Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid mengatakan dalam konteks NKRI otonomi daerah bermakna sebagai bentuk pembagian kekuasaan kepada daerah dengan tetap berpegang pada kaidah dan batasan kewenangan.
"Ketentuan norma Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (7) Jo Pasal 18 B Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 memberikan rules penyelenggaraan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi simetris dan asimetris," kata dia saat menjadi saksi ahli Presiden dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Selasa.
Fahri Bachmid mengatakan basis fundamental penyelenggaraan otonomi tersebut berpijak pada konsepsi pembagian/pelimpahan kekuasaan kepada daerah. Baik provinsi maupun kabupaten atau kota.
Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar masing-masing daerah berkembang dengan mudah, dan memberikan akses pelayanan dari segala sektor kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan cepat sesuai kekhususan maupun keragaman daerah.
Kata "dibagi", ujar dia, pada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menekankan eksistensi NKRI sebagai suatu entitas yang lebih dulu ada. Diksi yang digunakan oleh UUD NRI Tahun 1945 bukan dengan kata "terdiri atas/dari".
"Hal ini disadari dengan maksud untuk menghindari pemahaman atau konstruksi hukum daerah-daerah lebih dulu ada dari pada NKRI," jelas dia.
Pembagian atau pemberian kekuasaan dalam konteks otonomi daerah tidak bisa dimaknai sebagai distribution of power pada kerangka NKRI. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus secara mandiri urusan pemerintahannya.
Meskipun corak otonomi-nya adalah otonomi khusus, namun konsep dasar pemberian otonomi tersebut tetap dalam kaidah dan pengaturan otonomi daerah, ujarnya.
"Otonomi khusus Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua. Baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya," tutur Fahri.
Disamping itu, dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik, serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu upaya melanjutkan serta mengoptimalkan pengelolaan penerimaan.
Hal itu dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan dan tepat sasaran. Termasuk untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di Papua sesuai kebutuhan, perkembangan dan aspirasi masyarakat.
Ia menekankan dalam pemberian serta pelaksanaan otonomi khusus tetap harus berpedoman pada kerangka hukum yang dibentuk oleh negara melalui produk hukum berbentuk undang-undang.
"Ini bermakna otonomi yang dimiliki dan dijalankan tiap-tiap daerah berada pada koridor NKRI sehingga tidak timbul kesan adanya kekuatan terpisah antara daerah otonom dengan negara," jelasnya.
"Ketentuan norma Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (7) Jo Pasal 18 B Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 memberikan rules penyelenggaraan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi simetris dan asimetris," kata dia saat menjadi saksi ahli Presiden dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang disiarkan Mahkamah Konstitusi secara virtual di Jakarta, Selasa.
Fahri Bachmid mengatakan basis fundamental penyelenggaraan otonomi tersebut berpijak pada konsepsi pembagian/pelimpahan kekuasaan kepada daerah. Baik provinsi maupun kabupaten atau kota.
Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar masing-masing daerah berkembang dengan mudah, dan memberikan akses pelayanan dari segala sektor kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan cepat sesuai kekhususan maupun keragaman daerah.
Kata "dibagi", ujar dia, pada ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menekankan eksistensi NKRI sebagai suatu entitas yang lebih dulu ada. Diksi yang digunakan oleh UUD NRI Tahun 1945 bukan dengan kata "terdiri atas/dari".
"Hal ini disadari dengan maksud untuk menghindari pemahaman atau konstruksi hukum daerah-daerah lebih dulu ada dari pada NKRI," jelas dia.
Pembagian atau pemberian kekuasaan dalam konteks otonomi daerah tidak bisa dimaknai sebagai distribution of power pada kerangka NKRI. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus secara mandiri urusan pemerintahannya.
Meskipun corak otonomi-nya adalah otonomi khusus, namun konsep dasar pemberian otonomi tersebut tetap dalam kaidah dan pengaturan otonomi daerah, ujarnya.
"Otonomi khusus Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua. Baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya," tutur Fahri.
Disamping itu, dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik, serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu upaya melanjutkan serta mengoptimalkan pengelolaan penerimaan.
Hal itu dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan dan tepat sasaran. Termasuk untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di Papua sesuai kebutuhan, perkembangan dan aspirasi masyarakat.
Ia menekankan dalam pemberian serta pelaksanaan otonomi khusus tetap harus berpedoman pada kerangka hukum yang dibentuk oleh negara melalui produk hukum berbentuk undang-undang.
"Ini bermakna otonomi yang dimiliki dan dijalankan tiap-tiap daerah berada pada koridor NKRI sehingga tidak timbul kesan adanya kekuatan terpisah antara daerah otonom dengan negara," jelasnya.