar sepeda bisa berjalan cepat, lurus dan tidak oleng. SEMOGA
Baca juga: Pemimpin baru Sulteng diharap mampu perbaiki kinerja fiskal daerah
New Normal dinilai akan berefek positif bagi kesehatan dan ekonomi
Persoalan soft skill diketahui sejak lama sebagai salah satu tantangan dalam rangka program membangun daya saing sumberdaya manusia.