Menkop UKM akui harus ada perbaikan regulasi lindungi industri tekstil
Kabupaten Bandung (ANTARA) - Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki mengakui bahwa harus ada perbaikan regulasi untuk melindungi industri tekstil dalam negeri dari gempuran produk-produk impor.
Pasalnya, menurut Teten, dari hasil tinjauannya di Kabupaten Bandung, Minggu, dirinya mendapatkan informasi dari para pelaku usaha bahwa regulasi yang ada kini, masih belum bisa membendung serbuan barang impor hingga memukul telak industri dalam negeri baik tingkat pengecer sampai produsen, termasuk pada sektor tekstil.
Teten menjelaskan para pelaku usaha, menilai Safeguard (tindak pengamanan) kurang efektif katanya, di mana Safeguard untuk pakaian Rp25 ribu untuk satu potong, tapi dijual secara online bisa di bawah Rp25 ribu.
"Itu artinya regulasinya tidak jalan, nah kita tidak tahu apakah ini ada indikasi masuknya tidak resmi atau tidak dilaporkan ini soal kepabeanan. Tadi mereka menyampaikan bahwa masuk barang ke Indonesia itu terlalu mudah dan murah. Itu yang tadi minta ke pemerintah supaya regulasi dibenahi," ucapnya.
Karena itu, kata Teten, berbagai masukan yang disampaikan itu akan dikoordinasikan lebih lanjut di tingkat pemerintah pusat melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg), mengingat kewenangan tersebut ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan.
Termasuk, lanjut dia, soal usulan penetapan harga pokok khusus, seperti China yang menetapkan bahwa barang masuk dari luar negeri tidak boleh lebih rendah dari Harga Pokok Penjualan (HPP) demi melindungi industri dalam negeri.
Pasalnya efek membanjirnya barang impor yang juga menerapkan predatory pricing atau jual rugi melalui daring atau online, mengakibatkan berbagai pusat penjualan besar seperti ITC Kebon Kalapa, Pasar Andir, hingga Pasar Tanah Abang sepi, bahkan produsen sendiri tidak bisa bersaing dalam platform daring.
"Jadi betul juga apa yang disampaikan para pelaku usaha di sini, bahwa kita tuh barang dari luar masih terlalu mudah dan murah masuknya, sehingga memukul produksi dalam negeri. Makannya saya akan coba sampaikan ini," ucapnya.
Mudah masuknya barang-barang impor itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemi Kartiwa dikarenakan adanya pelambatan ekonomi global hingga barang-barang dari produsen besar dunia seperti China tidak terserap ke berbagai negara seperti Amerika, akhirnya mereka mencari pasar baru yang memiliki pembatasan perdagangan (trade barrier) yang lemah.
"Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena memang Indonesia kan populasinya nomor empat di dunia, dan GDP kita masih cukup terkontrol dan inflasi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain, makanya kita ini dibidik oleh mereka menjadi pangsa pasarnya," ucap dia.
Karenanya, kata Jemi, dalam diskusi para pelaku usaha konveksi dan tekstil di Kabupaten Bandung bersama MenkopUKM Teten Masduki, ada usulan untuk pakaian jadi dari yang sekarang pembatasannya mungkin di "post border", diusulkan menjadi "border".
"Atau yang spesifik, istilahnya regulasi itu bisa menahan derasnya masuk produk-produk impor tersebut. Kalau kita tidak pintar melakukan trade barrier, maka kita ini akan rontok ekosistemnya, hilirnya rontok maka terimbas juga ke hulunya," ucap dia menambahkan.
Pasalnya, menurut Teten, dari hasil tinjauannya di Kabupaten Bandung, Minggu, dirinya mendapatkan informasi dari para pelaku usaha bahwa regulasi yang ada kini, masih belum bisa membendung serbuan barang impor hingga memukul telak industri dalam negeri baik tingkat pengecer sampai produsen, termasuk pada sektor tekstil.
Teten menjelaskan para pelaku usaha, menilai Safeguard (tindak pengamanan) kurang efektif katanya, di mana Safeguard untuk pakaian Rp25 ribu untuk satu potong, tapi dijual secara online bisa di bawah Rp25 ribu.
"Itu artinya regulasinya tidak jalan, nah kita tidak tahu apakah ini ada indikasi masuknya tidak resmi atau tidak dilaporkan ini soal kepabeanan. Tadi mereka menyampaikan bahwa masuk barang ke Indonesia itu terlalu mudah dan murah. Itu yang tadi minta ke pemerintah supaya regulasi dibenahi," ucapnya.
Karena itu, kata Teten, berbagai masukan yang disampaikan itu akan dikoordinasikan lebih lanjut di tingkat pemerintah pusat melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg), mengingat kewenangan tersebut ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan.
Termasuk, lanjut dia, soal usulan penetapan harga pokok khusus, seperti China yang menetapkan bahwa barang masuk dari luar negeri tidak boleh lebih rendah dari Harga Pokok Penjualan (HPP) demi melindungi industri dalam negeri.
Pasalnya efek membanjirnya barang impor yang juga menerapkan predatory pricing atau jual rugi melalui daring atau online, mengakibatkan berbagai pusat penjualan besar seperti ITC Kebon Kalapa, Pasar Andir, hingga Pasar Tanah Abang sepi, bahkan produsen sendiri tidak bisa bersaing dalam platform daring.
"Jadi betul juga apa yang disampaikan para pelaku usaha di sini, bahwa kita tuh barang dari luar masih terlalu mudah dan murah masuknya, sehingga memukul produksi dalam negeri. Makannya saya akan coba sampaikan ini," ucapnya.
Mudah masuknya barang-barang impor itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemi Kartiwa dikarenakan adanya pelambatan ekonomi global hingga barang-barang dari produsen besar dunia seperti China tidak terserap ke berbagai negara seperti Amerika, akhirnya mereka mencari pasar baru yang memiliki pembatasan perdagangan (trade barrier) yang lemah.
"Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena memang Indonesia kan populasinya nomor empat di dunia, dan GDP kita masih cukup terkontrol dan inflasi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain, makanya kita ini dibidik oleh mereka menjadi pangsa pasarnya," ucap dia.
Karenanya, kata Jemi, dalam diskusi para pelaku usaha konveksi dan tekstil di Kabupaten Bandung bersama MenkopUKM Teten Masduki, ada usulan untuk pakaian jadi dari yang sekarang pembatasannya mungkin di "post border", diusulkan menjadi "border".
"Atau yang spesifik, istilahnya regulasi itu bisa menahan derasnya masuk produk-produk impor tersebut. Kalau kita tidak pintar melakukan trade barrier, maka kita ini akan rontok ekosistemnya, hilirnya rontok maka terimbas juga ke hulunya," ucap dia menambahkan.