London (ANTARA) - Sejumlah negara Eropa terus memasok senjata ke Tel Aviv saat pasukan Israel memperluas serbuannya di Timur Tengah, meskipun ada tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di Gaza.

 

Tekanan kian meningkat terhadap sekutu Tel Aviv untuk menghentikan pasokan senjata baru dilakukan setelah serangan terbaru militer Israel terhadap markas Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) dan posisi-posisi kunci pasukan penjaga perdamaian di Lebanon selatan.

Serangan dengan target pasukan penjaga perdamaian itu mengakibatkan sejumlah anggota UNIFIL terluka.

Amnesti Internasional menyatakan prihatin atas kelanjutan penjualan senjata Eropa ke Israel di tengah serangan di Gaza dan Lebanon, dan mendesak agar “embargo senjata” dilakukan secara keseluruhan karena “pelanggaran hak asasi manusia yang parah.”

“Negara-negara (pemasok) harus secara sepihak memberlakukan embargo terhadap Israel yang tidak hanya mencakup senjata dan sistem yang berasal dari negara mereka, tetapi juga menghentikan partisipasi dalam rantai pasokan ke dalam sistem senjata yang bermuara di Israel,” kata Patrick Wilcken, penasihat kebijakan pengendalian senjata Amnesti Internasiona dan peneliti hak asasi manusia, dalam wawancara dengan Anadolu.

Negara-negara Eropa merupakan bagian dari Perjanjian Perdagangan Senjata 2013, yang melarang mereka mengizinkan transfer senjata untuk digunakan menyerang target sipil.

Wilcken menekankan pentingnya untuk mematuhi kewajiban hukum internasional, termasuk Perjanjian Perdagangan Senjata, untuk mencegah transfer senjata ke zona konflik dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Amerika Serikat adalah pemasok senjata terbesar ke Israel, menyumbang 69 persen impor senjata konvensional utama antara 2019 dan 2023, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI).

Jerman adalah pemasok senjata Eropa terbesar bagi Israel, menyediakan sekitar 30 persen impor Israel antara 2019 dan 2023. SIPRI melaporkan bahwa pada 2023, pengiriman senjata Berlin ke Israel meningkat menjadi 326,5 juta euro (356,5 juta dolar AS atau sekitar Rp5,5 triliun), dengan angka tersebut naik setelah 7 Oktober.

Institut penelitian itu lebih lanjut menunjukkan bahwa Italia menjual senjata senilai 2,1 juta euro (sekitar Rp35,2 miliar) ke Israel pada kuartal terakhir tahun 2023.

Sejak 2015, Inggris telah memasok lebih dari 576 juta dolar AS (sekitar Rp8,9 triliun) dalam izin senjata ke Israel, menurut SIPRI.

Awal bulan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan penghentian pengiriman senjata ke Israel.

Sementara itu, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez juga mendesak komunitas global pekan lalu untuk menghentikan pasokan senjata, sembari mengutuk serangan Israel terhadap pasukan PBB.

Kontroversi Jet Tempur F-35

Di Denmark, pihak berwenang sedang berjuang dalam sebuah kasus pengadilan yang dapat memaksa pemerintah untuk menghentikan ekspor suku cadang jet tempur F-35 ke AS, karena Washington menjual pesawat jadi itu ke Israel.

Ketika pertarungan hukum semakin mendekat, pemerintah negara-negara Barat berada di bawah tekanan untuk menghentikan penjualan senjata jet tempur F-35 yang mematikan, yang telah digunakan oleh angkatan bersenjata Israel selama serangan brutal mereka selama 12 bulan di Gaza, yang menewaskan lebih dari 42.500 orang Palestina — sebagian besar perempuan dan anak-anak — dan melukai lebih dari 100.000 lainnya.

Ketika pesawat tempur Israel beroperasi di Gaza, lebih dari 95 persen dari mereka yang tewas atau terluka dipastikan adalah warga sipil, menurut laporan yang menunjukkan bahwa tren ini telah berlanjut sejak 7 Oktober tahun lalu.

Banyak negara Eropa terlibat dalam program F-35, menimbulkan pertanyaan tentang legalitas dan transparansi rantai pasokan internasional untuk pesawat Israel yang bertanggung jawab atas pembunuhan di Gaza dan Lebanon.

“Di seluruh benua, telah ada banyak penolakan dan litigasi tentang F-35 dan ini adalah contoh klasik memiliki rantai pasokan yang kompleks, termasuk pengumpulan suku cadang,” kata Wilcken.

Banyak negara, tegasnya, bertanggung jawab untuk mengecualikan diri mereka dari rantai pasokan ini melalui penerapan prinsip kehati-hatian. “Mereka perlu memastikan bahwa suku cadang dan komponen serta suku cadang tersebut tidak masuk ke dalam sistem senjata yang berakhir di Israel.”

Menurutnya, semua suku cadang dapat dilacak, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi negara mana saja yang terlibat dalam program F-35 dan berperan dalam perang Gaza.

“Kita telah melihat di banyak negara, termasuk baru-baru ini di Inggris, bahwa negara-negara di dunia sangat cemas tentang hal ini, dan saya pikir ada alasan politik yang jelas, karena pentingnya proyek F-35 bagi aliansi negara-negara dengan Amerika Serikat,” tambah Wilcken.

Israel adalah pengeksport senjata utama, tetapi militernya sangat bergantung pada F-35 di Gaza untuk melakukan apa yang disebut para ahli sebagai salah satu kampanye udara paling intens dan merusak dalam sejarah dunia modern.

Kesepakatan Rahasia

Wilcken mencatat bahwa terdapat adanya ketidakcukupan pengungkapan mengenai di mana senjata dan suku cadang sebenarnya diekspor.

Ia menekankan bahwa negara-negara harus berhenti menggunakan keamanan nasional sebagai alasan untuk kurangnya transparansi mengenai “perdagangan ilegal rahasia.”

Meskipun ada tekanan besar dari masyarakat sipil dan penggugat untuk menghentikan pengiriman senjata ke Israel, pertimbangan dan aliansi geopolitik terutama antara Eropa dan AS dinilai telah membuat banyak negara semakin sulit melepaskan diri dari perdagangan ini, papar Wilcken.

“Negara-negara kaya dan stabil, seperti yang ada di Eropa Barat, perlu menganggap kewajiban mereka dengan serius dan menghentikan semua transfer senjata ke Israel,” tegasnya.

Ian Overton, direktur eksekutif Action on Armed Violence, sebuah lembaga penelitian konflik yang berbasis di London, mengatakan dalam wawancara dengan Anadolu bahwa seluruh industri senjata “penuh dengan kerahasiaan dan ketidakjelasan.”

Pemerintah Inggris tidak melarang suku cadang untuk jet tempur F-35," jelasnya, menambahkan bahwa pesawat tersebut telah dikembangkan sebagian untuk militer Israel.

“Apa yang tidak kita ketahui adalah, begitu suku cadang dari sistem senjata meninggalkan Inggris, mereka mungkin pergi ke Prancis atau Jerman atau Amerika Serikat," lanjutnya.

“Kita tidak tahu kapan dan bagaimana hal itu kemudian dapat digabungkan kembali ke dalam sistem senjata lain, dan sistem senjata tersebut kemudian dijual ke Israel,” katanya, menambahkan.

Spanyol, Belgia, Belanda, Italia, dan Inggris telah mengumumkan penghentian penjualan senjata ke Israel, tetapi Overton percaya bahwa beberapa negara tersebut masih terus mengekspor senjata.

Meskipun undang-undang Norwegia melarang penjualan senjata ke negara mana pun yang sedang berperang, laporan media lokal menunjukkan bahwa Israel terus membeli senjata yang diproduksi oleh anak perusahaan AS dari perusahaan pertahanan yang memiliki 50 persen saham di Norwegia.

Overton mengkritik Inggris atas pasokan senjata ke Israel, sementara pada saat yang sama mengirimkan pasukan ke Gaza untuk memberikan bantuan kemanusiaan.

“Bagaimana bisa Anda mendukung sebuah negara secara militer dengan mengirimkan senjata ke negara tersebut, dan kemudian secara bersamaan harus membersihkan dampak yang ditimbulkan oleh negara tersebut melalui intervensi kemanusiaan yang mahal di negara yang mereka bom," tambahnya.

“Saya rasa tidak mudah untuk memiliki pendapat bahwa Anda dapat memberikan senjata kepada Israel dan memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza tanpa dituduh munafik atau semacamnya,” tutur Overton.

Sumber: Anadolu

 



 


Pewarta : Primayanti
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2024