Jakarta (ANTARA) - Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Suharto mengatakan bahwa celah hukum yang ada saat ini memungkinkan narapidana koruptor menghindari denda.
Dalam diskusi yang digelar oleh Badan PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) di Jakarta, Rabu, Suharto mengatakan bahwa terpidana korupsi sering kali tidak membayar denda yang sudah diputuskan oleh pengadilan, dan memilih untuk menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda.
Kondisi serupa juga terjadi dalam perkara narkotika. Dia menyebutkan banyak sekali terpidana yang tidak membayar denda yang dijatuhkan, tetapi mereka lebih memilih menjalani penjara pengganti sebagai konsekuensi denda yang tidak dibayar.
"Padahal, konsep awal penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah selain pemenjaraan, juga mengedepankan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana," ujar Suharto.
Oleh karena itu, kata dia, pelaku yang telah mengembalikan hasil kejahatan dalam tindak pidana korupsi akan dipertimbangkan menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Di sisi lain, Suharto menyampaikan bahwa implementasi perampasan aset hasil tindak pidana di Indonesia masih terkendala oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya bukti, tersangka meninggal dunia, melarikan diri, atau masuk daftar pencarian orang (DPO).
Suharto memandang perlu ada upaya bersama pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk memperbaiki infrastruktur hukum nasional dengan memberikan penguatan hukum pada aspek pemulihan aset melalui mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana.
"Ini perlu dilakukan semata-mata sebagai aspek untuk memiskinkan koruptor. Aset hasil kejahatan adalah kekuatan yang harus dilumpuhkan dengan dirampas menjadi milik negara atau untuk mengembalikan kerugian negara," kata dia.
Pemerintah Indonesia telah mengajukan RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana kepada DPR melalui surat perintah presiden (supres) pada tanggal 4 Mei 2023.
RUU Perampasan Aset menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi dan pemulihan aset negara. Pemerintah mendorong DPR untuk segera membahas RUU ini pada masa sidang terakhir tahun 2023.