Gorontalo (ANTARA) - Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel, menyebut, pembatasan ekspor maupun pengiriman ternak sapi dan kambing antar pulau perlu dikaji ulang.
"Saya berharap, langkah antisipasi penularan virus penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak sapi dan kambing, tidak merugikan peternak termasuk di Provinsi Gorontalo. Olehnya, pihak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak boleh sembarangan menentukan zonasi dalam pembatasan tersebut," katanya, di Gorontalo, Senin.
Seperti yang dialami Provinsi Gorontalo. Akibat berada satu pulau dengan Sulawesi Selatan, dimana 1 daerahnya positif PMK sehingga ditetapkan sebagai zona merah.
Penetapan tersebut ikut terdampak pada Gorontalo, yang ditetapkan menjadi zona kuning. Padahal hingga kini, diketahui tidak ada kasus positif PMK ditemukan di Gorontalo.
Alhasil, peternak tidak dapat melakukan ekspor maupun pengiriman sapi dan kambing antar pulau.
"Sebab aturan yang ditetapkan BNPB, wilayah zona kuning dan merah tidak boleh mengirim ke zona hijau," katanya.
Sementara Provinsi Gorontalo, diantaranya Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara dengan Pemerintah Kota Tarakan, telah menandatangani perjanjian kerja sama terkait pemenuhan komoditas ternak, khusus sapi dan kambing untuk memenuhi permintaan dari Kalimantan Utara.
"Saya telah menghubungi pihak BNPB, meminta aturan tersebut agar dapat dikaji ulang. Sebab sangat berdampak pada perekonomian daerah di sektor peternakan," katanya lagi.
Banyak peternak di Gorontalo, terancam gulung tikar akibat biaya modal pembelian pakan yang sangat tinggi harus ditanggung tanpa ada penghasilan.
Sehingga kondisi tersebut harus dicarikan solusi cepat dan tepat agar tidak memperpuruk aktivitas perekonomian di sektor peternakan.
Ditambah lagi, Pemerintah Kota Tarakan ikut mengeluhkan ancaman inflasi karena stok sapi dan kambing yang mengalami kekosongan, memicu tingginya harga.
Rachmat mengatakan, akan terus memperjuangkan kondisi tersebut untuk kepentingan perekonomian Nasional di sektor peternakan.
Serta mencegah peternak Gorontalo, mengalami kerugian apalagi turun semangat dalam menggerakkan usahanya.
Rusli Usman, peternak asal Desa Leboto, Kecamatan Kwandang, mengatakan, terancam gulung tikar karena ternak sapi tidak dapat dijual sementara pembelian pakan menggerus modal usaha mencapai Rp2,5 juta per bulan.
"Belum lagi biaya pemeliharaan lainnya. Saya benar-benar hampir pasrah menghadapi kondisi ini yang dihadapi sudah berbulan-bulan," katanya.
Ia berharap, pemerintah segera memberi solusi. Mengingat ternak sapi miliknya, memang dikhususkan untuk kepentingan ekspor dan pengiriman Nusantara.
"Kualitasnya super. Tidak mungkin dijual di tingkat lokal," katanya.
Untuk sementara, 50 persen ternak sapi miliknya, dititipkan ke warga setempat yang ingin ikut memelihara.
"Saya tidak kuat menanggung biaya pakan, tanpa ada penghasilan sepeserpun. Makanya ternak sapi sebagian digembalakan ke warga lain yang mau membantu memelihara," katanya.
"Saya berharap, langkah antisipasi penularan virus penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak sapi dan kambing, tidak merugikan peternak termasuk di Provinsi Gorontalo. Olehnya, pihak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak boleh sembarangan menentukan zonasi dalam pembatasan tersebut," katanya, di Gorontalo, Senin.
Seperti yang dialami Provinsi Gorontalo. Akibat berada satu pulau dengan Sulawesi Selatan, dimana 1 daerahnya positif PMK sehingga ditetapkan sebagai zona merah.
Penetapan tersebut ikut terdampak pada Gorontalo, yang ditetapkan menjadi zona kuning. Padahal hingga kini, diketahui tidak ada kasus positif PMK ditemukan di Gorontalo.
Alhasil, peternak tidak dapat melakukan ekspor maupun pengiriman sapi dan kambing antar pulau.
"Sebab aturan yang ditetapkan BNPB, wilayah zona kuning dan merah tidak boleh mengirim ke zona hijau," katanya.
Sementara Provinsi Gorontalo, diantaranya Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara dengan Pemerintah Kota Tarakan, telah menandatangani perjanjian kerja sama terkait pemenuhan komoditas ternak, khusus sapi dan kambing untuk memenuhi permintaan dari Kalimantan Utara.
"Saya telah menghubungi pihak BNPB, meminta aturan tersebut agar dapat dikaji ulang. Sebab sangat berdampak pada perekonomian daerah di sektor peternakan," katanya lagi.
Banyak peternak di Gorontalo, terancam gulung tikar akibat biaya modal pembelian pakan yang sangat tinggi harus ditanggung tanpa ada penghasilan.
Sehingga kondisi tersebut harus dicarikan solusi cepat dan tepat agar tidak memperpuruk aktivitas perekonomian di sektor peternakan.
Ditambah lagi, Pemerintah Kota Tarakan ikut mengeluhkan ancaman inflasi karena stok sapi dan kambing yang mengalami kekosongan, memicu tingginya harga.
Rachmat mengatakan, akan terus memperjuangkan kondisi tersebut untuk kepentingan perekonomian Nasional di sektor peternakan.
Serta mencegah peternak Gorontalo, mengalami kerugian apalagi turun semangat dalam menggerakkan usahanya.
Rusli Usman, peternak asal Desa Leboto, Kecamatan Kwandang, mengatakan, terancam gulung tikar karena ternak sapi tidak dapat dijual sementara pembelian pakan menggerus modal usaha mencapai Rp2,5 juta per bulan.
"Belum lagi biaya pemeliharaan lainnya. Saya benar-benar hampir pasrah menghadapi kondisi ini yang dihadapi sudah berbulan-bulan," katanya.
Ia berharap, pemerintah segera memberi solusi. Mengingat ternak sapi miliknya, memang dikhususkan untuk kepentingan ekspor dan pengiriman Nusantara.
"Kualitasnya super. Tidak mungkin dijual di tingkat lokal," katanya.
Untuk sementara, 50 persen ternak sapi miliknya, dititipkan ke warga setempat yang ingin ikut memelihara.
"Saya tidak kuat menanggung biaya pakan, tanpa ada penghasilan sepeserpun. Makanya ternak sapi sebagian digembalakan ke warga lain yang mau membantu memelihara," katanya.