Jakarta (ANTARA) - Demensia merupakan sindrom klinis yang memiliki karakteristik penurunan progresif pada minimal satu domain kognitif, termasuk memori, bahasa, fungsi eksekutif dan visuospasial, kepribadian, dan perilaku yang menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas di kehidupan sehari-hari.
Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering dari demensia dan mendominasi hingga 80 persen dari semua diagnosis demensia.
Proporsi kematian akibat Alzheimer di Amerika Serikat meningkat 89 persen antara tahun 2000 hingga 2014. Estimasi biaya langsung dan tak langsung untuk layanan kesehatan terkait Alzheimer mencapai 500 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya.
Ada beberapa pemain kunci dalam proses perjalanan (patofisiologi) penyakit Alzheimer. Misalnya: Amyloid Precursor Protein, protein Tau, kaskade Amiloid, dan hipotesis terkait Tau. Mari kita bahas satu per satu.
Amyloid Precursor Protein (APP) adalah suatu transmembran tipe-1, glikoprotein integral dengan berat 110–130 kDa, dan merepresentasikan satu di antara pelbagai protein yang berlimpah di sistem saraf pusat.
Oligomer A-beta merupakan bentuk derivat amiloid yang paling toksik, yang berinteraksi dengan neuron dan sel-sel glia, memicu aktivasi kaskade pro-inflamasi, disfungsi mitokondria, dan peningkatan stres oksidatif, pelemahan jalur sinyal intraseluler dan plastisitas sinaptik, peningkatan fosforilasi Tau, peningkatan aktivitas GSK-3-beta, deregulasi metabolisme kalsium, induksi apoptosis neuron, dan kematian sel.
Protein Tau merupakan protein terkait mikrotubulus yang dijumpai di sebagian besar jaringan dan ekspresinya tertinggi dapat dijumpai di sistem saraf perifer. Di neuron, protein tau merupakan komponen penting sitoskeleton. Ia berinteraksi dengan tubulin alfa dan beta, serta fosforilasi.
Kondisi Tau penting bagi stabilitas polimer tubulin. Di neuron, mikrotubulus penting untuk pemeliharaan struktur persarafan, transportasi aksonal, dan plastisitas neuronal.
Kaskade amiloid. Hipotesis amiloid Alzheimer telah dideskripsikan sejak awal tahun 1990-an. Saat itu diketahui bahwa akumulasi peptida A-beta menuju plak senile dan neuritik di otak, baik karena peningkatan produksi maupun penurunan clearance, merupakan inti dari patogenesis Alzheimer.
Oleh karena itu, A-beta memicu beberapa kejadian pengganggu yang mendisrupsi homeostasis neuronal. Misalnya: disfungsi mitokondria, aktivasi stres oksidatif, kaskade inflamasi, melemahnya dukungan neurotrofik dan respons terhadap cedera, penurunan neuroplastisitas dan neurogenesis, hiperfosforilasi protein Tau, apoptosis, dan abnormalitas metabolisme kalsium.
Semua kejadian ini memiliki umpan-balik positif, mengamplifikasi neurotoksisitas terkait A-beta, serta kulminasi dengan kematian neuronal.
Hipotesis kaskade amiloid berdasarkan studi in vitro dan in vivo, yang diperkuat oleh penemuan mutasi genetik terkait penyakit Alzheimer familial onset dini.
Penyakit ini merupakan Alzheimer berat, di mana terjadi proses amiloidogenesis intraserebral masif yang berlangsung secara prematur sebagai konsekuensi dari mutasi yang memengaruhi metabolisme APP (yakni mutasi gen APP di kromosom 21, gen presenilin 1 dan 2 di kromosom 1 dan 14).
Manipulasi genetik dari mutasi terkait Alzheimer ini merupakan aset terpenting untuk perkembangan model hewan coba Alzheimer, yang secara genetis telah dimodifikasi.
Hipotesis terkait Tau. Terdapat beberapa bukti kuat yang mendukung bahwa disrupsi homeostasis Tau merupakan kejadian primer pada Alzheimer.
Abnormalitas Tau juga dijumpai pada pelbagai kelainan neurodegeneratif lainnya selain Alzheimer, seperti: demensia frontotemporal, degenerasi kortikobasal, atrofi sistem multipel, dan motor neuron disease. Untuk alasan inilah, pelbagai kondisi medis tersebut dinamakan tauopathies.
Studi neuropatologis berhasil membuktikan bahwa evolusi distribusi NFT di otak berkorelasi dengan progresi klinis dari defisit kognitif penderita Alzheimer. Lagipula, hiperfosforilasi Tau intra-neuronal dapat dijumpai di otak penderita demensia amat ringan, tanpa disertai patologi A-beta.
Oleh karena itu, hiperfosforilasi Tau merupakan langkah awal dalam patofisiologi Alzheimer. Sedangkan kejadian patologis lainnya, seperti metabolisme APP abnormal yang memicu terjadinya produksi A-beta yang berlebihan, merupakan sekunder terhadap disrupsi homeostasis neuronal.
Meskipun demikian, sejumlah bukti terkait patologi amiloid pada Alzheimer dan kurangnya bukti mutasi genetik di gen terkait Tau pada kasus Alzheimer onset dini atau lanjut melemahkan hipotesis yang menyatakan bahwa patologi Tau merupakan kejadian paling awal pada Alzheimer.
Neuropatologi
Neuropatologi Alzheimer pertama kali digambarkan oleh Alois Alzheimer melalui dua pasien yang menunjukkan kelainan di otak, berupa: atrofi korteks, neurofibrillary tangles, dan plak senile yang terdistribusikan merata di seluruh korteks serebral.
Pada tahun 1984, Glenner dan Wong, berhasil mengidentifikasi sekuens komponen sentral proteinasea dari plak senile, dengan cara mengisolasi amiloid dari pembuluh darah meningeal penderita Alzheimer.
Plak senile (neuritik) secara difus terdistribusi di otak bagian sistem limbik dan neokorteks pada pasien Alzheimer. Bentuk lain akumulasi A-beta termasuk plak difus (non-neuritik) dan deposisi vaskuler yang memicu terjadinya perdarahan serebral.
Tingginya kadar peptida A-beta dapat dijumpai di otak individu berusia 40 tahun tanpa penurunan kognitif, mendahului terbentuknya plak neuritik. Deposisi ini terjadi lebih dini pada karir alel ε-4 APOE, yang secara homozigot merupakan faktor risiko perkembangan Alzheimer.
Meskipun Alzheimer merupakan gangguan neurodegeneratif, di mana peptida A-beta dipertimbangkan di pelbagai jalur patologis, pertanyaan tetap terbuka: apakah deposisi protein A-beta merupakan kejadian sentral dalam patofisiologi Alzheimer ataukah sekadar suatu biomarker dari proses yang mendasari terjadinya Alzheimer?
Beberapa isu dibahas terkait hipotesis kaskade A-beta. Hal terpenting dari semuanya adalah fakta bahwa pelbagai studi neuropatologis belum menemukan korelasi kuat antara densitas plak neuritik, otak, dan derajat keparahan demensia. Hal yang disebutkan terakhir berkorelasi secara signifikan dengan densitas neurofibrillary tangles.
Oleh karena itu, dapatlah dihipotesiskan bahwa hubungan antara densitas plak neuritis dan tingkat keparahan demensia dapat dipahami dengan baik apabila oligomer A-beta (agregat terlarut mirip preamyloid dari Aβ) merupakan agen kausatif neurotoksisitas pada Alzheimer.
Solusi
Seiring perkembangan riset dan teknologi, maka tatalaksana Alzheimer juga menjadi semakin kompleks. Anil Kumar, dkk (2015) mencoba memberikan beberapa strategi terapeutik Alzheimer. Pertama, menarget protein A-beta (anti-amiloid). Caranya: modulasi enzim secretase, menarget transport amiloid, menarget agregasi amiloid, menarget clearance amiloid, melalui terapi vaksinasi berbasis amiloid.
Kedua, menarget protein Tau. Caranya: inhibisi fosforilasi Tau, menarget stabilisasi mikrotubul, menghambat oligomerisasi Tau, meningkatkan degradasi Tau, dan melalui terapi vaksin berbasis Tau.
Ketiga, menarget kaskade sinyal intraseluler. Keempat, memodulasi kadar neurotransmiter. Caranya melalui pemahaman komprehensif akan Acetylcholinesterase inhibitors (AChEIs), NMDA receptor antagonism, modulator histaminergik, modulasi neuron GABAergic, modulasi reseptor serotonin, modulasi reseptor adenosine, menarget disfungsi mitokondria, menarget stres oksidatif, terapi anti-inflamasi.
Kelima, menggunakan strategi farmakoterapeutik lainnya, seperti obat penurun kolesterol (golongan statin), hormon gonadotropin neuroprotektif (testosterone, estrogen, progesterone), neurogenesis (terapi kombinasi AChEI dan cerebrolysin), epigenesis (modifikasi epigenetik termasuk metilasi DNA dan modifikasi histon, juga penambahan vitamin B), caspase inhibitors, modulators Nitric oxide (NO), obat-obat asam nukleat, multi-target directed ligands, vaksinasi DNA, modulasi NOS, inhibisi kaspase, sel punca, optogenetik.
*) dr. Dito Anurogo, M.Sc. adalah dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, kontributor perumusan rancangan Permenkes Republik Indonesia No. 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel, instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, kepala LP3AI ADPERTISI, pegiat FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM, Dewan Pembina/Penasihat berbagai komunitas
Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering dari demensia dan mendominasi hingga 80 persen dari semua diagnosis demensia.
Proporsi kematian akibat Alzheimer di Amerika Serikat meningkat 89 persen antara tahun 2000 hingga 2014. Estimasi biaya langsung dan tak langsung untuk layanan kesehatan terkait Alzheimer mencapai 500 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya.
Ada beberapa pemain kunci dalam proses perjalanan (patofisiologi) penyakit Alzheimer. Misalnya: Amyloid Precursor Protein, protein Tau, kaskade Amiloid, dan hipotesis terkait Tau. Mari kita bahas satu per satu.
Amyloid Precursor Protein (APP) adalah suatu transmembran tipe-1, glikoprotein integral dengan berat 110–130 kDa, dan merepresentasikan satu di antara pelbagai protein yang berlimpah di sistem saraf pusat.
Oligomer A-beta merupakan bentuk derivat amiloid yang paling toksik, yang berinteraksi dengan neuron dan sel-sel glia, memicu aktivasi kaskade pro-inflamasi, disfungsi mitokondria, dan peningkatan stres oksidatif, pelemahan jalur sinyal intraseluler dan plastisitas sinaptik, peningkatan fosforilasi Tau, peningkatan aktivitas GSK-3-beta, deregulasi metabolisme kalsium, induksi apoptosis neuron, dan kematian sel.
Protein Tau merupakan protein terkait mikrotubulus yang dijumpai di sebagian besar jaringan dan ekspresinya tertinggi dapat dijumpai di sistem saraf perifer. Di neuron, protein tau merupakan komponen penting sitoskeleton. Ia berinteraksi dengan tubulin alfa dan beta, serta fosforilasi.
Kondisi Tau penting bagi stabilitas polimer tubulin. Di neuron, mikrotubulus penting untuk pemeliharaan struktur persarafan, transportasi aksonal, dan plastisitas neuronal.
Kaskade amiloid. Hipotesis amiloid Alzheimer telah dideskripsikan sejak awal tahun 1990-an. Saat itu diketahui bahwa akumulasi peptida A-beta menuju plak senile dan neuritik di otak, baik karena peningkatan produksi maupun penurunan clearance, merupakan inti dari patogenesis Alzheimer.
Oleh karena itu, A-beta memicu beberapa kejadian pengganggu yang mendisrupsi homeostasis neuronal. Misalnya: disfungsi mitokondria, aktivasi stres oksidatif, kaskade inflamasi, melemahnya dukungan neurotrofik dan respons terhadap cedera, penurunan neuroplastisitas dan neurogenesis, hiperfosforilasi protein Tau, apoptosis, dan abnormalitas metabolisme kalsium.
Semua kejadian ini memiliki umpan-balik positif, mengamplifikasi neurotoksisitas terkait A-beta, serta kulminasi dengan kematian neuronal.
Hipotesis kaskade amiloid berdasarkan studi in vitro dan in vivo, yang diperkuat oleh penemuan mutasi genetik terkait penyakit Alzheimer familial onset dini.
Penyakit ini merupakan Alzheimer berat, di mana terjadi proses amiloidogenesis intraserebral masif yang berlangsung secara prematur sebagai konsekuensi dari mutasi yang memengaruhi metabolisme APP (yakni mutasi gen APP di kromosom 21, gen presenilin 1 dan 2 di kromosom 1 dan 14).
Manipulasi genetik dari mutasi terkait Alzheimer ini merupakan aset terpenting untuk perkembangan model hewan coba Alzheimer, yang secara genetis telah dimodifikasi.
Hipotesis terkait Tau. Terdapat beberapa bukti kuat yang mendukung bahwa disrupsi homeostasis Tau merupakan kejadian primer pada Alzheimer.
Abnormalitas Tau juga dijumpai pada pelbagai kelainan neurodegeneratif lainnya selain Alzheimer, seperti: demensia frontotemporal, degenerasi kortikobasal, atrofi sistem multipel, dan motor neuron disease. Untuk alasan inilah, pelbagai kondisi medis tersebut dinamakan tauopathies.
Studi neuropatologis berhasil membuktikan bahwa evolusi distribusi NFT di otak berkorelasi dengan progresi klinis dari defisit kognitif penderita Alzheimer. Lagipula, hiperfosforilasi Tau intra-neuronal dapat dijumpai di otak penderita demensia amat ringan, tanpa disertai patologi A-beta.
Oleh karena itu, hiperfosforilasi Tau merupakan langkah awal dalam patofisiologi Alzheimer. Sedangkan kejadian patologis lainnya, seperti metabolisme APP abnormal yang memicu terjadinya produksi A-beta yang berlebihan, merupakan sekunder terhadap disrupsi homeostasis neuronal.
Meskipun demikian, sejumlah bukti terkait patologi amiloid pada Alzheimer dan kurangnya bukti mutasi genetik di gen terkait Tau pada kasus Alzheimer onset dini atau lanjut melemahkan hipotesis yang menyatakan bahwa patologi Tau merupakan kejadian paling awal pada Alzheimer.
Neuropatologi
Neuropatologi Alzheimer pertama kali digambarkan oleh Alois Alzheimer melalui dua pasien yang menunjukkan kelainan di otak, berupa: atrofi korteks, neurofibrillary tangles, dan plak senile yang terdistribusikan merata di seluruh korteks serebral.
Pada tahun 1984, Glenner dan Wong, berhasil mengidentifikasi sekuens komponen sentral proteinasea dari plak senile, dengan cara mengisolasi amiloid dari pembuluh darah meningeal penderita Alzheimer.
Plak senile (neuritik) secara difus terdistribusi di otak bagian sistem limbik dan neokorteks pada pasien Alzheimer. Bentuk lain akumulasi A-beta termasuk plak difus (non-neuritik) dan deposisi vaskuler yang memicu terjadinya perdarahan serebral.
Tingginya kadar peptida A-beta dapat dijumpai di otak individu berusia 40 tahun tanpa penurunan kognitif, mendahului terbentuknya plak neuritik. Deposisi ini terjadi lebih dini pada karir alel ε-4 APOE, yang secara homozigot merupakan faktor risiko perkembangan Alzheimer.
Meskipun Alzheimer merupakan gangguan neurodegeneratif, di mana peptida A-beta dipertimbangkan di pelbagai jalur patologis, pertanyaan tetap terbuka: apakah deposisi protein A-beta merupakan kejadian sentral dalam patofisiologi Alzheimer ataukah sekadar suatu biomarker dari proses yang mendasari terjadinya Alzheimer?
Beberapa isu dibahas terkait hipotesis kaskade A-beta. Hal terpenting dari semuanya adalah fakta bahwa pelbagai studi neuropatologis belum menemukan korelasi kuat antara densitas plak neuritik, otak, dan derajat keparahan demensia. Hal yang disebutkan terakhir berkorelasi secara signifikan dengan densitas neurofibrillary tangles.
Oleh karena itu, dapatlah dihipotesiskan bahwa hubungan antara densitas plak neuritis dan tingkat keparahan demensia dapat dipahami dengan baik apabila oligomer A-beta (agregat terlarut mirip preamyloid dari Aβ) merupakan agen kausatif neurotoksisitas pada Alzheimer.
Solusi
Seiring perkembangan riset dan teknologi, maka tatalaksana Alzheimer juga menjadi semakin kompleks. Anil Kumar, dkk (2015) mencoba memberikan beberapa strategi terapeutik Alzheimer. Pertama, menarget protein A-beta (anti-amiloid). Caranya: modulasi enzim secretase, menarget transport amiloid, menarget agregasi amiloid, menarget clearance amiloid, melalui terapi vaksinasi berbasis amiloid.
Kedua, menarget protein Tau. Caranya: inhibisi fosforilasi Tau, menarget stabilisasi mikrotubul, menghambat oligomerisasi Tau, meningkatkan degradasi Tau, dan melalui terapi vaksin berbasis Tau.
Ketiga, menarget kaskade sinyal intraseluler. Keempat, memodulasi kadar neurotransmiter. Caranya melalui pemahaman komprehensif akan Acetylcholinesterase inhibitors (AChEIs), NMDA receptor antagonism, modulator histaminergik, modulasi neuron GABAergic, modulasi reseptor serotonin, modulasi reseptor adenosine, menarget disfungsi mitokondria, menarget stres oksidatif, terapi anti-inflamasi.
Kelima, menggunakan strategi farmakoterapeutik lainnya, seperti obat penurun kolesterol (golongan statin), hormon gonadotropin neuroprotektif (testosterone, estrogen, progesterone), neurogenesis (terapi kombinasi AChEI dan cerebrolysin), epigenesis (modifikasi epigenetik termasuk metilasi DNA dan modifikasi histon, juga penambahan vitamin B), caspase inhibitors, modulators Nitric oxide (NO), obat-obat asam nukleat, multi-target directed ligands, vaksinasi DNA, modulasi NOS, inhibisi kaspase, sel punca, optogenetik.
*) dr. Dito Anurogo, M.Sc. adalah dosen tetap FKIK Unismuh Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, kontributor perumusan rancangan Permenkes Republik Indonesia No. 32 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Sel Punca dan/atau Sel, instruktur literasi baca-tulis tingkat nasional 2019, dokter literasi digital, penulis puluhan buku, kepala LP3AI ADPERTISI, pegiat FLP Makassar Sulawesi Selatan, Director networking IMA Chapter Makassar, pengurus APKKM, Dewan Pembina/Penasihat berbagai komunitas