Ancaman perang hibrida perlu diantisipasi sedini mungkin

id perang hibrida

Ancaman perang hibrida  perlu diantisipasi sedini mungkin

Ilustrasi "hybrid warfare", gabungan perang siber dan perang informasi. ANTARA/ilustrator/Kliwon

Semarang (ANTARA) - Rencana membangun jaringan keamanan siber di 43 satuan kerja di bawah naungan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) merupakan antisipasi dini terhadap ancaman perang hibrida (hybrid warfare).

Pembangunan jaringan keamanan siber itu demi meningkatkan pertahanan siber TNI dan mengantisipasi berbagai ancaman digital serta mendukung kerja military incident response team (tim tanggap insiden militer). Tim ini, kata Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa, dibentuk sebagai hasil kerja sama antara Mabes TNI dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Dalam mewujudkan sistem keamanan siber TNI, sebagaimana berita ANTARA pada hari Senin (4/4), Panglima TNI bersama jajarannya mendengar langsung paparan dari PT Len Industri (Persero) mengenai jaringan/sistem keamanan siber.

Perseroan Terbatas (PT) Len Industri merupakan perusahaan milik negara yang bergerak di bidang, antara lain, jaringan telekomunikasi dan elektronika untuk pertahanan.

Di hadapan Panglima, perwakilan dari PT Len menyampaikan cara kerja sistem keamanan siber itu seperti closed circuit television (CCTV) yang memantau lalu lintas aktivitas siber TNI, upaya serangan, dan prediksi terhadap serangan yang mungkin terjadi.

Dijelaskan pula bahwa pembangunan jaringan keamanan siber TNI dimulai dengan pembentukan pusat keamanan operasi/security operation center (SOC) yang kelak di bawah kendali Satuan Siber (Satsiber) TNI.


Satsiber TNI menggunakan perangkat SOC itu dapat membuat analisis mengenai percobaan serangan, aksi peretasan, dan serangan-serangan digital lainnya.

Satuan siber ini juga akan menerima informasi mengenai serangan siber atau percobaan serangan siber melalui alat deteksi yang rencana pemasangannya di 11 satuan kerja TNI di Jakarta dan Bandung. Informasi dan data dari alat deteksi itu dikirim ke Satsiber TNI melalui jalur khusus yang terenkripsi (VPN).

Panglima lantas memandang perlu ada ruangan khusus untuk operasional jaringan keamanan siber TNI. Selain itu, Jenderal TNI Andika Perkasa meminta PT Len sebagai mitra untuk menyediakan teknisi yang selalu siaga di ruang pusat kendali selama masa garansi pemeliharaan atau 42 bulan.


Penangkal Ancaman Siber

Soal rencana TNI itu, pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha angkat bicara. Menurut dia, sudah seharusnya TNI mempunyai kemampuan dalam menghadapi ancaman siber. Pada era serbadigital, serangan dari dalam dan luar efektif melalui wilayah siber.

TNI sebagai unsur utama pertahanan negara memang harus ikut melakukan update apa saja ancaman serius pada negara, dalam hal ini ancaman siber.

Paling tidak ada dua macam ancaman serius, perang siber dan perang informasi. Saat ini banyak lahir konsep hybrid warfare, yaitu gabungan perang siber dan perang informasi.

Ancaman perang siber menuntut TNI untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur yang mendukung penguatan-pengamanan siber.

Walau sudah ada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), TNI tetap mempunyai tugas untuk mengamankan aset infrastruktur, data, maupun SDM dari usaha manipulasi maupun pencurian data yang masif.

Pratama lantas mencontohkan kasus peretasan Sony dan penyerangan ke infrastruktur penting Ukraina. Kasus ini membuka mata publik bagaimana perang modern kini terjadi.

TNI punya tanggung jawab besar. Namun, harus ada kemampuan pengamanan siber terlebih dahulu di dalam TNI, kemudian memperluas bagaimana kemampuan TNI menghadapi situasi perang siber. Perang di Ukraina, misalnya, sebelum militer Rusia masuk, infrastruktur penting dilumpuhkan dan masyarakat dihadapkan pada isu di media sosial.

Perang modern tidak lagi hanya mengandalkan persenjataan, tetapi penguasaan jalur informasi digital, seperti medsos dan pengamanan infrastruktur siber. Ini sesuatu yang mutlak.

Penguatan SDM dan infrastruktur siber TNI harus mengikuti perkembangan regulasi di Tanah Air, mulai dari pemahaman undang-undang (UU), penguasaan teknis, sampai pada kerja sama latihan dengan lembaga luar negeri.

Minimal, kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Pratama Persadha, masyarakat perlu melihat bagaimana kesiapan TNI dalam menghadapi ancaman perang siber, tentu ini memerlukan simulasi dan latihan gabungan. Apalagi, negara lain sudah sangat serius menggarap penguatan siber di tubuh militer mereka.

Militer Malaysia, misalnya, sejak 2013 sudah melakukan penguatan militer untuk menghadapi serangan siber. Puncaknya pada tahun 2016, mereka mengklaim militer Malaysia benar-benar sudah siap secara sistem, SDM, dan kemampuan teknis.



Belum Terlambat

Tak ada kata terlambat membangun kemampuan pertahanan siber di tubuh TNI. Apalagi, banyak anak bangsa ini yang bisa membantu, bahkan teknologi dalam negeri juga ada, asalkan negara menggunakannya.

Intinya membangun kekuatan siber di TNI harus atas dasar kepercayaan sesama anak bangsa sehingga tidak menjadi korban eksploitasi asing karena banyak memakai teknologi mereka.

Dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Pratama Persadha memandang perlu TNI membenahi sistem pengaderan mereka untuk menghasilkan SDM siber terbaik.

Hal ini mengingat keperluannya makin mendesak, terutama untuk urusan defence. Oleh karena itu, perlu SDM yang mengerti analisis, defence, attack, dan juga punya kepahaman bagaimana membangun sistem di internal TNI.

Masing-masing matra juga memerlukan segera SDM yang andal, misalnya untuk kegiatan pemantauan dan intelijen di wilayah siber.

Dengan demikian, strategi yang paling penting sekarang adalah soal SDM. Ini bisa secara paralel dengan membangun infrastruktur. Namun, tanpa SDM andal, semua infrastruktur siber ini akan sia-sia.

Intinya, TNI butuh tim siber di tiap matra dan cyber command center di TNI. Oleh sebab itu, setiap matra TNI saat ini sedang membangun pusat sibernya masing-masing. Semoga dalam beberapa tahun ini bisa meningkatkan kapasitas TNI di wilayah siber.