Bondowoso (ANTARA) - Seorang warga Nahdlatul Ulama (NU) yang juga penulis berkisah bagaimana bingungnya ia harus menuangkan ide dalam bentuk artikel terkait kemelut di jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU.

 

Penulis yang berlatar belakang santri itu bingung untuk memberikan sumbangan pikiran dalam upaya penyelesaian perbedaan pandangan dan sikap jajaran syuriah dengan tanfidziyah di PBNU. Sebagai penulis, ide yang tidak tersalurkan, biasanya, menjadi masalah yang terus berputar di kepalanya.

Warga NU atau yang lebih popular dengan sebutan nahdliyyin itu semakin bingung ketika orang tuanya di kampung, yang masih kental dengan tradisi NU, mengingatkan agar ia tidak ikut campur dalam masalah di PBNU ini.

Kebingungan itu terkait dengan sikap tawaddlu' atau kepatuhan dan hormat santri terhadap para kiai. Tentu saja, kebingungan ini bukan hanya dialami penulis muda itu. Boleh dikatakan, kebingungan intelektual muda NU ini mewakili hampir seluruh jiwa dan pikiran warga nahdliyyin, termasuk yang berada di jajaran pengurus NU di berbagai tingkatan.

Kebingungan itu terletak pada jebakan keadaan batiniah yang tidak bisa diabaikan, seperti ungkapan "memakan buah simalakama". Jika dimakan ayah mati, jika tidak dimakan ibu yang mati.

Meskipun sikap dan pikiran kaum nahdliyyin di tataran akar rumput ini belum tentu terdengar oleh petinggi NU, mereka, hampir pasti tetap memiliki kecenderungan hati untuk berpihak kepada salah satu, syuriah atau tanfidziyah.

Akhirnya, mereka terjebak dalam pusaran rasa cangkolang, yakni rasa tidak sopan terhadap seseorang yang dihormati. Cangkolang biasanya melintas di pikiran kalangan santri ketika hendak menyampaikan sesuatu, tapi dihantui oleh perasaan khawatir menyalahi adab, lebih-lebih jika hal itu hendak disampaikan kepada kiai.

Kata cangkolang berasal dari Bahasa Madura dan sudah tertera dalam daftar diksi di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Bahkan, dalam diskusi di warung kopi atau di grup-grup media sosial, ketika hendak menyatakan pikiran untuk mendukung penyelesaian masalah PBNU ini dengan islah (perdamaian), seorang warga nahdliyyin merasa sudah memihak kepada tanfidziyah. Itu karena adanya fakta bahwa kesediaan untuk islah itu pernah dinyatakan oleh Ketua Umum Tanfidziyah PBNU hasil Muktamar Lampung KH Yahya Cholil Tsaquf.

Ketika kecenderungan pikiran jatuh pada pilihan islah, seorang warga nahdliyyin merasa cangkolang kepada Rois Aam KH Miftahul Akhyar dan beberapa kiai sepuh lain di jajaran syuriah di PBNU.

Sementara, ketika kencenderungan hati setuju dengan sikap Kiai Miftahul Akhyar dan jajaran syuriah yang telah mengangkat KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU pengganti KH Yahya Cholil Tsaquf, muncul juga rasa takut cangkolang pada ulama lain yang juga tergolong kiai sepuh, seperti KH Maruf Amin yang menyuarakan solusi islah.

Ada perasaan cangkolang juga kepada kiai-kiai sepuh yang berkumpul di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, yang arahnya lebih kuat kepada penyelesaian islah. Masih teguh dengan harapan untuk islah, Lirboyo juga menjadi tempat ulama-ulama sepuh berkumpul dalam musyawarah kubro mustasyar.

"Beginilah bingungnya hati dari santri yang beneran," ujar intelektual muda NU yang bingung hendak menulis artikel itu berseloroh dan mencoba menghibur.

Lalu, bagaimana dengan kemungkinan pilihan ketiga, yang ujung-ujungnya juga tidak akan lepas dari sikap berhati-hati agar tidak cangkolang?

Masih tetap dengan rasa takut cangkolang yang tidak luntur, kalangan ini hanya bisa menarik napas panjang, dan berseru, seolah putus asa, "Entahlah....". Kalangan ini terjebak dalam perasaan takut cangkolang, karena seolah-olah tidak peduli terhadap NU.

Meskipun demikian, kesantrian warga nahdliyyin yang tidak tahu bagaimana harus berpikir dan bersikap ini, pasti tetap kembali kepada nilai-nilai tradisional yang sering kali sangat jauh dari prinsip-prinsip organisasi modern. Orang NU terbiasa dengan pilihan ngalap barokah atau mengharap berkah dari Allah.

Mereka terbiasa menyikapi persoalan dengan jalan keluar yang secara logika akan dianggap tidak masuk akal, yakni berharap keajaiban dari Allah. Mereka bersandar pada kekuatan Sang Maha Sumber, penguasa jagat semesta, lewat untaian doa.

Mengunduh langit lewat doa adalah pilihan sunyi yang saat ini terus menggema dari batin jutaan warga NU di tingkat paling bawah, hingga ulama-ulama "khos" (spesial) yang yang totalitas ketauhidannya tidak diragukan. Doa yang digerakkan oleh motif penuh tawakkal.

Mereka berharap, Allah memberikan jalan terbaik kepada NU, dan tentu saja untuk Indonesia.

Ketika me-mikraj-kan harapan lewat doa, warga NU berpegang pada buhul janji Allah yang termaktub dalam Al Quran Surat At Thalaq Ayat 3. "Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah-lah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu."

Lalu mengapa dalam doa itu warga NU tidak melupakan Indonesia? Ke-NU-an dan ke-Indonesia-an memang satu paket tak terpisahkan dalam jiwa warga NU. Organisasi yang didirikan oleh Hadratus Syech KH Hasyim Asy'ari ini adalah aset bangsa yang telah menunjukkan sumbangsih agungnya bagi perjalanan Indonesia dari zaman perjuangan merebut kemerdekaan, bahkan sejak bangsa ini masih terpisah-pisah dalam sistem politik monarki hingga saat ini.

Jiwa nasionalis ini ditegaskan dalam kata mutiara yang terkenal di kalangan NU, yakni "Hubbul wathon minal iman", "Cinta tanah air adalah bagian dari iman".

NU adalah salah satu sayap dari perjalanan panjang Indonesia bersama dengan saudara tuanya Muhammadiyah. Menjaga NU, juga Muhammadiyah, sama artinya dengan menjaga Indonesia. Semoga tulisan ini tidak cangkolang.

 


 


Pewarta : Masuki M. Astro
Editor : Andilala
Copyright © ANTARA 2025