Jakarta (ANTARA) - Pakar lingkungan hidup Prof Sudharto P Hadi menyatakan bahwa Indonesia harus memprioritaskan sumber energi terbarukan yang melimpah di Tanah Air karena itu jangan menggunakan pembangkit listrik yang harus impor bahan baku seperti PLTN.
"Kemungkinan kalau PLTN harus impor bahan baku (uranium). Kalau impor berarti bergantung ke pihak luar sehingga bertentangan dengan prinsip kemandirian dan kedaulatan energi," kata Sudharto P Hadi dalam acara Diskusi dan Peluncuran Buku "PLTN Pilihan Terakhir" yang digelar secara virtual, Rabu.
Menurut Sudharto, saat ini kerap dikatakan bahwa kendala pengembangan energi terbarukan adalah karena tingkat keekonomiannya masih lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas bumi.
Namun, menurut dia, pernyataan perhitungan seperti itu dinilai merupakan hal yang tidak adil karena tidak memperhitungkan dampak dari eksploitasi dari aktivitas penambangan energi fosil.
Ia mengingatkan bahwa di sejumlah daerah seperti di Kalimantan masih ada lokasi lubang-lubang besar hasil dari penambangan batu bara. "Jadi untuk bisa berdaulat kita harus mengurangi ekspor energi fosil," katanya.
Sudharto juga mengemukakan keanehannya dalam draf RUU Energi Baru dan Terbarukan yang ada pengaturan secara spesifik terkait energi nuklir, tetapi energi baru lainnya seperti gasified coal tidak diatur secara spesifik.
Pembicara lainnya, politisi senior dan mantan Anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari mengingatkan bahwa masih ada ketimpangan gender di dalam sektor energi, yang terlihat seperti masih minimnya perempuan dalam manajemen perusahaan energi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Febby Tumiwa mengingatkan bahwa ketika membahas mengenai PLTN kerap kehilangan daya kritis, seperti dikatakan bahwa siap membangun tenaga nuklir tetapi tidak dijelaskan secara terperinci mengenai teknologi dan aspek lainnya yang penting terkait hal tersebut.
Sebelumnya, Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan saat ini posisi Indonesia sudah memasuki fase 1 dari siklus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagaimana disyaratkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Anggota DEN Satya Widya Yudha dalam webinar "Nuclear as Clean & Sustainable Energy" di Jakarta, Kamis (18/2), mengatakan untuk menyelesaikan fase 1 itu, IAEA mensyaratkan harus memenuhi 19 item dan Indonesia sudah menyelesaikan 16 item.
Tiga item lagi yang belum yaitu posisi nasional Indonesia, pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir atau NEPIO yang memonitor implementasi energi nuklir, dan soal keterlibatan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.
"Kalau Indonesia sudah memenuhi sisa tiga item yang disyaratkan IAEA pada fase 1 itu, maka Indonesia bisa masuk pada fase Go Nuklir," ujar Satya.
"Kemungkinan kalau PLTN harus impor bahan baku (uranium). Kalau impor berarti bergantung ke pihak luar sehingga bertentangan dengan prinsip kemandirian dan kedaulatan energi," kata Sudharto P Hadi dalam acara Diskusi dan Peluncuran Buku "PLTN Pilihan Terakhir" yang digelar secara virtual, Rabu.
Menurut Sudharto, saat ini kerap dikatakan bahwa kendala pengembangan energi terbarukan adalah karena tingkat keekonomiannya masih lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil seperti batu bara, minyak dan gas bumi.
Namun, menurut dia, pernyataan perhitungan seperti itu dinilai merupakan hal yang tidak adil karena tidak memperhitungkan dampak dari eksploitasi dari aktivitas penambangan energi fosil.
Ia mengingatkan bahwa di sejumlah daerah seperti di Kalimantan masih ada lokasi lubang-lubang besar hasil dari penambangan batu bara. "Jadi untuk bisa berdaulat kita harus mengurangi ekspor energi fosil," katanya.
Sudharto juga mengemukakan keanehannya dalam draf RUU Energi Baru dan Terbarukan yang ada pengaturan secara spesifik terkait energi nuklir, tetapi energi baru lainnya seperti gasified coal tidak diatur secara spesifik.
Pembicara lainnya, politisi senior dan mantan Anggota DPR RI Eva Kusuma Sundari mengingatkan bahwa masih ada ketimpangan gender di dalam sektor energi, yang terlihat seperti masih minimnya perempuan dalam manajemen perusahaan energi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Febby Tumiwa mengingatkan bahwa ketika membahas mengenai PLTN kerap kehilangan daya kritis, seperti dikatakan bahwa siap membangun tenaga nuklir tetapi tidak dijelaskan secara terperinci mengenai teknologi dan aspek lainnya yang penting terkait hal tersebut.
Sebelumnya, Dewan Energi Nasional (DEN) menyebutkan saat ini posisi Indonesia sudah memasuki fase 1 dari siklus pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagaimana disyaratkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Anggota DEN Satya Widya Yudha dalam webinar "Nuclear as Clean & Sustainable Energy" di Jakarta, Kamis (18/2), mengatakan untuk menyelesaikan fase 1 itu, IAEA mensyaratkan harus memenuhi 19 item dan Indonesia sudah menyelesaikan 16 item.
Tiga item lagi yang belum yaitu posisi nasional Indonesia, pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir atau NEPIO yang memonitor implementasi energi nuklir, dan soal keterlibatan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat.
"Kalau Indonesia sudah memenuhi sisa tiga item yang disyaratkan IAEA pada fase 1 itu, maka Indonesia bisa masuk pada fase Go Nuklir," ujar Satya.