Peraih Nobel ultimatum Suu Kyi

id Aung San Suu Kyi

Peraih Nobel ultimatum Suu Kyi

Dokumen: Aktivis Kaum Profesional bagi Kemanusiaan Rohingya membentangkan poster bergambar Penasehat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi saat beraksi di depan Kedutaan Besar Myanmar, Jakarta, (Foto Antara)

Kalau dia tidak bisa (menghentikan kekerasan), pilihan bagi dia adalah jelas: mengundurkan diri atau harus diadili, bersama para komandan tentara, atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan
Dhaka, Bangladesh (Antaranews Sulteng) - Tiga peraih hadiah Nobel Perdamaian, Rabu, memberi ultimatium dan mendesak pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan militer negara itu mengakhiri pemusnahan muslim Rohingya sekarang, atau ia diadili.
  
PBB dan badan pembela HAM mengumpulkan bukti menyangkut kekerasan luas, yang dilancarkan militer Myanmar terhadap banyak warga Rohingya, yang tidak memiliki kewarganegaraan, dan menyebut tindakan militer itu pembersihan suku.

Kekerasan itu termasuk pembunuhan, pemerkosaan serta pembakaran dan memaksa hampir 700.000 warga Rohingya lari menyelamatkan diri ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh.

"Dia (Suu Kyi) harus berhenti berlagak tuli atas penyiksaan warga Rohingya atau ia terancam dianggap terlibat dalam kejahatan itu," kata pegiat Yaman, Tawakkol Karman, dalam jumpa pers di Dhaka setelah mendatangi tempat penampungan pengungsi di Cox's Bazar, di ujung selatan Bangladesh.

"Bangunlah atau akan menghadapi tuntutan," kata Karman, yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2011.

Suu Kyi adalah penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1991 karena ia dianggap berjasa memperjuangkan demokrasi selama berpuluh-puluh tahun.

"Kalau dia tidak bisa (menghentikan kekerasan), pilihan bagi dia adalah jelas: mengundurkan diri atau harus diadili, bersama para komandan tentara, atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan," tambah Karim.

Sejak muncul ke kursi kekuasaan pada 2016, Suu Kyi belum mengeluarkan kecaman atas kekerasan terhadap warga Rohingya. Kekerasan mulai terjadi pada 25 Agustus tahun lalu setelah para pemberontak menyerang pos-pos polisi dan militer.

Myanmar, yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, membantah tuduhan melakukan kekerasan dan mengatakan bahwa pasukan keamanannya bertempur untuk menjalankan operasi legal terhadap para "teroris", yang dianggapnya bersalah menyerang pasukan keamanan.

Pegiat hak asal Irlandia Utara, Mairead Maguire, mengatakan ia mendengar ada sejumlah perempuan yang diperkosa berkali-kali, keluarga-keluarga yang dibunuhi dan cerita-cerita soal anak-anak yang dilemparkan ke api dan ditenggelamkan di sungai.

"Penyiksaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap siapa pun anggota keluarga kemanusiaan kita harus ditentang, seperti dalam kasus genosida (pembersihan etnis) Rohingya," kata Maguire, yang meraih Nobel perdamaian pada 1976.

"Ini adalah genosida. Kita tidak bisa tinggal diam. Diam berarti terlibat," katanya tegas.
Para penerima Nobel itu mendesak pelaku kekerasan diseret ke Mahkamah Kejahatan Internasional.

"Lebih dari satu juta warga Rohingya kehilangan tempat tinggal, banyak yang meninggal atau hilang, dan p
emerkosaan serta kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang, sudah saatnya masyarakat internasional segera bertindak," kata pengacara asal Iran, Shirin Ebadi, yang pada 2003 menjadi perempuan Muslim pertama yang dianugerahi hadiah Nobel perdamaian.

Ketika menjawab pertanyaan, Tawakkol Karman mengatakan ketiga peraih Nobel perdamaian itu telah berencana untuk mendatangi Myanmar. Karman mengatakan mereka telah mengirim sejumlah pesan kepada rekan mereka, Suu Kyi, namun pesan-pesan itu tidak pernah dibalas.

"Kami perlu tahu apa yang sedang terjadi di sana," katanya.