Jakarta (ANTARA) - Nagorno-Karabakh atau Artsakh, hanyalah sebuah kawasan berbukit seluas 4.400km persegi di wilayah Kaukasus selatan yang dihuni oleh sekitar 150.000 penduduk, yang lebih dari 90 persen adalah etnis Armenia.

Namun wilayah yang sedikit lebih luas dari Yogyakarta itu (3.185,80 km persegi) itu secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Secara de facto, sejak Nagorno-Karabakh yang memiliki pemerintah otonomi sejak 1988 dan dikuasai oleh etnis Armenia, berada di luar kendali Baku.

Kawasan itulah yang diperebutkan dan menjadi biang konflik puluhan tahun antara Armenia dan Azerbaijan, serta sering memicu kontak senjata antara kedua negara bertetangga bekas Uni Soviet itu.

Perang terakhir dalam skala besar yang telah merenggut ribuan nyawa dan ribuan lain kehilangan tempat tinggal, meletus pada akhir September 2020 setelah sebelumnya diawali dengan letupan-leputan berskala lebih kecil.
 

Kali ini apa yang menjadi pemicu sehingga kedua negara itu kembali berperang? Jawabannya akan tergantung kepada pihak mana pernyataan tersebut diajukan.

Versi Armenia, pihak Azerbaijan-lah yang lebih dulu melancarkan serangan, sementara Azerbaijan berdalih bahwa serangan yang mereka lakukan hanyalah sebagai bentuk mempertahankan diri.

Melihat perjalanan sejarah, konflik yang terjadi sekarang ini tidak lain merupakan warisan yang ditinggalkan dari pemimpin Uni Soviet era Joseph Stalin.pada 1923. Pada awalnya, diputuskan bahwa Nagorno Karabakh akan menjadi bagian dari Armenia .

Tapi tanpa secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, Stalin yang menjabat sebagai komisaris Kebangsaan Baru Soviet, membatalkan keputusan tersebut. Dan pada 1923 Nagorno-Karabakh secara resmi menjadi wilayah administratif otonom dari Azerbaijan, meski 94 persen penduduknya pada saat itu adalah etnis Armenia.

Meskipun etnis Armenia mengeluh bahwa Azerbaijan membatasi otonomi mereka dan mengklaim Azerbaijan mendiskriminasi mereka, Stalin tidak memberikan toleransi terhadap nasionalisme etnis dan mengabaikan berbagai protes terhadap status quo untuk Nagorno-Karabakh.

Sejak Uni Soviet runtuh pada 1980-an, upaya Armenia untuk merebut Nagorno Karabakh yang menurut versi mereka disebut Republik Artsakh, menjadi semakin gencar. Sejak itu, sering terjadi bentrok bersenjata, baik dalam skala kecil maupun besar.

Beban Sejarah

Setelah Uni Soviet benar-benar bubar pada 1991, baik Azerbaijan maupun Armenia mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka sebagaimana negara-negara lain yang sebelumnya bergabung dalam federasi Uni Soviet, perlawanan Nagorno Karabakh terhadap Baku semakin sengit.

Perang skala besar pertama terjadi pada terjadi pada 1991 setelah Nagorno-Karabakh ikut-ikutan memproklamirkan kemerdekaan, terlepas dan Azerbaijan maupun Armenia. Meski mendukung penuh perlawanan Nagorno Karabakh terhadap Baku, Armenia tidak menyetujui kemerdekaan mereka karena menganggapnya sebagai aksi separatis.

Selama peperangan tersebut, Azerbaijan tidak sendirian karena mendapat dukungan penuh dari Turki. Kedua negara memang mempunyai pertalian sejarah sangat erat dan sebagian warga Azerbaijan atau yang juga dikenal Azeri, berasal dari etnik Turki yang beragama Islam.

Adalah Turki, anggota NATO tersebut yang pertama kali mengakui kemerdekaan Azerbaijan pada 1991. Bahkan mantan Presiden Azerbaijan, Heydar Aliyev, yang tidak lain ayah Presiden Azerbaijan saat ini, Ilham Aliyev, pernah menggambar kedua negara ibarat “satu negara dengan dua pemerintahan” mengingat persamaan etnis dan budaya mereka.

Armenia sebenarnya juga mendapat dukungan dari Rusia yang bahkan memiliki pangkalan militer di negara itu sebagai sesama anggota Pakta Pertahanan Bersama (CSTO). Namun Rusia tidak seagresif seperti Turki yang memberi dukungan kepada Azerbaijan dan berada dalam posisi netral. Rusia bahkan sama-sama memasok senjata kepada Azerbaijan dan Armenia.

Selain itu Armenia juga memendam kesumat terhadap Turki yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa genosida zaman Ottoman pada 1915 yang menurut pihak Armenia telah menghabisi 1,5 juta warga mereka. Tuduhan tersebut sampai sekarang dibantah oleh Turki yang menganggap korban tewas tersebut adalah akibat peperangan, bukan aksi genosida.

Perang antara Armenia dan Azerbaijan menyisakan kehancuran dan menimbulkan korban tewas sekitar 30.000 jiwa. Pada 1993, Armenia keluar sebagai pemenang dan berhasil menguasai Nagorno-Karabakh dan menduduki 20 persen wilayah Azerbaijan di sekitarnya.

Pada 1994, Armenia dan Azerbaijan akhirnya mau menandatangani gencatan senjata yang ditengahi oleh Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa
(OSCE) Minsk Group yang beranggotakan AS, Rusia dan Perancis.

Giliran Azerbaijan rebut wilayah

Pada perang terakhir yang meletus pada 27 September 2020 lalu, giliran Azerbaijan yang keluar sebagai pemenang dan merebut kembali sebagian wilayah Nagorno-Karabakh setelah tercapai kesepakatan damai pada 10 November 2010 yang ditandatangani oleh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai penengah, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev, dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan.

Bagi sebagian besar rakyat Armenia, perjanjian damai dengan Azerbaijan disambut protes dan menganggap Presiden Nikol Pashinyan sebagai pengkhianat karena ingin melanjutkan perang sampai titik darah terakhir dan tidak rela wilayah mereka kembali direbut Azerbaijan. Bahkan sebagian warga Nagorno Karabakh etnis Armenia memilih membumi hanguskan rumah mereka daripada diserahkan ke pihak Azerbaijan.

Dalam perang kali ini, Azerbaijan tampak benar-benar lebih siap karena berhasil membuat pasukan Armenia menyerah setelah bertempur selama enam minggu. Ibarat pertandingan sepak bola, pertarungan tersebut berjalan berat sebelah karena Azerbaijan unggul dari segala lini.

Sebagai perbandingan,, Azerbaijan yang berpenduduk 9,9 juta, jauh melebihi penduduk Armenia yang hanya 2,9 juta, membelanjakan anggaran sebesar 2,7 miliar dollar untuk memperkuat militer, sementara Armenia hanya 500 juta dolar AS.

Pasukan Azerbaijan memiliki kekuatan 367.000 orang, sementara Armenia hanya 225.000 orang. Dari peralatan tempur, Azerbaijan memiliki 740 artileri, dan Armenia hanya setengahnya, yaitu 293.

Meski sudah terjadi kesepakatan damai untuk mengakhiri peperangan, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan kecil yang bisa memicu pertempuran skala besar mengingat rapuhnya perjanjian damai tersebut.

Seperti dikutip AFP, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan PM Armenia Nikol Pashinyan masih memiliki pandangan yang saling bertolak belakang dalam melihat akar permasalahan.

“Untuk menyudahi konflik, pertama kita harus kembali dan melihat masalah sejarah,” demikian pendapat Aliyev yang bersikeras klaim teritorial Azerbaijan terhadap Nagorno-Karabakh, karena didukung oleh “fakta sejarah.”

Pernyataan Aliyev langsung dibantah Pashinyan dengan mengatakan: “Saya ingin meminta Presiden Aliyev agar tidak terlalu jauh kembali ke sejarah.” Alasan Pashinyan, kawasan pegunungan itu hanya menjadi bagian Azerbaijan atas dasar sebuah keputusan yang diambil di masa-masa awal Uni Soviet. Bahkan menurut Pashinyan, keputusan untuk menyerahkan Nagorno Karabakh ke wilayah Azerbaijan pada 1920-an hanyalah atas inisiatif pribadi Joseph Stalin.

Jika kedua pemimpin negara tetap berpegah teguh pada pendapat masing-masing, tampaknya akan semakin sulit untuk mengurai benang kusut konflik yang sudah mengakar bahkan sejak ribuan tahun silam itu.
 


Pewarta : Atman Ahdiat
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024