BMKG: Pendeteksian tsunami RI belum lengkap tanpa sensor bawah laut

id BMKG,20 tahun tsunami Aceh,unesco ioc,deteksi tsunami,alat sensor bawah laut,peringatan dini tsunami,tsunami aceh,tsunam

BMKG: Pendeteksian tsunami RI belum lengkap tanpa sensor bawah laut

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisia (BMKG) Dwikorita Karnawati memaparkan materi bertajuk "Two Decade after 2004 Indian Ocean Tsunami: Reflection and the Way Foward: Lesson Learnt and Strategic Thruough Global Commitment" dalam forum Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (11/11/2024) (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)

Aceh (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisia (BMKG) menyatakan kemampuan Indonesia untuk mendeteksi potensi tsunami secara akurat masih belum lengkap tanpa adanya pemasangan sensor di bawah laut.

“Sensor bawah laut ini belum ada di Indonesia, kalau tidak ada di laut maka perhitungannya bisa lambat dan meleset,” kata Kepala BMKG Dwikorita saat ditemui seusai menyampaikan materi dalam forum “Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium” di Aceh, Senin.

Dia menegaskan secara prinsip Indonesia sudah memiliki sekitar 600 unit sensor pendeteksi gempa, yang juga dapat mendeteksi potensi dari tsunami yang tersebar di seluruh wilayah rawan di Tanah Air.

Berdasarkan data BMKG, jumlah sensor seismik tersebut meningkat drastis dibandingkan dua dekade yang lalu, dimana Indonesia hanya memiliki sebanyak 20 unit sensor seismik.

Dengan sebaran sensor yang hampir merata di seluruh wilayah ini, kata dia, membuat Indonesia sudah mampu memberikan peringatan dini tsunami kurang dari lima menit setelah gempa terjadi kepada seluruh masyarakat lokal, termasuk di ke sejumlah negara kawasan Asia Pasifik.

Hanya saja sejumlah ahli dalam forum simposium tersebut menilai tantangannya adalah walau jumlah sensor seismik tersebut sudah tersebar di hampir seluruh daerah di Indonesia dengan kualitas alat yang bagus, tapi masih belum cukup untuk mendeteksi seluruh pemicu tsunami yang ada.

Dwikorita mengatakan hal ini karena kemampuan ratusan unit sensor tersebut masih terbatas untuk mendeteksi potensi tsunami yang dipicu akibat longsoran bawah laut atau aktivitas gunung api secara lebih spesifik.

“Karena laut kita ini luas, jadi butuh (sensor bawah laut). Melalui forum inilah semua ahli dari berbagai negara bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi gap (celah) tersebut. Termasuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah daerah untuk menghadapi risiko bencana,” ujarnya.



Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium yang berlangsung pada 10-14 November 2024 di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, merupakan forum inisiasi antara UNESCO Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) dan Pemerintah Indonesia melalui BMKG untuk memperkuat strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat.

Simposium ini juga menjadi momentum untuk memperingati 20 tahun peristiwa tsunami Samudera Hindia 2004 yang juga berdampak besar di Aceh.

Forum ini dihadiri sekitar 1.000 peserta, termasuk ilmuwan, ahli kebencanaan dari 54 negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Italia, India, Bangladesh, dan China, serta komunitas sadar bencana dari Desa Siaga Tsunami di Indonesia.