Bangkok (ANTARA) - Fandi Andika Ramadhani menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wajahnya tertunduk dan terliputi, tapi muramnya tetap terasa begitu kental.
Pelatih timnas bola basket 3X3 putri Indonesia yang biasa dipanggil Rama itu itu duduk di kursi tribun paling bawah Stadion Nimibutr, yang paling dekat dengan setengah lapangan bola basket dengan satu ring. Jauh di hadapannya, empat atlet perempuan berjuang mati-matian untuk menang.
Priiitt....
Lengkingan peluit wasit itu langsung disertai suara gemuruh mencemooh dari warga Thailand yang memenuhi separuh stadion. Ditujukan pada Kimberley. Wajah Kim begitu kesal. Tubuhnya yang setinggi 183 centimeter menghantam dan menjatuhkan dua pemain Thailand sekaligus.
Dita langsung menghampiri Kim, mengatakan beberapa patah kata sambil memberikan gestur penenang bagi rekannya. Kim mengangguk.
Indonesia yang sempat unggul lima poin di awal pertandingan dengan waktu 10 menit itu terkejar oleh tim tuan rumah yang memiliki bantuan tambahan dari gemuruh memekakkan dari penonton. Thailand untuk pertama kalinya mampu menyamakan skor 8-8, dan bahkan sempat unggul satu poin menjadi 8-9. Benturan dan tabrakan antar pemain terus terjadi sampai skor imbang lagi tiga kali, 9-9, 10-10, dan 12-12.
Rama tidak bisa apa-apa di atas tribun. Peraturan FIBA 3x3 memang mengharuskan pelatih menyerahkan sepenuhnya strategi, siasat, taktik kepada keempat pemain jika sudah di atas lapangan. Dia sepenuhnya percaya kepada Dewa Ayu Made Sriartha Kusuma Dewi, Agustin Gradita Elya Retong, Kimberley Pierre-Louis, dan Evelyn Fiyo.
Kim melakukan blok keras terhadap upaya layup Rattiyakorn Udomsuk. Membuat pemain Thailand itu lagi-lagi terpental sampai jatuh, meringkuk kesakitan yang kemudian dihampiri rekan-rekannya. Tapi aksi Kim itu sah. Bukan pelanggaran.
Percaya diri kembali tampil pada Indonesia. Tim Garuda terbang lagi. Skor unggul lagi 18-13.
Tapi, olahraga adalah salah satu hal yang kerap tidak pasti. Tim Thailand kembali bangkit untuk mengejar. Skor jadi 20-18 di sisa 9 detik terakhir. Dan percobaan tembakan dua poin dilakukan oleh pemain Thailand, gagal, dan bola pantul dengan sigap ditangkap Ayu. Ayu memeluk bola erat-erat sampai menunggu waktu 1 detik menjadi nol.
Ayu melepaskan pelukannya pada bola, mengoper terakhir kalinya pada Dita, dan, waktu benar-benar habis. Ayu melompat, berteriak ke udara di dalam Stadion Nimbutr. Penantiannya bertahun-tahun akhirnya jadi nyata. 10 menit yang terasa seperti seumur hidup itu akhirnya selesai.
Skor berhenti di 20–18. Tak bertambah. Tak berkurang. Cukup untuk mengubah sejarah.
Indonesia resmi merebut medali emas basket 3x3 putri SEA Games 2025, tepat di hadapan publik tuan rumah Thailand, Kamis malam, di Stadion Nimibutr. Emas pertama sejak nomor 3x3 putri dipertandingkan di ajang SEA Games.
Empat pemain berkostum putih itu langsung menghambur satu sama lain, berpelukan. Dita, Ayu, Fiyo, dan Kim, jadi penulis sejarah lagi bagi bola basket putri Indonesia.
Di bangku tribun, Rama makin tenggelam dalam kedua telapak tangannya, menangis sampai bahunya bergetar. Yang kemudian, diakhirinya dengan sujud syukur tepat di bawah kursi tribun yang didudukinya.
Bagi Rama, emas ini adalah penantian panjang setelah pada 2023 tim yang dilatihnya hanya meraih perunggu di SEA Games 2023 Kamboja.
Kemenangan itu terasa lebih hebat karena datang bersama riwayat panjang kegagalan. Pada SEA Games 2019, Indonesia bahkan tak pernah mencium fase gugur, tiga kali kekalahan.
Dua edisi berikutnya, 2021 dan 2023, langkah mereka selalu terhenti di semifinal, menyisakan medali perunggu sebagai penghiburan kegagalan. Tapi, Bangkok adalah jawaban untuk mereka.
Perjalanan menuju final pun sempurna. Indonesia menaklukkan tim unggulan Filipina 21–15, mengatasi Malaysia 19–10, lalu menyingkirkan Vietnam 20–18 di semifinal. Tiga laga, tiga kemenangan yang tidak satu pun diberikan secara cuma-cuma.
Final melawan Thailand adalah ujian paling keras. Tekanan yang datang bertubi-tubi dari kontak fisik, dari teriakan penonton, dari setiap peluit yang memancing emosi.
Sesudahnya, lagu Indonesia Raya berkumandang di Nimibutr. Dita kesulitan menahan tangis. Yang pada akhirnya pecah juga. Kim, si pemain naturalisasi, menyanyikan Indonesia Raya dengan fasih. Hatinya sudah sepenuhnya untuk Indonesia.
Bagi Agustin Gradita Retong, emas ini bukan sekadar angka di tabel medali. Ia mempersembahkannya untuk Indonesia, terutama mereka yang sedang menghadapi bencana di tanah air.
“Semoga ini bisa jadi penghiburan,” ucapnya pelan, suaranya menahan getar.
Bagi Ayu, ini adalah mimpi yang akhirnya menemukan bentuk. “Ini sejarah,” katanya singkat, lalu tersenyum.
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi matanya berkata lebih banyak. Dia juga menyampaikan hal yang sama seperti Dita, emas ini ditujukan bagi masyarakat Indonesia yang terdampak bencana di Sumatera.
Ekspresi bahagia, yang sejak tadi tidak ada habis-habisnya seketika hilang di wajah Ayu ketika dia menyebut Sumatera. Suaranya berubah memelan dan menunduk. Hatinya, masih tertingggal di Indonesia untuk saudara-saudara sebangsa.
Dan Rama, entah sudah berapa kali menangis. Emas ini penantian dari perjalanan panjang yang tak selalu lurus. Tentang kepercayaan. Tentang peran yang dijalankan tanpa saling menonjolkan diri. Tentang bermain keras, tapi tetap dengan hati.
Pada 2023 di Phnom Penh Kamboja, nama-nama yang sama mencetak sejarah untuk pertama kalinya Timnas Bola Basket 5 on 5 Indonesia mencetak sejarah emas, dua tahun setelahnya di Bangkok, nama-nama yang sama kembali menulis sejarah untuk Timnas Bola Basket 3x3 Putri Indonesia.
Mereka hebat. Tanpa drama. Tanpa "gimmick". Tanpa intrik politik. Tanpa bising hujatan saling menyalahkan. Mereka melakukannya. Dengan kerja keras. Dengan setulus hati.
