Bangkok (ANTARA) - Di tengah hiruk-pikuk polemik yang membayangi cabang olahraga kickboxing Indonesia di SEA Games 2025 Thailand, satu momen lahir dari ring di John Paul II Sports Center, Assumption University, Bangkok, Selasa sore.
Saat itu, hanya satu nama yang berdiri tegak membawa Merah Putih ke puncak tertinggi. Dia adalah Riyan Jefri Hamonangan Lumbanbatu.
Lagu Indonesia Raya berkumandang. Momen tersebut menjadi penanda di balik segala kabar tak menyenangkan sebelumnya, kickboxing Indonesia masih punya cerita tentang daya juang, tentang asa, dan tentang seorang anak tukang pijat keliling yang menolak menyerah pada nasib.
Sebelumnya, kickboxing Indonesia berada dalam sorotan tajam. Isu pemulangan manajer tim Rosi Nurasjati, curahan hati atlet yang merasa dicurangi, hingga berbagai kabar simpang siur di media sosial membuat cabang ini seperti berada dalam pusaran badai.
Klarifikasi demi klarifikasi bermunculan, tetapi suasana tetap keruh. Tetapi emas Jefri seperti menjadi penawar. Satu-satunya alasan Indonesia masih bisa pulang dengan kepala tegak.
Jefri datang nyaris tanpa persiapan ideal. Ia mengaku dipanggil secara mendadak. Tak ada pemanasan panjang, tak ada keluhan. Bagi Jefri, sebagai petarung, satu prinsip selalu dipegang yakni siap kapan pun dan di mana pun.
Dan ring itu menjadi saksi.
Di partai final nomor K-1 60 kilogram putra, Jefri berhadapan dengan petarung tuan rumah, Akkrit Kongtook.
Pertarungan berlangsung ketat sejak ronde pertama. Jefri sempat tertinggal, terpancing ritme lawan, dan ditekan oleh sorakan publik tuan rumah. Namun ia bertahan. Perlahan, ia membaca celah, menyamakan kedudukan, lalu membalikkan keadaan menjadi kemenangan 2-1.
Emas itu akhirnya jatuh ke tangannya.
Di dalam ring, Jefri tampak gagah, seorang juara yang berdiri tegak dengan tangan terangkat. Namun kisah sesungguhnya baru dimulai ketika ia turun dari arena.
Di ruang ganti, suasana berubah hening. Jefri menangis. Bukan isak biasa, tetapi luapan emosi yang selama ini tertahan.
Ia berjalan menghampiri patung Yesus dan salib yang ada di sudut ruangan. Tubuhnya tertunduk. Suaranya bergetar, terdengar jelas oleh siapa pun yang berada di dalam.
“Bapak, aku berhasil, Pak. Aku dapat emas. Aku bisa,” ucap Jefri berulang kali.
Ayahnya wafat setahun lalu, di tengah masa persiapan Jefri menuju pesta olahraga terbesar Asia Tenggara. Sosok yang selama ini menjadi sandaran moral, pelindung keluarga, sekaligus sumber kekuatan, pergi tanpa sempat menyaksikan putranya berdiri sebagai juara SEA Games.
Rekan setim dan pelatih memilih diam. Mereka memberi ruang. Membiarkan Jefri menumpahkan beban yang selama ini dipikul seorang diri.
Kalung salib yang tak pernah lepas dari lehernya ikut bergoyang saat dadanya naik turun menahan tangis.
Setelah emosinya perlahan mereda, Jefri mengangkat ponsel dan menelepon keluarganya. Video call tersambung. Ia memberi kabar kepada sang ibu, mamak, bahwa emas itu telah diraih.
Namun air mata kembali jatuh.
“Mak, Bapak pasti sudah bahagia. Ini doanya Bapak, Mak,” kata Jefri dengan air mata yang terus jatuh.
Ia menangis bukan karena lelah bertanding, tetapi karena ingat pada rumah kecil di kampung, pada empat adik yang masih membutuhkan biaya sekolah, dan pada ibunya yang hingga kini masih mengais rezeki sebagai tukang pijat keliling.
Emas Jefri bukanlah hasil kebetulan. Emas diraih dari proses perjalanan panjang seorang anak pertama yang sejak muda sadar bahwa hidup tidak memberinya banyak pilihan.
Kickboxing menjadi jalannya. Bukan sekadar olahraga, tetapi untuk mengubah nasib keluarga.
Setiap hari ia berlatih. Menempa fisik dan mental, menahan lelah, menelan kecewa. Tangis dan rasa putus asa kerap datang, tetapi tak pernah benar-benar menghentikannya.
Jefri pernah mencoba peruntungan lain. Ia melamar masuk Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, berulang kali, saat ayahnya masih hidup. Namun selalu gagal.
Dari kegagalan itu, ia kembali ke ring, ke bela diri, ke jalan sunyi yang akhirnya membawanya sejauh ini.
Dua bulan setelah Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024 Aceh-Sumatera Utara, ayah Jefri meninggal dunia.
Duka itu datang bersamaan dengan tanggung jawab besar yang kini sepenuhnya berada di pundaknya.
Namun dari emas PON 2024 pula, Jefri mampu mewujudkan pesan terakhir sang ayah. Membeli rumah sederhana untuk keluarga. Rumah pertama yang mereka miliki.
Kini, melalui emas SEA Games 2025, Jefri kembali menyimpan harapan. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk masa depan adik-adiknya.
Ia menyampaikan harapan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Dengan latar belakang sebagai anak tukang pijat keliling, tanpa pekerjaan tetap, Jefri berharap mendapat kesempatan untuk mengabdi melalui jalur Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Republik Indonesia.
“Saya anak pertama, punya empat adik. Ayah sudah tidak ada. Saya tulang punggung keluarga,” ujarnya menuturkan.
Jefri tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Pengurus Pusat Kickboxing Indonesia, termasuk Rosi Nurasjati, yang mendampinginya dalam masa sulit, memberi dukungan saat ia terpuruk oleh duka, dan membantunya bangkit hingga kembali berdiri sebagai juara.
Di tengah segala polemik kickboxing selama SEA Games 2025, kisah Jefri menjadi pengingat bahwa olahraga bukan hanya soal medali.
Olahraga juga tentang manusia, tentang perjuangan, dan tentang harapan yang terus dijaga, meski lahir dari keterbatasan.
Sore itu di Bangkok, seorang anak tukang pijat keliling telah menunaikan janjinya. Untuk ayahnya. Untuk keluarganya. Untuk Indonesia.