Jakarta (ANTARA) - Onboarding digital UMKM yang banyak digaungkan dalam beberapa waktu terakhir disadari kemudian bisa saja menjadi jalan pintas naik kelas yang penuh risiko.
Ketika para pelaku UMKM didorong untuk bermigrasi ke platform e-commerce sebagai solusi populer untuk memperluas pasar, ada potensi dampak negatif yang terjadi.
Oleh karena itu, gerakan untuk berlomba-lomba mendorong digitalisasi UMKM sebagai upaya meningkatkan daya saing ekonomi nasional, harus mempertimbangkan baik buruk yang mungkin timbul belakangan.
Sebab, di balik optimisme digitalisasi itu, ada ancaman tak kasat mata yang jarang disoroti yakni ketergantungan yang berlebihan pada satu platform e-commerce yang dikhawatirkan dapat menjebak UMKM dalam perangkap rentan yang sulit dilepaskan.
Sebut saja perubahan algoritma pada platform lokapasar atau marketplace sering kali membawa dampak besar bagi penjual yang bergantung pada visibilitas produk mereka.
Misalnya, Etsy, pada 2019 memprioritaskan daftar produk dengan pengiriman gratis dan peringkat tinggi, yang menyebabkan banyak penjual kecil kehilangan visibilitas.
Penjual yang tidak mampu menawarkan pengiriman gratis karena margin keuntungan yang tipis melihat penurunan drastis dalam penjualan mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya adaptasi terhadap kebijakan baru untuk bertahan di tengah persaingan.
Kasus serupa terjadi pada Amazon pada 2018, ketika algoritma pencariannya mulai memprioritaskan produk yang membawa margin keuntungan lebih tinggi untuk Amazon, seperti label privat mereka.
Banyak penjual mandiri kehilangan posisi di halaman pertama pencarian meskipun memiliki ulasan yang baik, yang mengakibatkan penurunan penjualan. Situasi ini menekankan perlunya diversifikasi saluran distribusi agar tidak terlalu bergantung pada satu platform.
Sementara itu, eBay pada 2017 menghadirkan perubahan algoritma yang lebih mempromosikan produk dengan harga kompetitif dan pengiriman cepat. Ini berdampak pada penjual barang antik dan koleksi langka, yang sering kali memiliki karakteristik unik dan harga lebih tinggi.
Banyak dari mereka terpaksa mencari platform lain untuk menjual produknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman mendalam tentang algoritma dan kesiapan untuk menyesuaikan strategi adalah kunci untuk mempertahankan keberhasilan dalam ekosistem lokapasar yang terus berubah.
Kesuksesan instan
Bagi banyak pelaku UMKM, onboarding atau proses mendatangkan dan mempersiapkan pelanggan baru secara daring ke platform digital sering kali terasa seperti menggapai "pintu emas" menuju kesuksesan instan.
Sistem yang serbaotomatis, promosi masif, dan akses mudah ke jutaan konsumen adalah godaan yang sulit ditolak. Namun, ketergantungan pada satu platform menempatkan mereka di bawah kendali penuh algoritma, kebijakan, dan dinamika pasar yang tidak bisa mereka kendalikan.
Ketika algoritma berubah, pedagang kecil kehilangan visibilitas. Ketika platform memutuskan menaikkan biaya layanan atau komisi, margin keuntungan UMKM yang sudah tipis makin tergerus.
Kasus-kasus di mana pelaku UMKM tiba-tiba kehilangan akun karena alasan yang tidak jelas atau tidak punya akses untuk menegosiasikan kebijakan platform semakin sering terjadi. Ini adalah risiko nyata yang menjadi "bom waktu" bagi keberlanjutan usaha kecil yang tergantung pada satu pintu digital.
Kebergantungan ini tidak hanya melemahkan daya tawar UMKM, tetapi juga mengikis kemampuan mereka untuk membangun hubungan langsung dengan konsumen.
Sebagian besar pelanggan di platform e-commerce adalah "milik" platform, bukan pedagangnya.
Data konsumen, analisis perilaku, hingga strategi pemasaran sering kali terisolasi di dalam ekosistem platform, meninggalkan UMKM dalam situasi di mana mereka tidak punya kendali atas aset terpenting mereka yakni pelanggan.
Otonomi digital
Untuk mengatasi tantangan ini, UMKM perlu mengubah cara pandang mereka terhadap digitalisasi. E-commerce adalah salah satu alat, bukan tujuan akhir. Mengandalkan satu platform saja sama seperti membangun rumah di atas tanah yang bukan milik sendiri: rentan dan berisiko. Di sinilah pentingnya diversifikasi dan penguatan otonomi digital bagi UMKM.
Salah satu solusi strategis adalah memanfaatkan pendekatan omnichannel. UMKM dapat memadukan kehadiran mereka di berbagai platform e-commerce dengan membangun saluran penjualan langsung, seperti situs web independen, toko di media sosial, atau aplikasi pesan instan.
Dengan cara ini, mereka tidak hanya menyebar risiko, tetapi juga memperluas peluang untuk menciptakan hubungan langsung dengan konsumen.
Selain itu, literasi digital dan data menjadi kunci. UMKM perlu dilatih untuk memahami data konsumen yang mereka miliki dan memanfaatkannya untuk menciptakan pengalaman berbelanja yang lebih personal dan berkesan.
Teknologi seperti email marketing, retargeting ads, hingga penggunaan sistem CRM sederhana dapat membantu UMKM membangun loyalitas pelanggan tanpa harus selalu bergantung pada platform besar.
Pemerintah dan pelaku ekosistem digital juga perlu turun tangan lebih jauh. Kebijakan yang mendorong diversifikasi digital UMKM, insentif untuk pengembangan situs mandiri, hingga pelatihan literasi digital yang praktis menjadi kebutuhan mendesak.
Platform e-commerce pun perlu diajak untuk menciptakan ekosistem yang lebih inklusif dengan berbagi data yang relevan secara transparan kepada UMKM agar mereka bisa berkembang secara mandiri.
Onboarding digital bagi UMKM memang menawarkan potensi besar, tetapi harus dilihat sebagai perjalanan panjang, bukan sekadar solusi cepat. Ketergantungan pada satu platform adalah pedang bermata dua yang harus dihindari.
Dengan langkah-langkah strategis, diversifikasi, dan literasi yang memadai, UMKM tidak hanya bisa memanfaatkan teknologi untuk tumbuh, tetapi juga menjadi lebih tangguh dalam menghadapi dinamika pasar yang selalu berubah.
Digitalisasi adalah alat pemberdayaan, bukan perangkap. Jika dikelola dengan bijak, UMKM Indonesia bisa menjadi motor penggerak ekonomi digital yang mandiri, inovatif, dan berkelanjutan. Inilah saatnya para pelaku UMKM menguasai teknologi, bukan dikuasai oleh teknologi.
Editor: Achmad Zaenal M