Jakarta (ANTARA) - Setelah UU Pemilu termasuk di dalamnya UU Pilkada tidak direvisi, tahun 2022 dan 2023 sebanyak 272 kepala daerah akan berakhir masa jabatannya sehingga harus diisi penjabat (Pj) untuk memimpin daerah sampai dengan terpilih kepala daerah definitif hasil Pilkada 2024.
Untuk yang berakhir 2022, terdiri 7 gubernur, 76 bupati dan 18 wali kota, jumlah 101 ditambah masing-masing wakil. Sedangkan yang berakhir 2023, terdiri 17 gubernur, 115 bupati dan 39 wali kota, jumlah 171 juga ditambah dengan wakil masing-masing. Dengan demikian, jumlah secara keseluruhan daerah yang akan diisi oleh Pj, dari 2022 dan 2023 sampai 2024 sebanyak 272 kepala daerah.
Menarik, ada pernyataan dari politisi Golkar sekaligus anggota Komis II, dimana Komisi-nya membahas tentang kepemiluan, Zulfikar Arse Sadikin, mengingatkan Jokowi, “Pj Kepala Daerah sebaiknya orang non-partisan”.
Alasan pernyataan tersebut, banyak pihak memandang negatif terhadap pengangkatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota baik di 2022 maupun 2023 karena kekhawatiran tidak netral. Inilah yang ideal, sebaiknya merekrut orang-orang yang non-partisan.
Mari kita telaah, dimana sesuai peraturan perundang-undangan agar pemerintahan tidak kosong pemimpinnya karena sudah habis masa jabatannya harus diisi Pj Kepala Daerah. Sumber Pj berasal dari birokrasi. Untuk Pj gubernur mereka dari birokrasi setara eselon I, seperti sekjen, irjen, dirjen kepala badang dan staf ahli kementerian.
Sedangkan untuk Pj bupati dan wali kota, setingkat eselon II, seperti asisten sekda, kepala dinas, kepala badan dan staf ahli gubernur. Intinya ditunjuk bukan lewat pemilihan umum. Hal ini sama-sama tidak melanggar regulasi, baik Pj yang ditunjuk maupun Kepala Daerah hasil pemilu.
Dasar hukum tentang penunjukan Pj, mengacu Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada, 272 kepala daerah yang kepemimpinan-nya bakal diisi oleh Pj kepala daerah ditentukan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Pj. Gubernur ditentukan Presiden, sementara Pj. Bupati dan Wali Kota ditentukan Mendagri. Sedangkan masa jabatan Pj kepala daerah ini bervariasi, tergantung masa akhir jabatan kepala daerah masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka menjabat lebih dari 20 bulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024, atau sampai Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan pada bulan November.
Berikut isi Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada: "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024".
Pj rawan politisasi?
Apakah Pj rawan terjadi politisasi ? Apakah diisi Pj roda pemerintahan bisa menjadi lebih baik atau sebaliknya?
Kalau menilik personel yang akan menduduki Pj untuk gubernur, sudah pada posisi menduduki jabatan eselon I, golongan pangkat sudah IV E, pangkat puncak tertinggi di ASN dan untuk Pj bupati dan wali kota sedang menduduki jabatan eselon II dan pangkat golongan IV D pangkat kedua tertinggi.
Dengan posisi seperti itu, baik Pj gubernur maupun Pj bupati dan wali kota, secara kompetensi, kapabilitas dan profesionalitas nisbi tidak perlu diragukan lagi. Manajemen dan tata kelola ke-pemerintah-an, sudah menjadi makanan sehari-hari. Yang bersangkutan akan muncul bahwa menjadi Pj suatu kebanggaan dan kehormatan yang akan mematik bekerja secara benar dan bertanggung jawab.
Dari sisi komunikasi dengan atasan, baik ke gubernur dan menteri dalam negeri jauh lebih linier dan tegak lurus. Ini berbanding terbalik ketika hubungan antara bupati atau wali kota dengan gubernur atau Pj gubernur dengan sang menteri bisa tidak harmonis ketika ada sentuhan politik. Apalagi kalau beda paham politiknya. Beda partai politik mendukung dan pengusung-nya.
Sebuah pertanyaan, apakah tidak akan terjadi politisasi atau Pj menjadi tidak netral ? Jawaban-nya bisa ya dan bisa tidak. Bisa ya, karena jabatan Pj kepala daerah secara empirik memiliki wewenang sama dengan kepala daerah definitif hasil pemilu.
Dengan demikian, sebagai pejabat publik sekaligus menjadi pejabat politik, walau Pj, tidak berada pada ruang hampa. Bisa tidak asumsi-nya mereka bukan politisi dan memegang asas profesionalitas.
Artinya, banyak peluang untuk memformulasikan kebijakan publik, yang dikhawatirkan menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus pada saat bersamaan akan merugikan pihak-pihak tertentu pula. Apalagi mereka mengelola kewenangan dengan APBD. Ini yang dipersepsikan publik bisa menjadi alat politik kekuasaan.
Ditambah lagi godaan-godaan yang selalu muncul di sekitarnya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Kemungkinan sangat terbuka mengingat untuk posisi Pj nisbi lama. Publik khawatir dengan keberadaan penjabat kepala daerah ini karena waktu memimpin cukup lama. Bisa satu hingga dua tahun, sampai Pilkada Serentak 2024 selesai.
Di ranah politik ada ungkapan "menguntungkan atau tidak menguntungkan". Artinya, sepanjang tidak menguntungkan, walaupun benar dan baik, tidak diambil. Sebaliknya walau tidak tepat atau salah sekalipun bisa-bisa diambil atau dipilih. Di sinilah Pj bisa menjadi tidak netral dan sudah bermain-main di ranah politik.
Untuk mencegah politisasi Pj kepala daerah, pejabat yang menunjuk harus ikut bertanggung jawab mengawal kepemimpinan selama masa transisi sampai dengan terpilihnya kepala daerah hasil pemilu.
Sepanjang Kementerian Dalam Negeri untuk Pj gubernur dan Gubernur untuk Pj bupati dan wali kota, mampu menempatkan penjabat-penjabat terbaik yang profesional dan punya kapasitas dan kompetensi menuju tata kelola ke-pemerintah-an, untuk memegang posisi kepemimpinan selama masa peralihan tersebut, justru menguntungkan.
Hal ini dikarenakan sekaligus menyiapkan pondasi atau landasan bagi tata kelola pemerintahan untuk kepala daerah terpilih. Sangat menguntungkan bagi kepala daerah terpilih untuk periode pertama apalagi yang datang dari luar pemerintahan.
Keuntungan lain, kualitas dan kuantitas hubungan komunikasi dari kementerian dengan pemerintah propinsi serta dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih mudah untuk melakukan supervisi dan koordinasi bagi Menteri Dalam Negeri dan Gubernur.
Hal ini logis dan beralasan karena yang sementara memimpin daerah adalah bagian dari birokrasi yang dipimpinnya. Dengan demikian mengharapkan Pj bisa clean and clear dalam memimpin daerah sebagai pemimpin sementara atau masa transisi bukan sesuatu hal yang sulit.
Pada gilirannya Pj mampu membuktikan dan memperlihatkan secara nyata pada aspek akuntabilitas, efisien dan efektif, membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, memiliki wawasan ke depan dengan menyiapkan pondasi yang terstruktur, bekerja dengan semangat transparansi, selalu menegakkan dan berjalan di koridor hukum, memiliki daya tanggap yang responsif, menciptakan kesetaraan tidak berdasarkan suku, agama, ras tingkat ekonomi, tingkat pendidikan serta paham politik.
*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng
Untuk yang berakhir 2022, terdiri 7 gubernur, 76 bupati dan 18 wali kota, jumlah 101 ditambah masing-masing wakil. Sedangkan yang berakhir 2023, terdiri 17 gubernur, 115 bupati dan 39 wali kota, jumlah 171 juga ditambah dengan wakil masing-masing. Dengan demikian, jumlah secara keseluruhan daerah yang akan diisi oleh Pj, dari 2022 dan 2023 sampai 2024 sebanyak 272 kepala daerah.
Menarik, ada pernyataan dari politisi Golkar sekaligus anggota Komis II, dimana Komisi-nya membahas tentang kepemiluan, Zulfikar Arse Sadikin, mengingatkan Jokowi, “Pj Kepala Daerah sebaiknya orang non-partisan”.
Alasan pernyataan tersebut, banyak pihak memandang negatif terhadap pengangkatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota baik di 2022 maupun 2023 karena kekhawatiran tidak netral. Inilah yang ideal, sebaiknya merekrut orang-orang yang non-partisan.
Mari kita telaah, dimana sesuai peraturan perundang-undangan agar pemerintahan tidak kosong pemimpinnya karena sudah habis masa jabatannya harus diisi Pj Kepala Daerah. Sumber Pj berasal dari birokrasi. Untuk Pj gubernur mereka dari birokrasi setara eselon I, seperti sekjen, irjen, dirjen kepala badang dan staf ahli kementerian.
Sedangkan untuk Pj bupati dan wali kota, setingkat eselon II, seperti asisten sekda, kepala dinas, kepala badan dan staf ahli gubernur. Intinya ditunjuk bukan lewat pemilihan umum. Hal ini sama-sama tidak melanggar regulasi, baik Pj yang ditunjuk maupun Kepala Daerah hasil pemilu.
Dasar hukum tentang penunjukan Pj, mengacu Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada, 272 kepala daerah yang kepemimpinan-nya bakal diisi oleh Pj kepala daerah ditentukan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Pj. Gubernur ditentukan Presiden, sementara Pj. Bupati dan Wali Kota ditentukan Mendagri. Sedangkan masa jabatan Pj kepala daerah ini bervariasi, tergantung masa akhir jabatan kepala daerah masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka menjabat lebih dari 20 bulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024, atau sampai Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan pada bulan November.
Berikut isi Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada: "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024".
Pj rawan politisasi?
Apakah Pj rawan terjadi politisasi ? Apakah diisi Pj roda pemerintahan bisa menjadi lebih baik atau sebaliknya?
Kalau menilik personel yang akan menduduki Pj untuk gubernur, sudah pada posisi menduduki jabatan eselon I, golongan pangkat sudah IV E, pangkat puncak tertinggi di ASN dan untuk Pj bupati dan wali kota sedang menduduki jabatan eselon II dan pangkat golongan IV D pangkat kedua tertinggi.
Dengan posisi seperti itu, baik Pj gubernur maupun Pj bupati dan wali kota, secara kompetensi, kapabilitas dan profesionalitas nisbi tidak perlu diragukan lagi. Manajemen dan tata kelola ke-pemerintah-an, sudah menjadi makanan sehari-hari. Yang bersangkutan akan muncul bahwa menjadi Pj suatu kebanggaan dan kehormatan yang akan mematik bekerja secara benar dan bertanggung jawab.
Dari sisi komunikasi dengan atasan, baik ke gubernur dan menteri dalam negeri jauh lebih linier dan tegak lurus. Ini berbanding terbalik ketika hubungan antara bupati atau wali kota dengan gubernur atau Pj gubernur dengan sang menteri bisa tidak harmonis ketika ada sentuhan politik. Apalagi kalau beda paham politiknya. Beda partai politik mendukung dan pengusung-nya.
Sebuah pertanyaan, apakah tidak akan terjadi politisasi atau Pj menjadi tidak netral ? Jawaban-nya bisa ya dan bisa tidak. Bisa ya, karena jabatan Pj kepala daerah secara empirik memiliki wewenang sama dengan kepala daerah definitif hasil pemilu.
Dengan demikian, sebagai pejabat publik sekaligus menjadi pejabat politik, walau Pj, tidak berada pada ruang hampa. Bisa tidak asumsi-nya mereka bukan politisi dan memegang asas profesionalitas.
Artinya, banyak peluang untuk memformulasikan kebijakan publik, yang dikhawatirkan menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus pada saat bersamaan akan merugikan pihak-pihak tertentu pula. Apalagi mereka mengelola kewenangan dengan APBD. Ini yang dipersepsikan publik bisa menjadi alat politik kekuasaan.
Ditambah lagi godaan-godaan yang selalu muncul di sekitarnya untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Kemungkinan sangat terbuka mengingat untuk posisi Pj nisbi lama. Publik khawatir dengan keberadaan penjabat kepala daerah ini karena waktu memimpin cukup lama. Bisa satu hingga dua tahun, sampai Pilkada Serentak 2024 selesai.
Di ranah politik ada ungkapan "menguntungkan atau tidak menguntungkan". Artinya, sepanjang tidak menguntungkan, walaupun benar dan baik, tidak diambil. Sebaliknya walau tidak tepat atau salah sekalipun bisa-bisa diambil atau dipilih. Di sinilah Pj bisa menjadi tidak netral dan sudah bermain-main di ranah politik.
Untuk mencegah politisasi Pj kepala daerah, pejabat yang menunjuk harus ikut bertanggung jawab mengawal kepemimpinan selama masa transisi sampai dengan terpilihnya kepala daerah hasil pemilu.
Sepanjang Kementerian Dalam Negeri untuk Pj gubernur dan Gubernur untuk Pj bupati dan wali kota, mampu menempatkan penjabat-penjabat terbaik yang profesional dan punya kapasitas dan kompetensi menuju tata kelola ke-pemerintah-an, untuk memegang posisi kepemimpinan selama masa peralihan tersebut, justru menguntungkan.
Hal ini dikarenakan sekaligus menyiapkan pondasi atau landasan bagi tata kelola pemerintahan untuk kepala daerah terpilih. Sangat menguntungkan bagi kepala daerah terpilih untuk periode pertama apalagi yang datang dari luar pemerintahan.
Keuntungan lain, kualitas dan kuantitas hubungan komunikasi dari kementerian dengan pemerintah propinsi serta dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih mudah untuk melakukan supervisi dan koordinasi bagi Menteri Dalam Negeri dan Gubernur.
Hal ini logis dan beralasan karena yang sementara memimpin daerah adalah bagian dari birokrasi yang dipimpinnya. Dengan demikian mengharapkan Pj bisa clean and clear dalam memimpin daerah sebagai pemimpin sementara atau masa transisi bukan sesuatu hal yang sulit.
Pada gilirannya Pj mampu membuktikan dan memperlihatkan secara nyata pada aspek akuntabilitas, efisien dan efektif, membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, memiliki wawasan ke depan dengan menyiapkan pondasi yang terstruktur, bekerja dengan semangat transparansi, selalu menegakkan dan berjalan di koridor hukum, memiliki daya tanggap yang responsif, menciptakan kesetaraan tidak berdasarkan suku, agama, ras tingkat ekonomi, tingkat pendidikan serta paham politik.
*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng