Jakarta (ANTARA) - Saat ini penanganan staghorn stone atau batu tanduk rusa ginjal bisa melalui prosedur operasi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) yang tidak lagi menggunakan x-ray melainkan dengan ultrasonografi (USG).
Teknik yang sudah dilaporkan dalam dua jurnal ilmiah yakni Research and Reports in Urology tahun 2020 dan International Urology and Nephrology tahun 2020 ini diklaim membuat risiko paparan radiasi nol dan meminimalisasi obat-obatan terkait sehingga relatif menghemat biaya yang dikeluarkan.
“X-Ray free PCNL tidak menggunakan radiasi x-ray sama sekali dalam proses pencitraan, sehingga dapat mengurangi paparan radiasi bagi pasien, juga operator," kata dokter spesialis urologi FKUI-RSCM, Ponco Birowo dalam siaran persnya, Rabu.
Menurut dia, teknik operasi PCNL bebas radiasi sangat berguna bagi pasien yang memang sensitif pada kontras, cairan yang digunakan untuk membantu memvisualisasikan struktur organ yang diperiksa.
"Pasien yang memiliki riwayat azotemia (peningkatan produk nitrogen di darah) juga dapat memilih prosedur ini, karena kontras dapat memicu azotemia," tutur Ponco.
Selain itu, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, penggunaan USG juga memperkecil kemungkinan komplikasi karena penggunaan USG dapat mempermudah prosedur tindakan.
“PCNL merupakan teknik pembedahan minimal invasif untuk menghancurkan batu ginjal yang menggunakan jarum (needle) dan guidewire yang ditusukkan ke punggung pasien pada kulit dekat ginjal untuk mengakses ginjal dan saluran kemih bagian atas. Luka operasi pada teknik ini sekitar 1 cm," jelas Ponco.
Pada prosedur ini diperlukan pencitraan untuk menilai apakah akses ke ginjal sudah tercapai. Bisa menggunakan x-ray dan fluoroscopy ataupun ultrasonografi.
Setelah akses tercapai saluran kemih dilebarkan dengan dilator dan dimasukan kamera untuk melihat struktur ginjal.
"Kemudian batu dihancurkan. Setelah semua batu dihancurkan, dilakukan pencitraan kembali apakah masih ada batu tersisa atau tidak,” ujar Ponco.
Staghorn stone merupakan salah satu batu ginjal yang bentuknya menyerupai tanduk, dan mempunyai cabang-cabang yang terdapat di pelvis renalis sampai mengenai dua atau lebih kaliks renalis, sehingga membentuk gambaran seperti tanduk rusa. Besar kecilnya batu ini tergantung dari ukuran ginjal.
Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan, prevalensi batu ginjal di Indonesia sebesar 0,6 persen dan rentan dialami kelompok usia 55-64 tahun dengan prevalensi pada laki-laki 0,8 persen dan perempuan 0,4 persen.
Batu tanduk rusa sangat rentan dialami pasien yang memiliki riwayat keturunan saluran kemih, asam urat, infeksi saluran kemih, ginjal tunggal, obesitas dan sindrom metabolik.
Selain itu, rentan pula bagi mereka yang memiliki penyakit lain seperti; hiperparatiroidisme, penyakit ginjal polikistik, penyakit pencernaan (reseksi usus, penyakit chron, gangguan absorpsi), kelainan saraf tulang belakang (medula spinalis) dengan gejala seperti sering mengompol (neurogenic bladder).
Abnormalitas struktur ginjal seperti obsruksi UPJ, divertikulum kaliks, striktur uretra, refluks vesiko-uretero-renal, ginjal tapal kuda, uretterocele juga merupakan pasien dengan faktor risiko batu tanduk rusa.
Berita Terkait
MUI: Platform metaverse Kabah hanya sebagai simulasi ibadah haji
Sabtu, 12 Februari 2022 6:58 Wib
"Pesta kostum" Emma Stone & Emma Thompson di film "Cruella"
Jumat, 21 Mei 2021 9:26 Wib
Mengulik rahasia di balik tampilan dan gaya film "Cruella"
Jumat, 21 Mei 2021 9:21 Wib
Sineas Oliver Stone akan berbincang soal sinema di Mola TV
Kamis, 18 Februari 2021 14:48 Wib
Situs Geologi 'Alif Stone' Natuna
Kamis, 12 November 2020 19:52 Wib
Kisah Sharon Stone dari akting hingga titik balik kehidupan
Sabtu, 7 November 2020 15:11 Wib
Kenali "staghorn stone" sering tak bergejala
Rabu, 29 Juli 2020 13:24 Wib
Film-film yang cocok ditonton disaat Hari Jazz Internasional
Kamis, 30 April 2020 6:06 Wib