Sigi (ANTARA) - Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapata mengatakan setahun pascagempa disusul likuefaksi yang melanda sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah hingga kini sektor pertanian di Kabupaten Sigi masih terpuruk.
"Khususnya di sejumlah wilayah terdampak parah," katanya menanggapi setahun bencana Sulteng, di Sigi, Jumat.
Ia menjelaskan lahan pertanian di beberapa wilayah di Kabupaten Sigi, seperti Kecamatan Dolo, Gumbasa, Tanambulava dan Sigibiromaru hancur total dihajar gempabumi dan likuefaksi pada 28 September 2018.
Akibat bencana terdasyat di Sulteng itu, banyak lahan pertanian yang selama ini menjadi sentra produksi tanaman pangan dan hortikultura belum bisa diolah kembali.
Kebanyakan lahan masih terlantar, sebab selain rusak, juga jaringan irigasi di empat kecamatan tersebut rusak total yang saat ini sedang dalam perbaikan oleh instansi terkait.
Praktis ribuan petani dalam setahun kehilangan sumber mata pencaharian, meski sebagian anggota kelompok tani mencoba bangkit kembali memanfaatkan lahan pertanian dengan menaman komoditas jangka pendek dan tahan panas.
Kebutuhan air untuk berbagai jenis tanaman yang mereka kembangkan di bekas areal persawahan, menggunakan pompa air sumur dalam dengan menggunakan mesin generator.
"Tapi itu hanya sebagian kecil petani yang melakukannya," kata Irwan.
Sebagian besar petani terdampak bencana di Sigi, kata Irwan, beralih menjadi buru bangunan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR dan juga daerah tentu terus berupaya memperbaiki semua infranstruktur yang rusak akibat bencana alam tersebut.
Baca juga : Pemkab Sigi dan para pihak susun rencana penanggulangan kedaruratan bencana
Kepala Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Siti Darwisa di Sigi secara terpisah mengaku masalah utama petani di wilayah itu adalah air.
Di Kecamatan Dolo, kata dia, terdapat 11 desa yang semuanya memiliki lahan potensial untuk pertanian. Namun tiga desa dari 11 desa itu masing-masing Desa Solouwe, Potoya dan Karawana, merupakan desa paling sulit mendapatkan air pascagempa.
"Umumnya petani di Sigi bergantung dari air di irigasi, itu waktu sebelum bencana 28 September 2018. Namun, ketika bencana itu, irigasi rusak. Nah, akibatnya petani sulit dapat air dan itu dialami semua petani," kata dia.
Karena susah mendapat air, banyak lahan pertanian tidak digarap bahkan sebagian beralih fungsi.
Luas lahan pertanian berupa padi dan tanaman hortikultura di Kecamatan Dolo mencapai 1.100 hektare dengan jumlah petani sebanyak 1.000 sampai 1.500 orang.
Pascabencana, sebagian petani beralih profesi menjadi buruh dan tukang bangunan, sebagian lagi pergi mencari kerja di Kota Palu.
Sementara lainnya, tetap berkerja sebagai petani, namun bukan menggarap lahan pertanian mereka, melainkan menggarap lahan pertanian orang di desa lain.
Baca juga : Pemkab Sigi dukung Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana
Di Desa Karawana luas lahan pertaniannya mencapai 265 hektare, namun pascagempa hanya tiga hektare yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura serta jagung pakan seluas 13 hektare.
"Selebihnya tidak bisa dimanfaatkan oleh petani karena kekeringan," kata Siti.
Di sisi lain tidak semua petani mampu membeli alkon, pipa, selang air, serta tidak semua petani mampu membuat sumur dangkal dan sumur suntik, dikarenakan biaya yang terbatas.
Hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat lahan pertanian potensial di sebagian desa di Kecamatan Dolo tidak dapat termanfaatkan pascabencana.
"Karena itu butuh modal yang agak banyak kurang lebih sekitar Rp5 juta untuk alkon, dan perlengkapan lainnya," kata dia.***
"Khususnya di sejumlah wilayah terdampak parah," katanya menanggapi setahun bencana Sulteng, di Sigi, Jumat.
Ia menjelaskan lahan pertanian di beberapa wilayah di Kabupaten Sigi, seperti Kecamatan Dolo, Gumbasa, Tanambulava dan Sigibiromaru hancur total dihajar gempabumi dan likuefaksi pada 28 September 2018.
Akibat bencana terdasyat di Sulteng itu, banyak lahan pertanian yang selama ini menjadi sentra produksi tanaman pangan dan hortikultura belum bisa diolah kembali.
Kebanyakan lahan masih terlantar, sebab selain rusak, juga jaringan irigasi di empat kecamatan tersebut rusak total yang saat ini sedang dalam perbaikan oleh instansi terkait.
Praktis ribuan petani dalam setahun kehilangan sumber mata pencaharian, meski sebagian anggota kelompok tani mencoba bangkit kembali memanfaatkan lahan pertanian dengan menaman komoditas jangka pendek dan tahan panas.
Kebutuhan air untuk berbagai jenis tanaman yang mereka kembangkan di bekas areal persawahan, menggunakan pompa air sumur dalam dengan menggunakan mesin generator.
"Tapi itu hanya sebagian kecil petani yang melakukannya," kata Irwan.
Sebagian besar petani terdampak bencana di Sigi, kata Irwan, beralih menjadi buru bangunan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR dan juga daerah tentu terus berupaya memperbaiki semua infranstruktur yang rusak akibat bencana alam tersebut.
Baca juga : Pemkab Sigi dan para pihak susun rencana penanggulangan kedaruratan bencana
Kepala Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Siti Darwisa di Sigi secara terpisah mengaku masalah utama petani di wilayah itu adalah air.
Di Kecamatan Dolo, kata dia, terdapat 11 desa yang semuanya memiliki lahan potensial untuk pertanian. Namun tiga desa dari 11 desa itu masing-masing Desa Solouwe, Potoya dan Karawana, merupakan desa paling sulit mendapatkan air pascagempa.
"Umumnya petani di Sigi bergantung dari air di irigasi, itu waktu sebelum bencana 28 September 2018. Namun, ketika bencana itu, irigasi rusak. Nah, akibatnya petani sulit dapat air dan itu dialami semua petani," kata dia.
Karena susah mendapat air, banyak lahan pertanian tidak digarap bahkan sebagian beralih fungsi.
Luas lahan pertanian berupa padi dan tanaman hortikultura di Kecamatan Dolo mencapai 1.100 hektare dengan jumlah petani sebanyak 1.000 sampai 1.500 orang.
Pascabencana, sebagian petani beralih profesi menjadi buruh dan tukang bangunan, sebagian lagi pergi mencari kerja di Kota Palu.
Sementara lainnya, tetap berkerja sebagai petani, namun bukan menggarap lahan pertanian mereka, melainkan menggarap lahan pertanian orang di desa lain.
Baca juga : Pemkab Sigi dukung Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana
Di Desa Karawana luas lahan pertaniannya mencapai 265 hektare, namun pascagempa hanya tiga hektare yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura serta jagung pakan seluas 13 hektare.
"Selebihnya tidak bisa dimanfaatkan oleh petani karena kekeringan," kata Siti.
Di sisi lain tidak semua petani mampu membeli alkon, pipa, selang air, serta tidak semua petani mampu membuat sumur dangkal dan sumur suntik, dikarenakan biaya yang terbatas.
Hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat lahan pertanian potensial di sebagian desa di Kecamatan Dolo tidak dapat termanfaatkan pascabencana.
"Karena itu butuh modal yang agak banyak kurang lebih sekitar Rp5 juta untuk alkon, dan perlengkapan lainnya," kata dia.***