Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap mampu mengurangi beban fiskal negara.
"Jadi aturan pengganti tersebut juga merupakan langkah atau mitigasi dalam mengurangi beban negara pada situasi dan kondisi oversupply atau kelebihan pasokan listrik. Lain lagi jika situasinya adalah kekurangan pasokan listrik," ujarnya di Jakarta, Kamis.
Dalam aturan sebelumnya, dia menambahkan, mekanisme jual-beli listrik dalam PLTS Atap berisiko menambah kerugian negara sebesar Rp0,5 triliun/tahun karena dalam aturan sebelumnya kelebihan listrik pemasangan PLTS Atap wajib dibeli negara.
"Setiap kelebihan 1 gigawatt itu kurang lebih negara rugi rata-rata Rp3 triliun per tahun," katanya.
Ia mengatakan, Permen ESDM No.2/2024 yang merevisi Permen ESDM No.26/2021 tersebut juga mempermudah dan memperjelas tata cara pemasangan PLTS Atap.
"Aturan ini ditunggu karena win-win juga agar masyarakat lebih jelas. Kalau kita bicara PLTS Atap kan masyarakat golongan mampu bagaimana masyarakat bisa mendapat kejelasan untuk memasang PLTS Atap," katanya .
Untuk ke depan, lanjutnya, negara bisa menghitung ulang skema jual-beli listrik PLTS Atap tersebut setelah masalah oversupply pasokan listrik ini terpecahkan.
"Saat ini situasinya masih oversupply. Jadi jalan yang terbaik ya meniadakan jual-beli listrik untuk mengurangi kerugian negara," ujar Daymas dalam keterangannya.
Saat ini, katanya, negara hanya perlu mendata dan mencatat masyarakat ataupun pihak-pihak swasta yang memiliki PLTS Atap agar nantinya negara mampu mengkalkulasi reserve atau cadangan listrik dari PLTS Atap yang bisa digunakan setelah pasokan listrik harus ditambah.
Namun demikian,setelah mampu menekan kerugian negara, aturan tersebut juga diharapkan mampu menerangi kawasan-kawasan yang belum teraliri listrik.
"Saat ini elektrifikasi berada di kisaran 99,78 persen. Perlu upaya agar 100 persen, terutama di kawasan-kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar)," katanya.
"Jadi aturan pengganti tersebut juga merupakan langkah atau mitigasi dalam mengurangi beban negara pada situasi dan kondisi oversupply atau kelebihan pasokan listrik. Lain lagi jika situasinya adalah kekurangan pasokan listrik," ujarnya di Jakarta, Kamis.
Dalam aturan sebelumnya, dia menambahkan, mekanisme jual-beli listrik dalam PLTS Atap berisiko menambah kerugian negara sebesar Rp0,5 triliun/tahun karena dalam aturan sebelumnya kelebihan listrik pemasangan PLTS Atap wajib dibeli negara.
"Setiap kelebihan 1 gigawatt itu kurang lebih negara rugi rata-rata Rp3 triliun per tahun," katanya.
Ia mengatakan, Permen ESDM No.2/2024 yang merevisi Permen ESDM No.26/2021 tersebut juga mempermudah dan memperjelas tata cara pemasangan PLTS Atap.
"Aturan ini ditunggu karena win-win juga agar masyarakat lebih jelas. Kalau kita bicara PLTS Atap kan masyarakat golongan mampu bagaimana masyarakat bisa mendapat kejelasan untuk memasang PLTS Atap," katanya .
Untuk ke depan, lanjutnya, negara bisa menghitung ulang skema jual-beli listrik PLTS Atap tersebut setelah masalah oversupply pasokan listrik ini terpecahkan.
"Saat ini situasinya masih oversupply. Jadi jalan yang terbaik ya meniadakan jual-beli listrik untuk mengurangi kerugian negara," ujar Daymas dalam keterangannya.
Saat ini, katanya, negara hanya perlu mendata dan mencatat masyarakat ataupun pihak-pihak swasta yang memiliki PLTS Atap agar nantinya negara mampu mengkalkulasi reserve atau cadangan listrik dari PLTS Atap yang bisa digunakan setelah pasokan listrik harus ditambah.
Namun demikian,setelah mampu menekan kerugian negara, aturan tersebut juga diharapkan mampu menerangi kawasan-kawasan yang belum teraliri listrik.
"Saat ini elektrifikasi berada di kisaran 99,78 persen. Perlu upaya agar 100 persen, terutama di kawasan-kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar)," katanya.