Tak bisa dielakkan kesan bahwa pemahaman kebudayaan selama ini lebih berasosiasi dengan nilai-nilai nonfisik sehingga mengaitkan apa yang kini sedang digencarkan Presiden Joko Widodo perihal pembangunan infrastruktur dengan kebudayaan terasa mengada-ada.
Namun, jika kebudayaan dipahami sebagai suprastruktur yang mengatasi segala aspek pembangunan di berbagai bidang, kaitan keduanya begitu jelas dan nyata adanya.
Bahkan sesungguhnya kebudayaan yang paling awal dalam kehidupan manusia berkaitan dengan benda-benda semacam batu, kayu, logam, kulit, lontar dan sebagainya.
Jejak-jejak kebudayaan yang paling awal manusia ditemukan pada batu-batu, baik sebagai bentuk ekspresi pikiran macam batu menhir maupun sebagai peranti untuk melangsungkan kehidupan mereka yang paling simpel saat itu.
Dalam perkembangannya, kebudayaan itu pun melahirkan makna sempitnya yang mengerucut pada semua aktivitas yang berlingkup pada kesenian. Maka lahirnya budayawan yang tak lain adalah mereka yang punya kepakaran dalam dunia pemikiran kesenian, dengan berbagai ramifikasinya, bisa dimaklumi.
Kini Indonesia dipimpin oleh seorang kader politik dengan latar belakang pendidikan ilmu kehutanan, yang sebagian masa hidupnya juga diisi dengan pengalaman kerja yang berhubungan dengan perkayuan.
Sepintas, tak ada citra seni tinggi dalam pekerjaan tukang kayu. Namun, kesan demikian harus segera dikubur. Kenapa? Sebab, urusan estetika begitu nisbi, tak sesubstansial urusan kegunaan. Hanya beberapa orang dalam kelompok minortas yang membeli kursi dengan memasukkan aspek estetika tapi, mayoritas membelinya karena urusan esensi kegunaannya.
Dalam masyarakat Indonesia yang masih direpotkan oleh urusan penciptaan kesejahteraan yang masif seperti sekarang ini, pilihan sang Presiden dengan mengonsentrasikan pembangunan pada infrastruktur pada dasarnya merupakan pilihan kebudayaan yang esensial.
Ada gagasan kebudayaan yang melandasinya di sana. Meskipun ada yang mengkritiknya dan meminta Jokowi tidak menghabiskan dana pembangunan untuk infrastruktur, sang Presiden tetap konsisten dengan pilihannya.
Sebagai presiden dari keluarga tukang kayu, bukan kalangan birokrat atau pangreh praja yang makan dari gaji negara, agaknya kesadaran Jokowi dibentuk oleh moralitas pekerja, yang makan dari perasan peluhnya sendiri. Logika ekonominya cukup simpel: bahwa perdagangan barang-barang harus ditopang oleh sarana dan prasarana.
Semakin lengkap dan nyaman ketersediaan sarana dan prasarana itu, semakin lancarlah roda perputaran barang dan jasa dalam dunia perdagangan.
Seorang pekerja seni, Martin Aleida, sempat mengeluarkan uneg-unegnya tentang kehidupan urban Jakarta. Katanya, peradaban yang dibangun manusia kini sedang lumpuh menuju kebinasaannya. Itu dia ucapkan berhubungan dengan terjadinya kemacetan di mana-mana, apalagi di musin hujan yang disertai banjir di mana-mana.
Kemakmuran yang diraih orang-orang dengan memiliki mobil pribadi justru melahirkan jalan buntu yang hanya melahirkan frustasi bekepanjangan di sepanjang jalan yang merambat bagaikan keong atau siput berjalan.
Untuk menjebol kebuntuan peradaban urban itulah Jokowi hadir dengan visi kebudayaannya yang berangkat dari pembangunan infrastruktur. Perempatan-perempatan jalan Jakarta yang menjadi simpul kemacetan mulai dijebol dengan membangun jembatan layang sekaligus jalan terowongan.
Transportasi masal bawah tanah atau transportasi cepat ringan jalur rel pun dibangun. Ada sementara suara ekonom yang pesismistis bahwa tak semua pembangunan infrastruktur itu akan memberikan sumsangsih yang sepadan dengan nilai biaya yang dikeluarkan. Namun pesimisme itu harus dipinggirkan untuk mengejar visi kebudayuaan yang lebih menjanjikan bahwa semua pembangunan infrastruktur itu adalah investasi masa depan untuk membuat hidup lebih nyaman dan mudah bagi warga yang akan menikmatinya, baik secara langsung maupun tak langsung.
Ketika kelak semua pembangunan infrastruktur itu sudah beroperasi dan dinikmati warga, pola pikir pun perlu ditata dengan benar untuk menghindari pola pikir yang sempit. Artinya, makna jalan-jalan layang, terowongan bawah tanah, yang membuat jutaan warga menggunakan secara langsung jasa transportasi masal itu, harus dilihat sebagai produk kebudayaan yang manfaatnya bahkan dirasakan oleh warga negara yang tinggal di desa-desa.
Bagaimana bisa begitu? Beginilah logika berpikirnya: Ketika salah satu anggota keluarga di sebuah perdesaan hijrah meninggalkan desanya untuk mencari penghidupan di Jakarta, saat itulah makna infrastruktur ibu kota memberikan andil pada keluarga di desa karena setiap hari anggota keluarga dari desa itu menggunakan jasa transportasi masal itu, yang memungkinkan sang pengguna jasa transportasi itu bisa mengirim sebagian dari penghasilannya untuk keluarga mereka di desa.
Infrastruktur yang memberikan kemanfaatan dan kemudahan dalam hidup adalah produk kebudayaan yang signifikan. Dengan jaringan infrastruktur yang mematahkan kebuntuan dan mengurai kemacetan lalu lintas urban itulah salah satu vaiabel yang hendak memunahkan peradaban kota sebagaimana dikeluhkan Martin Aleida telah tercipta.
Tentu kebudayaan tidak berhenti di situ. Kemudahan dalam bentuk fisik itu perlu menopang sistem nilai yang menjadi ciri lain kehidupan berbudaya yakni disiplin dalam berperilaku layaknya orang-orang beradab berperilaku. Kultur mengantre, menjaga kebersihan, merawat apa yang sudah ada harus mengiringi terbangunnya infrastruktur yang ada.
Mulai dari sana pula selera estetika warga kota juga perlu dibentuk. Setelah infrastruktur yang melandasinya terbentang dari ujung kota hingga ujung yang lain, saatnya memberikan wadah bagi kreator-kreator anak bangsa mengisi ruang publik dengan berbagai imajinasi seni tinggi mereka. Itulah jejak yang akan ditinggalkan oleh anak tukang kayu setelah menyelesaikan tugas besarnya memimpin negeri ini kelak.