Jakarta (ANTARA) - Jaringan gerakan aktivis muda Aliansi Teh Susu (Milk Tea Alliance) di Indonesia mendorong Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil beberapa langkah terkait situasi yang berkembang di Myanmar menyusul kudeta 1 Februari lalu.
Dalam aksi malam solidaritas yang diselenggarakan di depan gedung Sekretariat ASEAN di Jakarta, Jumat, Aliansi tersebut mengecam junta militer Myanmar dan meminta negara-negara anggota ASEAN, Dewan Keamanan PBB, serta Komisioner Tinggi HAM PBB untuk “segera menentukan sikap secara tegas dan jelas untuk berdiri bersama rakyat Myanmar dan mendorong upaya luar negeri untuk mengembalikan kekuasaan kepada rakyat Myanmar.”
Mereka juga mendorong agar badan-badan internasional tersebut menggunakan mekanisme, baik dari segi regional maupun internasional, untuk mendesak junta militer Myanmar melepaskan para tahanan, termasuk dari Partai NLD dan organisasi masyarakat sipil, serta menyatukan kesepakatan global untuk menerapkan sanksi “yang keras dan berat untuk institusi militer Myanmar.”
Desakan terkait perlindungan bagi warga sipil juga turut disuarakan, dengan menyerukan semua pihak untuk menghentikan aksi militer dan tindak kekerasan kepada warga yang melakukan protes.
“Perlindungan termasuk pemulihan psikologis, terutama kepada etnis minoritas, kelompok pemuda, jurnalis, perempuan dan anak. Lindungi mereka untuk dapat bebas berekspresi, berkomunikasi, dan menyelamatkan diri dari pembunuhan dan penembakan,” seru jaringan itu.
“Dibutuhkan tanggapan segera, karena dunia sedang menyaksikan.”
Seperti dilaporkan sebelumnya oleh Reuters, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (10/3), mengutuk kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Myanmar dan mendesak militer untuk menahan diri.
Namun, para negara anggota Dewan Keamanan tidak berhasil mencapai kesepakatan untuk menyebut pengalihan pemerintahan Myanmar oleh militer sebagai kudeta.
Dewan juga gagal mengeluarkan ancaman lebih lanjut terhadap junta Myanmar karena China dan Rusia menentang langkah itu.
Sejak pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi dikudeta pada 1 Februari, sudah lebih dari 60 pengunjuk rasa tewas dan sekitar 2.000 orang ditahan oleh pasukan keamanan, kata kelompok pembela Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Baca juga: DPR: pertemuan Menlu Asean langkah strategis terkait Myanmar
Baca juga: Penggunaan kekerasan oleh militer Myanmar disebut telah terkoordinasi