Jumlah guru besar di Tanah Air saat ini kurang dari 6.000 orang sementara angka ideal yang dibutuhkan untuk mengelola program studi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dibutuhkan sedikitnya 22.000 guru besar.

Untuk mengejar kekurangan yang berkisar tiga kali lipat dari jumlah yang ada itu, pemerintah berencana mempermudah prosedur pengajuan berkas untuk memperoleh predikat guru besar.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Dikti Ali Gufron Mukti mengatakan sejak tahun lalu Kemristek dan Dikti mempercepat proses dan menyederhanakan prosedur dalam pengangkatan guru besar melalui sistem dalam jaringan/daring atau online.

Dengan sistem baru ini, para dosen bergelar doktor yang mengajukan diri untuk mendapatkan gelar guru besar tidak mesti datang ke Jakarta tapi cukup menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan melalui saluran internet.

Tampaknya salah satu kendala untuk menjadi guru besar sudah diatasi dengan mempermudah prosedur pengajuan berkas-berkasnya. Namun, kendala lain tentu tidak dengan mudah dapat diatasi oleh mereka yang berminat menjadi guru besar.

Persyaratan utama untuk memperoleh gelar guru besar tentu bukan masalah pemenuhan berkas administrasi tapi kualifikasi akademis. Mereka yang sudah bergelar doktor dan mempunyai pengalaman mengajar lebih dari sepuluh tahun tak akan bisa diangkat menjadi guru besar jika mereka tak memenuhi persyaratan penting lain, yakni menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal internasional unggul.

         Problem utama untuk memperoleh predkat guru besar agaknya terletak pada sektor ini. Namun, dengan adanya ketentuan bahwa untuk lulus menjadi seorang doktor seorang mahasiswa strata 3 mesti menulis di jurnal internasional unggul, setidaknya mempermudah perolehan gelar guru besar di kemudian hari.

Tentu masing-masing universitas mempunyai sistem kualifikasi berbeda dalam meluluskan mahasiswa  S-3 nya. Ada yang menuntut bahwa sang mahasiswa harus menerbitkan hasil risetnya di jurnal bertaraf internasional yang tepercaya dan ada yang cukup di jurnal internasional yang terbit secara dalam jaringan yang belum diakui oleh komunitas ilmiah di bidangnya.

Dilema yang dihadapi dunia pendidikan tinggi di Indonesia tampaknya harus diatasi segera dengan berbagai cara, tanpa harus mengorbankan kualitas ilmiah.

Karena untuk mendapatkan gelar guru besar lebih menuntut peran aktif dari penerima, tentu ada beberapa akademisi yang semestinya sudah pantas mendapatkan gelar guru besar tapi tak memperolehnya semata-mata karena keengganan atau kemalasan yang bersangkutan untuk mengurus persyaratan administrasi.

Para akademisi yang semacam inilah yang perlu diberi ruang khusus dengan lebih banyak melibatkan peran aktif pihak perguruan tinggi dalam mengajukan sang akademisi untuk mendapatkan gelar guru besar.

Mendapatkan gelar guru besar di era reformasi sekarang ini agaknya lebih leluasa dibandingkan dengan  era sebelum reformasi. Di saat itu para akademisi yang berkualitas dan punya reputasi internasional pun tak akan mendapatkan gelar guru besar dari pemerintah. Sebaliknya, akademisi yang pas-pasan pun jika dia berbaik hati dan suka menyanjung penguasa akan dengan mudah mendapatkan gelar guru besar.

Kisah yang dialami sosiolog Arief Budiman yang dikenal sebagai pembangkang di era Orde Baru membuktikan bahwa kendala politis pun terjadi dalam pemerolehan gelar guru besar saat itu.

Namun karena kualitas akademisnya tak diragukan, Arief pun melamar menjadi guru besar di Universitas Melbourne di Australia lewat kompetisi yang ketat dan dia akhirnya memperoleh gelar yang sangat bergengsi itu.

Agar tidak menurunkan kualitas dan integritas seorang guru besar, pemerintah agaknya perlu membuat semacam program khusus dalam upaya memenuhi kebutuhan akan jumlah guru besar yang ideal itu. Program itu bisa berbentuk pemberian prioritas untuk meraih gelar profesor bagi mahasiswa strata 3 yang disertasinya dinyatakan memperoleh nilai atau predikat summa cum laude.

Para lulusan S-3 yang berhasil mematenkan sejumlah temuan mereka baik dalam ilmu murni maupun terapan juga bisa diberi prioritas untuk mendapatkan gelar guru besar. Penghargaan-penghargaan akademis kaliber internasioal seperti doktor yang meraih anugerah di bidang sastra, lingkungan atau disiplin ilmu lainnya juga layak mendapatkan prioritas untuk gelar guru besar.

Sebaliknya, gelar guru besar harus dijauhkan untuk mereka yang berjaya karena faktor pencapaian politisnya. Kemerdekaan akademis yang dijunjung tinggi di era reformasi ini perlu direfleksikan  antara lain dalam bentuk pencegahan pemberian gelar guru besar pada pejabat politis. Hal ini tentu merupakan bagian rentan dalam persoalan pemberian gelar guru besar.

Tuntutan bahwa mereka yang telah diberi gelar guru besar harus produktif untuk melakukan penelitian dan berinovasi agaknya perlu dipertahankan dan dijalankan dengan konsisten. Namun, ada batas usia yang sering menghalangi seseorang untuk produktif membuat karya ilmiah sehingga tuntutan semacam itu pun perlu ada pembatasannya.

Guru besar yang aktif menuliskan opininya di media massa arus utama berskala nasional, atau yang sering menjadi narasumber tayang bincang di media penyiaran berskala nasional juga perlu dihargai dengan pemberian insentif yang berbeda dari koleganya yang tak melakukan hal serupa.

Tampaknya pendulum kurangnya jumlah guru besar di perguruan tinggi yang jauh dari kebutuhan ideal itu jangan sampai berbalik arah menjadi inflasi guru besar tanpa dibarengi dengan kualitas akademis yang ditetapkan.

Pewarta : M Sunyoto
Editor : Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2024