Palu (ANTARA) - "Anda berada di jalur sesar Palu-Koro". Begitu bunyi tulisan berisi imbauan terhadap warga terkait dengan ancaman gempa Bumi yang terpampang di sejumlah titik di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Papan informasi penting yang terbuat dari besi itu, tertancap secara nampak kokoh di atas cor beton di beberapa titik di tepi jalan, seperti di Jalan Lasoso, Jalan Asam, dan Jalan Kedondong, Kecamatan Palu Barat.

Agar kelihatan mencolok, tulisan itu ditorehkan di atas cat warna kuning dengan terkesan terang, dilengkapi dengan imbauan, peta, dan sekilas tentang sesar Palu-Koro dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Kaili.

Titik berdirinya informasi penting itu, sebelumnya merupakan jalur patahan yang terbelah dan bergeser akibat gempa Bumi pada 28 September 2018 yang mengoyak Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong (Pasigala), Provinsi Sulawesi Tengah.

Semua bangunan di jalur patahan itu saat terjadi gempa mengalami rusak berat. Ada bangunan yang roboh, terbelah, namun ada pula yang bergeser sepanjang beberapa meter dari tempat semula. Bahkan, ada sebagian bangunan yang lain terbenam ke dalam tanah.

Di jalur-jalur patahan itu juga mengeluarkan air, lalu terbentuk semacam drainase yang memanjang hingga tembus ke bibir pantai. Itulah jalur sesar Palu-Koro yang menyebabkan gempa Bumi dan terjadinya tsunami serta likuefaksi pada 28 September 2018.

"Jalur sesar Palu-Koro adalah jalur patahan yang memanjang mulai dari Teluk Palu sampai pantai utara Teluk Bone, dengan kecepatan pergerakannya empat sampai lima sentimeter per tahun. Di bagian darat, sesar ini memiliki panjang 250 kilometer," demikian penjelasan yang tertulis di papan informasi itu.



Penjelasan itu juga diterjemahkan dalam tulisan berbahasa Kaili, suku asli yang mendiami Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Tulisan pada papan informasi yang dibuat oleh konsorsium lembaga swadaya masyarakat itu, juga menunjukkan peringatan bagi masyarakat bahwa mereka sedang berada di titik yang rawan bencana alam.

Kesiapan daerah ini menghadapi bencana alam belakangan ini juga terlihat sangat mencolok di bibir pantai Teluk Palu. Sejauh kurang lebih tujuh kilometer, pantai teluk Palu ditinggikan dengan susunan "batu gajah".

Teluk Palu yang sebelumnya dapat dipandang polos dari bibir pantai, pada saat ini tertutupi dengan susunan "batu gajah".

Pemandangan susunan batu itu memanjang, meliuk mengikuti kontur pantai. Susunan batu bak tembok itu hampir tidak memberi ruang untuk ombak memecah di darat. Semuanya terkesan dibalut dengan batu.

Antisipasi terhadap bencana alam, khususnya tsunami, saat ini mulai ditangani secara serius. Kondisi ini jauh berbeda dengan sebelum terjadi tsunami yang menerjang Teluk Palu, di mana hampir seluruh pantai menjadi tempat wisata warga kota. Pantai menjadi ruang publik untuk bersantai, bercengkerama, sekaligus menjadi ruang bisnis.

Ruang pantai yang demikian terbuka lebar, menyebabkan air tsunami menerjang dengan leluasa. Seluruh fasilitas publik yang dibangun selama puluhan tahun, seketika terkesan hilang seperti ditelan Bumi bersama dengan hilangnya sejumlah warga.

Arus utama

Sejak Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong dilanda bencana alam, saat itulah pemerintah daerah setempat mengklaim telah menjadikan bencana sebagai arus utama (mainstream) pembangunan.



Kepala Bidang Data dan Informasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu, Ibnu Mundzir, mengatakan hampir tidak ada sektor pembangunan di ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu yang tidak berwawasan bencana.

"Hampir seluruh pembangunan di Kota Palu ini menjadikan bencana sebagai 'mainstream', walaupun memang yang paling nyata itu di sektor infrastruktur," katanya.

Hal ini dilakukan setelah sebelumnya, Kementerian  Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) membuat rencana induk pembangunan yang selanjutnya diterjemahkan oleh masing-masing pemerintah daerah yang dilanda bencana alam hebat pada akhir 2018 itu.

Dari rencana induk itu pula, pemerintah daerah menyusun rencana pembangunan dari rehabilitasi dan rekonstruksi hingga pembangunan secara berkelanjutan di sektor infrastruktur, sosial budaya, ekonomi, dan lintas sektor.

"Dari sanalah diketahui angka Rp19,1 triliun untuk memulihkan kembali pembangunan Kota Palu jauh lebih bagus dari sebelum bencana," kata dia.

Ke depan, seluruh bangunan dan gedung di Kota Palu sudah harus mengacu pada Standar Nasional Indonesia yang sensitif bencana. Tidak ada lagi bangunan yang tidak memenuhi standar nasional.

Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Tim Ahli Bangunan Gedung yang memiliki kewenangan mengasistensi seluruh standar bangunan di Kota Palu.

Mengenai regulasi standar bangunan sensitif bencana tersebut, saat ini sedang digodok oleh Pemerintah Kota Palu bersama DPRD setempat, sehingga ke depan tidak ada lagi bangunan yang menyebabkan duka dan luka bagi warga Kota Palu jika sewaktu-waktu bencana kembali melanda.

Selain itu, Pemerintah Kota Palu dan DPRD setempat juga sedang menggodok regulasi mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) berbasis Zona Rawan Bencana (ZRB).

Pemerintah sebelumnya telah menetapkan ruang dengan zona hijau, kuning, dan merah, di seluruh kawasan Kota Palu.

Tata ruang juga nantinya mengatur di mana ruang-ruang yang menjadi titik kumpul akhir dan titik kumpul sementara bagi warga jika terjadi gempa Bumi dan tsunami.
 

Pewarta : Adha Nadjemudin
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024