Jakarta (ANTARA) - Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon sesuai Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) sebesar 358 juta ton CO2 pada 2030.
Menteri ESDM Arifin Tasrif saat Energy Transition Council (ETC) Ministerial: Uniting Leaders, Catalyzing Finance, and Emporing Clean Energy, yang merupakan rangkaian COP28 di Dubai, UEA, Selasa (5/12/2023), mengatakan sesuai E-NDC, Indonesia menyatakan peningkatan target pengurangan emisi karbon secara total dari 29 persen atau 835 juta ton CO2 menjadi 32 persen atau 912 juta ton CO2 pada 2030.
"Adapun di sektor energi, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi menjadi 358 juta ton CO2 pada 2030, dengan mengembangkan energi terbarukan, efisiensi energi, bahan bakar rendah karbon, dan teknologi batu bara bersih," ujarnya, dikutip dari keterangannya di Jakarta, Rabu.
Di hadapan forum ETC itu, Arifin menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan, yang sangat besar, yakni 3.687 gigawatt (GW), dengan mayoritas energi surya sebesar 3.294 GW.
"Menyadari perlunya pemanfaatan potensi energi terbarukan, baru-baru ini kami mencapai tonggak sejarah baru dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata berkapasitas 145 megawatt, dan menjadi terbesar di kawasan Asia Tenggara," katanya.
Proyek Cirata, imbuh Arifin, memiliki berbagai tujuan, termasuk memanfaatkan lahan reservoir dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, Jawa Barat, untuk menghasilkan listrik secara mandiri dan memenuhi meningkatnya permintaan energi terbarukan di sistem kelistrikan Pulau Jawa.
Sebagai tanda komitmen dalam melawan perubahan iklim, Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam mencapai nol emisi (net zero emission/NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Untuk mencapai target tersebut, menurut dia, pemerintah berencana menghasilkan listrik sebesar 708 GW, yang mana 96 persennya berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan dan 4 persen sisanya dari tenaga nuklir.
Adapun investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit listrik dan transmisinya itu diperkirakan 1,108 miliar dolar AS, dengan investasi tambahan sebesar 28,5 miliar dolar AS sampai 2060.
Menyongsong 2030, tambah Arifin, pemerintah pun berkomitmen untuk mencapai NZE melalui strategi ganda yang mencakup pengembangan dari sisi suplai, sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, dan sisi demand, yang termasuk adopsi kendaraan listrik, kompor induksi, mandatori B40, dan peningkatan praktik manajemen energi di berbagai sektor.
"Meski banyak tantangan di masa depan, serta kami pun menyadari adanya hambatan pada teknologi, rantai pasokan, infrastruktur, pendanaan dan insentif, namun transisi energi yang berkeadilan tetap menjadi prioritas utama kami," tegas Arifin.
Selain itu, sejalan dengan regulasi terkait konservasi energi yang terbaru, kewajiban pengelolaan energi diperluas untuk pengguna energi tahunan, dengan batasan khusus yang ditetapkan untuk sektor industri sebesar 4.000 ton oil equivalent/TOE, transportasi 4.000 TOE, dan komersial 500 TOE.
"Kemudian, untuk lebih memperkuat komitmen kami terhadap efisiensi energi, kami telah menerapkan kebijakan Standar Kinerja Energi Minimum dan Label Energi untuk enam peralatan utama yakni AC, lemari es, kipas angin, lampu LED, penanak nasi, dan etalase berpendingin. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian target NDC," jelas Menteri ESDM.