Palu (ANTARA) -
Pemilik industri rumahan kain tenun Donggala mendorong agar proses menenun masuk dalam kurikulum pembelajaran yang berstatus ekstrakulikuler pada sekolah menengah kejuruan (SMK) di Provinsi Sulawesi Tengah.
"Ini adalah keterampilan yang memiliki latar belaka bisnis sehingga harusnya masuk dalam kurikulum belajar di sekolah khususnya SMK meskipun sebagai ekstrakulikuler," kata Pemilik industri rumahan Kain tenun Donggala Liswati di Palu, Selasa.
Dia menjelaskan bahwa saat ini rata-rata para penenun telah berusia senja dan sulit untuk mendapatkan anak-anak muda yang memiliki ketertarikan pada keterampilan tenun.
Padahal tenun sendiri merupakan keterampilan yang dapat mendatangkan nilai ekonomi bagi para pemiliknya, sehingga sudah seharusnya dapat menjadi salah satu solusi bagi pemerintah melalui sektor pendidikan dalam mengurangi angka pengangguran.
"Kalau SMK itu difokuskan untuk menyiapkan anak muda untuk menghadapi dunia kerja setelah sekolah maka solusi itu dengan cara masukan ini sebagai salah satu kurikulum, meskipun tidak semua nantinya akan suka dengan itu akan tetapi pasti akan ada sebagian yang tertarik dengan keterampilan menenun," ucapnya.
Adapun saat ini kain tenun Donggala yang digunakan membuat batik bomba khas Sulawesi telah berulangkali menembus pasar industri pakaian mancanegara seperti Amerika Serikat.
"Pertama kali kami mengirim ke luar negeri itu 2015 dan sejak itu sudah mulai rutin melakukan pengiriman sampai dengan sekarang," kata Liswati.
Dia menjelaskan sekali melakukan pengiriman ke luar negeri seperti Amerika Serikat pihaknya dapat meraup keuntungan hingga Rp10 juta untuk beberapa kain tenun Donggala yang dijual mulai dari harga Rp200 ribu sampai Rp2 juta.
"Karena biasanya kalau permintaan dari luar negeri itu tidak hanya satu atau dua lembar tapi jumlahnya cukup banyak, dan saat ini bukan hanya ke Amerika saja namun juga sudah ke negeri India," jelasnya.
Sementara untuk pasar domestik, Liswati mengaku sudah melayani permintaan ke seluruh wilayah nusantara baik dilakukan secara individu maupun bersama pihak pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
"Kalau pasar dalam negeri paling banyak permintaan itu dari Surabaya dan Jakarta, akan tetapi secara umum hampir seluruh provinsi sudah pernah kami layani untuk permintaan kain tenun Donggala dengan total keuntungan dalam satu bulan itu bisa mencapai Rp70 juta," katanya.
Produksi kain tenun Donggala sendiri telah dimulai sejak 1975 oleh keluarga Liswati dengan berbagai fasilitas yang belum begitu memadai.
"Kalau saya sendiri adalah generasi pertama dari bapak dalam melanjutkan usaha ini mulai tahun 2000 sampai dengan sekarang," ucapnya.
Liswati mengaku memilih untuk melanjutkan industri tersebut karena mengandung nilai budaya yang dalam serta sejarah yang tidak dapat dinilai dari sisi ekonomi.
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar pemerintah dapat mengedepankan berbagai program kerja yang dapat memberdayakan berbagai ekonomi dengan basis budaya.
"Karena melestarikan budaya adalah tanggung jawab bersama bukan individu saja," demikian Liswati.