Palu (ANTARA) - Tokoh Pembaharuan Islam Profesor KH Zainal Abidin mengemukakan mewujudkan kerukunan antar-manusia dan antar-umat beragama di muka bumi tidak perlu dengan menghilangkan perbedaan yang ada.
"Kerukunan tidak diwujudkan dengan menghilangkan perbedaan. Menghilangkan perbedaan yang ada di muka bumi adalah suatu kemustahilan," katanya dalam sosialisasi moderasi beragama kepada tokoh umat dan pemuda di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Ahad.
Guru Besar sekaligus Pakar Pemikiran Islam Modern ini menerangkan kerukunan dapat diwujudkan justru melalui pengakuan dan penghargaan terhadap adanya perbedaan. Dengan menghargai perbedaan yang ada, kata dia, maka umat manusia tidak akan merasa paling benar dan benar sendiri.
Realitas keberagaman dalam kehidupan masyarakat, lanjutnya, merupakan keniscayaan sosial. Keberagaman ini berimplikasi pada lahirnya perbedaan. Semakin heterogen sebuah masyarakat semakin banyak perbedaan yang muncul.
"Bahkan dalam komunitas agama yang sama, masih terdapat perbedaan mazhab. Dalam mazhab yang sama masih terdapat perbedaan pemikiran dan seterusnya," ujar Zainal Abidin yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulteng.
Oleh karena itu, lanjutnya, untuk membangun kerukunan antar-manusia dan antar-umat beragama di muka bumi, maka perlu mencari titik temu yang dapat menyatukan perbedaan dalam merajut kehidupan bersama secara harmonis.
Zainal Abidin yang merupakan Rais Syuriyah PBNU mengemukakan titik temu yang dapat menyatukan yaitu umat beragama mengedepankan persamaan dalam kehidupan sosial keagamaan.
"Persamaanlah yang perlu ditonjolkan, sementara perbedaan tetap dipelihara dalam keharmonisan berbasis toleransi. Persatuan dalam kerukunan adalah sebuah harapan yang tak dapat diraih tanpa kesadaran dan usaha bersama dari setiap pemeluk agama untuk hidup berdampingan satu sama lain berdasarkan prinsip moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi bagian inti dari ajaran setiap agama," ujarnya.
Ia menguraikan agama memiliki lima fungsi terdiri yaitu edukasi, penyelamat, sosial kontrol, sosial integratif, dan transformatif.
Dlam sebuah masyarakat yang multireligi seperti Indonesia, menurutnya, fungsi sosial agama hanya akan efektif manakala semua agama dapat menjalin kerja sama dan saling mendukung satu sama lain dalam suasana yang toleran dan harmonis.
Untuk dapat mewujudkan jalinan kerja sama antar-penganut agama, maka yang perlu dielaborasi lebih jauh adalah dimensi esoterik (substansi) dari ajaran agama karena pada dimensi ini semua agama dapat bertemu.
"Meskipun semua agama memiliki keunikan dan sangat beragam pada aspek formal-eksoteriknya, namun pada aspek substansi-esoterik mereka memiliki tujuan yang sama," kata Zainal Abidin mengutip pernyataan Frithjof Schoun.
"Sudah saatnya umat diajarkan beragama secara substantif, bukan keberagamaan formalistik simbolik yang sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu di luar kepentingan agama, bahkan bertentangan dengan spirit agama," ujarnya.
"Kerukunan tidak diwujudkan dengan menghilangkan perbedaan. Menghilangkan perbedaan yang ada di muka bumi adalah suatu kemustahilan," katanya dalam sosialisasi moderasi beragama kepada tokoh umat dan pemuda di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Ahad.
Guru Besar sekaligus Pakar Pemikiran Islam Modern ini menerangkan kerukunan dapat diwujudkan justru melalui pengakuan dan penghargaan terhadap adanya perbedaan. Dengan menghargai perbedaan yang ada, kata dia, maka umat manusia tidak akan merasa paling benar dan benar sendiri.
Realitas keberagaman dalam kehidupan masyarakat, lanjutnya, merupakan keniscayaan sosial. Keberagaman ini berimplikasi pada lahirnya perbedaan. Semakin heterogen sebuah masyarakat semakin banyak perbedaan yang muncul.
"Bahkan dalam komunitas agama yang sama, masih terdapat perbedaan mazhab. Dalam mazhab yang sama masih terdapat perbedaan pemikiran dan seterusnya," ujar Zainal Abidin yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulteng.
Oleh karena itu, lanjutnya, untuk membangun kerukunan antar-manusia dan antar-umat beragama di muka bumi, maka perlu mencari titik temu yang dapat menyatukan perbedaan dalam merajut kehidupan bersama secara harmonis.
Zainal Abidin yang merupakan Rais Syuriyah PBNU mengemukakan titik temu yang dapat menyatukan yaitu umat beragama mengedepankan persamaan dalam kehidupan sosial keagamaan.
"Persamaanlah yang perlu ditonjolkan, sementara perbedaan tetap dipelihara dalam keharmonisan berbasis toleransi. Persatuan dalam kerukunan adalah sebuah harapan yang tak dapat diraih tanpa kesadaran dan usaha bersama dari setiap pemeluk agama untuk hidup berdampingan satu sama lain berdasarkan prinsip moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi bagian inti dari ajaran setiap agama," ujarnya.
Ia menguraikan agama memiliki lima fungsi terdiri yaitu edukasi, penyelamat, sosial kontrol, sosial integratif, dan transformatif.
Dlam sebuah masyarakat yang multireligi seperti Indonesia, menurutnya, fungsi sosial agama hanya akan efektif manakala semua agama dapat menjalin kerja sama dan saling mendukung satu sama lain dalam suasana yang toleran dan harmonis.
Untuk dapat mewujudkan jalinan kerja sama antar-penganut agama, maka yang perlu dielaborasi lebih jauh adalah dimensi esoterik (substansi) dari ajaran agama karena pada dimensi ini semua agama dapat bertemu.
"Meskipun semua agama memiliki keunikan dan sangat beragam pada aspek formal-eksoteriknya, namun pada aspek substansi-esoterik mereka memiliki tujuan yang sama," kata Zainal Abidin mengutip pernyataan Frithjof Schoun.
"Sudah saatnya umat diajarkan beragama secara substantif, bukan keberagamaan formalistik simbolik yang sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu di luar kepentingan agama, bahkan bertentangan dengan spirit agama," ujarnya.