Palu (antarasulteng.com) - Tujuh orang lelaki berusia antara 20 sampai 30 tahun melintas saling mengikut di bawah pepohonan kakao yang rimbun. Bercelana pendek dan baju kaos agak lusuh serta parang panjang dalam sarungnya yang menggantung di pinggang masing-masing, para lelaki itu menyusuri jalan setapak sambil memikul karung berisi beras rata-rata 10 liter.

Saat berpapasan dengan tim dari Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) yang baru saja memulai penanaman bibit di lahan budidaya rotan di desa itu, para lelaki tersebut berhenti dan dengan malu-malu menjawab beberapa pertanyaan.

"Kami mau ke naik gunung mencari rotan pak," tutur Jeremias, seorang lelaki dewasa yang tampaknya menjadi pemimpin rombongan pemungut rotan dari Desa Walatana, Kecamatan Dolo Selatan, sekitar 45 kilometer selatan Kota Palu itu baru-baru ini.

Mereka akan menempuh perjalan sekitar tiga jam lagi untuk mencapai sebuah kawasan di atas pegunungan Nokilalaki guna bergabung dengan belasan rekan mereka yang masih berada di hutan untuk memungut rotan.

"Rombongan kami semua ada 20-an orang. Kami ini turun hanya untuk mengambil bekal," kata seorang rekan Jeremias sambil menunjukkan karung beras berisi 10 literan yang tetap bertengger di punggungnya.

Tidak tampak ada lauk-pauk yang dibawa pencari rotan yang tinggal di kaki pegunungan Nokilalaki ini.

"Kami makan nasi dengan umbut (tunas muda rotan). Kalau ingin makan daging tinggal tangkap burung atau binatang lainnya di hutan," ujar Jeremias lagi.

Mereka mengaku naik gunung mencari rotan untuk mencari penghasilan tambahan karena saat ini tidak sedang musim berkebun di desanya.

Dalam sebulan, masing-masing orang bisa memungut dua ton rotan mentah. Rotan itu kemudian ditarik (diilir) ke kampung melalui sebuah sungai kecil untuk dijual kepada penampung dengan harga rata-rata Rp1.200/kg.

"Lumayan pak untuk membiayai keluarga dan anak-anak yang masih sekolah," kata Jeremias yang pekerjaan utamanya adalah petani sawah itu.

Sekarang, katanya, mereka harus mendaki pegunungan antara tiga sampai empat jam untuk mendapatkan lokasi yang populasi rotannya masih cukup padat.

Mereka harus berjalan jauh untuk mendapatkan rotan karena hutan di situ sudah banyak yang rusak. Sementara itu, harga rotan di tingkat penampung tidak naik-naik.

"Namun kami terpaksa harus masuk hutan memungut rotan karena tidak ada alternatif lain untuk mencari tambahan penghasilan saat sedang tidak musim bersawah," ujar Safruddin, seorang warga Desa Walatana lainnya yang mengaku bisa mengantongi Rp600 ribu dalam sepekan dari mencari rotan.

Margin rendah

Ketua Pusat Inovasi Rotan Nasional (Pirnas) Prof Dr Tanra Tellu mengakui bahwa penghasilan pemungut rotan tersebut sangat minim sementara lokasi untuk mencari rotan kian jauh dan medannya semakin sulit.

Hal ini menyebabkan minat mereka mencari rotan semakin menurun, padahal kebutuhan akan rotan bagi industri masih tetap tinggi.

Menurut guru besar pertanian dari Universitas Tadulako Palu itu, margin yang diterima petani pemungut rotan dalam siklus bisnis rotan hanya 2,74 persen, jauh di bawah margin yang diterima pengumpul yang mencapai 11,4 persen dan industri 24 persen.

"Karena itu, kalau mau memperbaiki penghasilan petani pemungut rotan, maka harus ada keberpihakan pemerintah untuk menggeser kegiatan penggorengan rotan dari pihak industri kepada pemungut rotan," ujarnya.

Kalau usaha pengeringan sampai penggorengan rotan bisa ditangani pemungut, maka margin untuk mereka akan naik sehingga memungut rotan bisa diandalkan sebagai mata pencaharian untuk mengentaskan masyarakat dari kungkungan kemiskinan.

Masalahnya adalah perotan di pedesaan tidak mempunyai `skill` yang memadai dan modal yang cukup untuk mengadakan dan mengoperasikan peralatan penggorengan rotan.

"Di sini perlunya peran pemerintah untuk membantu para perotan dalam pengadaan sarana dan bahan penggorengan serta pelatihan dalam mengolah rotan mentah," ujarnya.

Sejauh ini, kata Tanra Tellu, upaya pemerintah ke arah ini belum tampak. Tidak heran kalau keadaan ekonomi para perotan begitu-begitu saja, bahkan tidak sedikit mereka yang masih berkategori keluarga miskin.

Budidaya rotan

Kondisi prihatin yang dialami para pemungut rotan tersebut mendapat perhatian dari Perkumpulan Untuk Pengembangan Usaha Kecil (PUPUK) Indonesia.

Dengan dukungan finansial Uni Eropa, PUPUK membentuk sebuah proyek yang disebut Prospect (Promoting Sustainable Consumption and Product Eco Friendly Rattan) Indonesia untuk membagun unit pembibitan rotan dan lahan budidaya yang sasaran akhirnya adalah mensejahterakan para perotan dan mempromosikan pengembangan industri rotan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (eco-friendly).

Prospect Indonesia kemudian membangun lokasi perbenihan rotan dan lahan budidaya sebagai percontohan di tiga provinsi yakni Aceh dan Kalimantan Tengah serta Sulawesi Tengah, yakni di Desa Walatana, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.

Project Officer Prospect Indonesia Sulawesi Tengah Muhammad Arif Sutte mengemukakan bahwa kebun bibit rotan di Desa Walatana sudah dimulai awal 2013 dan kini sudah berhasil menyemaikan 16.000 pohon rotan dari berbagai jenis, sebagian di antaranya sudah bisa ditanam.

Sekitar 2.000 pohon dari bibit tersebut akan ditanam di kebun percontohan seluas dua hektare yang akan dikelola bersama antara Prospect dan masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Nokilalaki, Desa Walatana. Bibit lainnya akan disebarkan kepada pihak-pihak yang berminat namun serius untuk mengembangkan budidaya rotan, baik secara pribadi maupun organisasi (perusahaan atau kantor pemerintah).

"Tentu para pemohon bibit ini harus memberikan kontribusinya. Kami tidak memperdagangkan bibit ini. Kami hanya meminta partisipasi untuk dikembalikan kepada kelompok tani bagi kesejahteraan mereka," ujar Arif Sutte.

Eksploatasi rotan pada dekade 90-an, katanya, sangat masif sehingga pemungutannya di hutan tak terkendali dan tidak disertai upaya pelestarian sehingga potensi rotan semakin langka dan lokasi pengambilannya semakin jauh di dalam hutan sehingga semakin kurang menarik bagi masyarakat untuk memanfaatkannya.

"Dengan sistim budidaya ini, kami harapkan populasi rotan akan bertambah, lokasi pemungutannya semakin dekat sehingga ke depan, rotan akan tetap menjadi sumber penghidupan yang bisa diandalkan untuk mensejahterakan masyarakat, terutama para pengumpul rotan di perdesaan," ujar Arif.

Wakil Ketua Forum Kolaborasi Rotan Ramah Lingkungan Sulawesi Tengah Dr Nur Sangaji, DEA memuji upaya PUPUK melalui Prospect-Indonesia yang mengembangkan pembibitan rotan dan membangun kebun percontohan sistem budidaya rotan di Kabupaten Sigi.

Sekalipun proyek ini masih berskala kecil namun dampaknya akan luas karena akan mengubah paradigma berpikir bahwa kini saatnya rotan diperoleh dari hasil budidaya, bukan dari hutan bebas yang jumlahnya kian terbatas.

Budidaya rotan ini, kata Nur Sangaji, memiliki manfaat berganda baik secara ekonomi maupun pelestarian lingkungan. Alasannya, bila menanam rotan, maka hutan pasti terjaga karena rotan tidak bisa tumbuh tanpa kayu (tempat menjalar). Dengan demikian, manfaat ekonominya berlipat ganda karena masayarakat akan memanen rotan dan juga kayunya secara lestari.

"Sedangkan bila kita terus mengandalkan rotan hasil perburuan di hutan bebas, maka sedikit demi sedikit, kayunya akan ikut ditebang sehingga hutan semakin terdegradasi," ujarnya.

Sedangkan Ketua Pirnas Patta Toppe memberikan apresiasi kepada Pupuk dan Uni Eropa yang tertarik menseriusi pengembangan pembibitan rotan dan pembudidayaannya secara berkesinambungan.

Alasannya, untuk pembibitan saja, dibutuhkan waktu paling sedikit 18 bulan baru bibit rotan memenuhi syarat untuk ditanam. Setelah ditanam, dibutuhkan waktu pemeliharaan sampai 7 tahun baru bisa dipanen.

"Karena itu, program seperti ini tidak bisa mengandalkan pemerintah yang tergantung pada anggaran yang dikelola mengikuti tahun anggaran. Sudah pernah dicoba di Kabupaten Parigi Moutong oleh Dinas Kehutanan SUlteng, namun karena alokasi anggarannya hanya satu tahun, maka kegiatannya gagal," ujarnya.  (R007)


Pewarta : Rolex Malaha
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024