Palu (ANTARA) - PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mengklaim bahwa pihaknya sukses melakukan transfer teknologi kepada para pekerja Indonesia yang didominasi pekerja lokal, sehingga penggunaan tenaga kerja asing semakin menurun.
"Sekarang ini, TKA di IMIP tinggal 2.100-an orang," kata Senior Vice President PT. IMIP Slamet Panggabean kepada jurnalis di Palu, Selasa petang.
Ia memberi contoh, PT. Sulawesi Mining Industri, perusahaan pertama yang membangun smelter nikel di IMIP, pada awalnya 80 persen tenaga kerjanya adalah TKA asal China, namun sekarang hampir tidak ada lagi TKA di situ.
Transfer teknologi dari pekerja asing ke tenaga kerja dalam negeri ini, menurut Slamet, merupakan prioritas utama yang terus menerus dilakukan di PT. IMIP pada semua perusahaan yang bergerak di sana.
Saat ini, katanya, ada 29 perusahaan yang sudah beroperasi dan sedang dalam tahap konstruksi dan mempekerjakan 31.000-an tenaga kerja, yang sebagian besar adalah tenaga kerja lokal.
Untuk mempercepat transfer teknologi ini, IMIP telah membuka Politeknik Industri Pertambangan yang akan mendidik generasi muda untuk menjadi tenaga siap pakai di sektor pertambangan.
"Memang kapasitasnya masih sangat terbatas, namun kami terus mengembangkannya dengan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan ITB Bandung untuk mendatangkan tenaga pengajar," ujarnya.
Slamet menyebutkan bahwa IMIP saat ini masih sangat terbuka untuk perusahaan-perusahaan baru yang ingin berinvestasi di sektor pengolahan nikel maupun industri hilir nikel.
"Kami memiliki areal 2.000 hektare dan sampai saat ini baru sekitar 30 persen yang dimanfaatkan secara efektif," ujarnya.
Selain lahan yang masih luas, potensi bahan baku untuk pengembangan industri pertambangan di Morowali sangat besar, karena selain nikel, daerah itu juga memiliki potensi industri baja, mangan dan besi. Sedangkan industri hilir yang potensial dibangun adalah baja karbon (carbon steel dan bateray lithium).
"Sekarang ada satu investor yang sedang membangun pabrik bateray lithium. Kalau pabrik ini beroperasi, maka IMIP akan menjadi produsen bateray lithium terbesar di dunia," katanya namun tidak merinci kapasitas produksi dan progras investasi tersebut.
Kendala utama pengembangan industri di IMIP saat ini adalah keterbatasan tenaga listrik untuk menghidupkan 22 tungku peleburan nikel dengan kebutuhan 1.400 megawatt listrik.
"Namun sedang kami bangun dua PLTU berkapasitas 350 MW tiap unit dan diharapkan selesai dalam dua tahun ke depan," ujarnya.
Terkait kontribusi IMIP kepada negara, Slamet mengatakan pada 2017, perusahaan ini menyetorkan pajak ke kas negara sebesar Rp2,095 triliun sedangkan 2018 diperkirakan mencapai Rp3 triliun.
***
"Sekarang ini, TKA di IMIP tinggal 2.100-an orang," kata Senior Vice President PT. IMIP Slamet Panggabean kepada jurnalis di Palu, Selasa petang.
Ia memberi contoh, PT. Sulawesi Mining Industri, perusahaan pertama yang membangun smelter nikel di IMIP, pada awalnya 80 persen tenaga kerjanya adalah TKA asal China, namun sekarang hampir tidak ada lagi TKA di situ.
Transfer teknologi dari pekerja asing ke tenaga kerja dalam negeri ini, menurut Slamet, merupakan prioritas utama yang terus menerus dilakukan di PT. IMIP pada semua perusahaan yang bergerak di sana.
Saat ini, katanya, ada 29 perusahaan yang sudah beroperasi dan sedang dalam tahap konstruksi dan mempekerjakan 31.000-an tenaga kerja, yang sebagian besar adalah tenaga kerja lokal.
Untuk mempercepat transfer teknologi ini, IMIP telah membuka Politeknik Industri Pertambangan yang akan mendidik generasi muda untuk menjadi tenaga siap pakai di sektor pertambangan.
"Memang kapasitasnya masih sangat terbatas, namun kami terus mengembangkannya dengan bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan ITB Bandung untuk mendatangkan tenaga pengajar," ujarnya.
Slamet menyebutkan bahwa IMIP saat ini masih sangat terbuka untuk perusahaan-perusahaan baru yang ingin berinvestasi di sektor pengolahan nikel maupun industri hilir nikel.
"Kami memiliki areal 2.000 hektare dan sampai saat ini baru sekitar 30 persen yang dimanfaatkan secara efektif," ujarnya.
Selain lahan yang masih luas, potensi bahan baku untuk pengembangan industri pertambangan di Morowali sangat besar, karena selain nikel, daerah itu juga memiliki potensi industri baja, mangan dan besi. Sedangkan industri hilir yang potensial dibangun adalah baja karbon (carbon steel dan bateray lithium).
"Sekarang ada satu investor yang sedang membangun pabrik bateray lithium. Kalau pabrik ini beroperasi, maka IMIP akan menjadi produsen bateray lithium terbesar di dunia," katanya namun tidak merinci kapasitas produksi dan progras investasi tersebut.
Kendala utama pengembangan industri di IMIP saat ini adalah keterbatasan tenaga listrik untuk menghidupkan 22 tungku peleburan nikel dengan kebutuhan 1.400 megawatt listrik.
"Namun sedang kami bangun dua PLTU berkapasitas 350 MW tiap unit dan diharapkan selesai dalam dua tahun ke depan," ujarnya.
Terkait kontribusi IMIP kepada negara, Slamet mengatakan pada 2017, perusahaan ini menyetorkan pajak ke kas negara sebesar Rp2,095 triliun sedangkan 2018 diperkirakan mencapai Rp3 triliun.
***