Palu (ANTARA) - Sulawesi Tengah, Maju, Mandiri dan Berdaya Saing menjadi visi Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola pada priode 2016-2021. Sejumlah kalangan menilai bahwa visi tersebut masih relevan dengan visi panjang Indonesia maju, hebat di tahun 2045.
Pendapatan negara pada 2045 nanti diprediksi naik menjadi sekitar 7 triliun dolar AS dan pendapatan perkapita sekitar 23 ribu dolar AS, meningkat sebesar 19 ribu dolar AS dari 4 ribu dolar AS pada 2019.
Prestasi ini diprediksi memosisikan ekonomi Indonesia berada pada peringkat kelima dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Brasil.
Siapapun yang menjadi Gubernur Sulawesi Tengah hasil Pilkada 2020 atau 2021 menggantikan Gubernur Longki Djanggola, maka visi yang dibangun sepatutnya tetap berorientasi menuju sebuah kemajuan. Yang akan membedakan adalah bagaima skenario atau strategi serta program kerja lima tahun (RPJMD) dari program kerja satu tahun (RKPD) Gubernur-Wakil Gubernur terpilih.
Evaluasi kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas dalam lomba Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) 2020, wakil dari Pulau Sulawesi menyisahkan dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tengah yang berada di kelompok 20 besar dan Sulawesi Utara berada di kelompok 10 besar dari 34 Provinsi yang divevaluasi.
Berdasarkan 24 capaian indikator yang dievaluasi, setidaknya ada tiga indikator yang dinilai kurang dan menjadi kelemahan provinsi ini yaitu angka ketimpangan yang lebar; kemiskinan yang tinggi serta kebijakan fiskal daerah yang dinilai kurang menunjang pembangun kinerja ekonomi masyarakat.
Baca juga: COVID-19 sebagai motivasi dan referensi re-disain tatakelola (I)
Baca juga: COVID-19, sebagai motivasi dan referensi re-disain tatakelola (II-habis)
Rasio gini dan indeks Wiliamson, dua variabel yang dievaluasi untuk mengukur ketimpangan. Nilai rasio gini menggambarkan ketimpangan pendapatan antarindividu dalam satu wilayah.
Pada tahun 2019 angka rasio gini Sulawesi Tengah relatif sedang yaitu sekitar 0,31, berada di bawah angka nasional dan cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Sedangkan indeks Wiliamson menggambarkan ketimpangan pendapatan perkapita antarwilayah atau kabupaten/kota. Tahun 2019 Indeks Wiliamson Sulteng 0,56, berada di atas nasional, meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun.
Dr Ir H hasanuddin Atjo, MP (ANTARA/HO-Dokumen pribadi)
Pendapatan perkapita di tahun 2019 berada pada rentang nilai Rp29 juta sampai dengan Rp170 juta perkapita per tahun. Kemiskinan di tahun 2019 sekitar 13,18 persen, jauh berada di atas rata-rata Nasional yaitu sekitar sembilan persen.
Selain angka kemiskinan, rata-rata kedalaman kemiskinan provinsi ini cukup besar, yang menggambarkan persentase yang berada jauh di bawah angka garis kemiskinan relatif besar.
Demikian halnya dengan tingkat keparahan kemiskinan yang digambarkan oleh jomplangnya persentase jumlah orang miskin yang mendekati garis kemiskinan dan yang jauh dibawah garis kemuskinan juga semakin lebar.
Kedalaman maupun keparahan kemiskinan inikah menjadi salah satu sebab lambatnya penurunan angka kemiskinan di provinsi ini, yang selama priode 2015-2019 hanya turun sebesar 1,2 persen.
Baca juga: Skenario pengembangan sektor pangan Sulteng hadapi dampak pandemi COVID-19
Kondisi kebijakan fiskal Sulawesi Tengah tahun 2019 dinilai belum maksimal mendorong kinerja ekonomi masyarakat. APBD Sulteng tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp4,3 triliun dengan rincian belanja langsung sebesar Rp2,4 triliun dan belanja tidak langsung sebesar Rp1,8 trilun. Idealnya dalam kebijakan fiskal, belanja langsung lebih kecil dari belanja tidak langsung.
Belanja langsung adalah kegiatan belanja daerah yang dianggarkan dan berhubungan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah daerah, terdiri belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Sedangkan belanja tidak langsung adalah kegiatan belanja daerah yang dianggarkan tidak memiliki hubungan langsung dengan program dan kegiatan. Terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan serta belanja tidak terduga.
Ada dua faktor yang menyebabkan belanja langsung lebih besar dari belanja tidak langsung. Pertama adalah regulasi undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang kewenangan Pemerintah Daerah. Regulasi ini menyebabkan urusan di bidang pendidikan khususnya pendidikan menengah atas, urusan pertambangan dan energi, urusan kelautan serta urusan kehutanan dilimpahkan ke provinsi.
Kedua, pemulihan ekonomi Sulteng pascabencana gempa, tsunami dan liquifaksi yang terjadi pada 28 September 2018 ikut memperbesar belanja langsung antara lain untuk belanja infrastruktur kewenangan pemerintah yang harus dibangun atau diperbaiki.
Karena itu diperlukan skenario, dan program kerja bagaimana keluar dari tantangan sebuah kemajuan agar Provinsi Sulawesi Tengah pada saatnya nanti bisa menjadi bagian dari Indonesia Maju, dan Indonesia Hebat tahun 2045. Selamat Idhul Fitri 1441 H, mohon maaf lahir bathin. (*Kepala Bappeda Sulteng)
Baca juga: Memutus mata rantai kemiskinan
Kepala Bappeda Sulteng, Hasanuddin Atjo (kiri) menyerahkan formulir pendaftaran Bakal Calon Gubernur Sulteng yang sudah ia isi kepada Wakip Ketua DPD Golkar Sulteng, Refli Maramis (kanan) di Sekretariat DPD Golkar Sulteng di Palu, Jumat (18/10/2019). ANTARA/Muhammad Arsyandi/pri.
Pendapatan negara pada 2045 nanti diprediksi naik menjadi sekitar 7 triliun dolar AS dan pendapatan perkapita sekitar 23 ribu dolar AS, meningkat sebesar 19 ribu dolar AS dari 4 ribu dolar AS pada 2019.
Prestasi ini diprediksi memosisikan ekonomi Indonesia berada pada peringkat kelima dunia setelah China, Amerika Serikat, India dan Brasil.
Siapapun yang menjadi Gubernur Sulawesi Tengah hasil Pilkada 2020 atau 2021 menggantikan Gubernur Longki Djanggola, maka visi yang dibangun sepatutnya tetap berorientasi menuju sebuah kemajuan. Yang akan membedakan adalah bagaima skenario atau strategi serta program kerja lima tahun (RPJMD) dari program kerja satu tahun (RKPD) Gubernur-Wakil Gubernur terpilih.
Evaluasi kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas dalam lomba Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) 2020, wakil dari Pulau Sulawesi menyisahkan dua provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tengah yang berada di kelompok 20 besar dan Sulawesi Utara berada di kelompok 10 besar dari 34 Provinsi yang divevaluasi.
Berdasarkan 24 capaian indikator yang dievaluasi, setidaknya ada tiga indikator yang dinilai kurang dan menjadi kelemahan provinsi ini yaitu angka ketimpangan yang lebar; kemiskinan yang tinggi serta kebijakan fiskal daerah yang dinilai kurang menunjang pembangun kinerja ekonomi masyarakat.
Baca juga: COVID-19 sebagai motivasi dan referensi re-disain tatakelola (I)
Baca juga: COVID-19, sebagai motivasi dan referensi re-disain tatakelola (II-habis)
Rasio gini dan indeks Wiliamson, dua variabel yang dievaluasi untuk mengukur ketimpangan. Nilai rasio gini menggambarkan ketimpangan pendapatan antarindividu dalam satu wilayah.
Pada tahun 2019 angka rasio gini Sulawesi Tengah relatif sedang yaitu sekitar 0,31, berada di bawah angka nasional dan cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Sedangkan indeks Wiliamson menggambarkan ketimpangan pendapatan perkapita antarwilayah atau kabupaten/kota. Tahun 2019 Indeks Wiliamson Sulteng 0,56, berada di atas nasional, meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun.
Pendapatan perkapita di tahun 2019 berada pada rentang nilai Rp29 juta sampai dengan Rp170 juta perkapita per tahun. Kemiskinan di tahun 2019 sekitar 13,18 persen, jauh berada di atas rata-rata Nasional yaitu sekitar sembilan persen.
Selain angka kemiskinan, rata-rata kedalaman kemiskinan provinsi ini cukup besar, yang menggambarkan persentase yang berada jauh di bawah angka garis kemiskinan relatif besar.
Demikian halnya dengan tingkat keparahan kemiskinan yang digambarkan oleh jomplangnya persentase jumlah orang miskin yang mendekati garis kemiskinan dan yang jauh dibawah garis kemuskinan juga semakin lebar.
Kedalaman maupun keparahan kemiskinan inikah menjadi salah satu sebab lambatnya penurunan angka kemiskinan di provinsi ini, yang selama priode 2015-2019 hanya turun sebesar 1,2 persen.
Baca juga: Skenario pengembangan sektor pangan Sulteng hadapi dampak pandemi COVID-19
Kondisi kebijakan fiskal Sulawesi Tengah tahun 2019 dinilai belum maksimal mendorong kinerja ekonomi masyarakat. APBD Sulteng tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp4,3 triliun dengan rincian belanja langsung sebesar Rp2,4 triliun dan belanja tidak langsung sebesar Rp1,8 trilun. Idealnya dalam kebijakan fiskal, belanja langsung lebih kecil dari belanja tidak langsung.
Belanja langsung adalah kegiatan belanja daerah yang dianggarkan dan berhubungan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah daerah, terdiri belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Sedangkan belanja tidak langsung adalah kegiatan belanja daerah yang dianggarkan tidak memiliki hubungan langsung dengan program dan kegiatan. Terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan serta belanja tidak terduga.
Ada dua faktor yang menyebabkan belanja langsung lebih besar dari belanja tidak langsung. Pertama adalah regulasi undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang kewenangan Pemerintah Daerah. Regulasi ini menyebabkan urusan di bidang pendidikan khususnya pendidikan menengah atas, urusan pertambangan dan energi, urusan kelautan serta urusan kehutanan dilimpahkan ke provinsi.
Kedua, pemulihan ekonomi Sulteng pascabencana gempa, tsunami dan liquifaksi yang terjadi pada 28 September 2018 ikut memperbesar belanja langsung antara lain untuk belanja infrastruktur kewenangan pemerintah yang harus dibangun atau diperbaiki.
Karena itu diperlukan skenario, dan program kerja bagaimana keluar dari tantangan sebuah kemajuan agar Provinsi Sulawesi Tengah pada saatnya nanti bisa menjadi bagian dari Indonesia Maju, dan Indonesia Hebat tahun 2045. Selamat Idhul Fitri 1441 H, mohon maaf lahir bathin. (*Kepala Bappeda Sulteng)
Baca juga: Memutus mata rantai kemiskinan